STRATEGI BERHASIL

324 15 0
                                    

“Yaudah, hati-hati di jalan. Begitu urusan selesai, segera pulang, tidur. Kasihan badan kamu, perlu istirahat.”

“Ya, Mas. Pamit dulu. Assalamualaikum.”

Saimah segera mencium tangan Parman lalu dikecup keningnya oleh sang suami.

“Wa'alaikumussalam.”

Wanita berambut hitam legam dikepang satu ke belakang melangkah ke ruang tamu dan menarik tangan sang sahabat karena taksi pesanan sudah sampai pula di depan rumah.

“Udah. Buruan berangkat! Entar serahkan semua padaku. Gak usah ikutan ngomong.  Nurut apa kataku, mengerti?”

“Ngerti, Im. Makasih, ya.”

Kesi kemudian menghentikan langkah lalu membuka tirai ruang tengah dan berteriak,” Mas, Saimah aku pinjam dulu!”

“Iya, silakan! Ingat, jangan sampe lecet!”

Kedua wanita ini pun otomatis tertawa mendengar jawaban Parman. Sepanjang perjalanan Kesi terlihat kacau dan sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Saimah hanya diam memandang sang teman.

Wanita berambut hitam sebahu ini tak ingin mengganggu pikiran Kesi. Ia sengaja membiarkan sang teman untuk merenungi perbuatan dan efek yang dihasilkan. Sekitar tiga puluh menit kemudian, taksi telah sampai di depan rumah sakit.

Mereka turun lalu berjalan menuju lobby. Kesi mengikuti langkah kaki sang sahabat. Keduanya menapaki lorong rumah sakit dalam keheningan bilik-bilik perawatan yang terlewati. Kini langkah kaki mereka terhenti di depan ruang perawatan nomor 240.

“Im, emang di sini tempatnya?”

“Sesuai balasan dari Bu Sobir.”

“Aku ikutan masuk?”

“Lah, yang punya masalah, kan, kamu. Ngaco!”

“Assalamualaikum!”

Mereka bersama-sama ucapkan salam lalu tak berapa lama terdengar suara mendekat ke pintu. Saat daun pintu terbuka, tampak wajah Bu Sobir menyembul dari baliknya.

“Wa’alaikumussalam! Kita bicara di luar aja, ya. Pak Sobir butuh istirahat habis minum obat,” ucap wanita bertubuh subur tersebut sembari keluar lalu menutup pintu.

“Gimana kalo kita ngobrol di kantin aja?”

“Nurut apa kata kamu, Im,” balas Bu Sobir sambil menatap ke arah Kesi.

Wanita hitam manis yang ditatap menjadi salah tingkah. Saimah yang tahu hal ini segera menggandeng tangan Bu Sobir sambil melangkah menuju kantin.

“Udah, Bu. Sabar, ya. Kita cari jalan keluar bersama-sama. Nanti kita bicarakan semuanya.”

Bu Sobir hanya menunduk lalu dari kedua pelupuk mata menetes buliran bening. Kesi yang melihatnya segera memberi sebungkus kecil tisu. Wanita bertubuh subur ini menyobek sisi atas plastik lalu mengambil selembar tisu dari dalam.

Mereka telah sampai di kantin dan kebetulan keadaan sepi karena jam masih menunjukkan pukul 7 pagi. Tak banyak pelanggan yang membeli di sini. Bisa jadi masih teramat pagi, belum ada pembesuk yang datang. Mereka duduk berhadapan setelah memesan minuman hangat.

“Bu, katanya telepon Kesi semalam. Ada apa?” tanya Saimah sembari melihat ke arah Bu Sobir.

“Suamiku ngingau panggil-panggil nama dia. Emang ada hubungan apa mereka?”

“Oalah. Bisa jadi Pak Sobir masih emosi sama Kesi habis dibecandain. Emang Kesi kadang mulutnya agak dower kalo lagi becanda asal jeplak. Maafin dia, Bu.”

Kesi hanya menunduk saja dan dalam hati berdoa agar pembelaan dari Saimah bisa dipercaya oleh wanita bertubuh subur ini. Sedang Bu Sobir beberapa kali melirik ke arah Kesi.

“Emang dia pernah ngomong apa dengan suamiku?”

Saimah masih menyusun kata-kata, tapi salah cepat oleh Kesi.

“Aku minta maaf, Bu. Cuma bilang, kalo Pak Sobir itu jadi laki-laki harus giat. Jangan perut doang digedein. Gitu. Habis itu dia sinis sama aku.”

Bu Sobir yang mendengar penuturan Kesi pun terbahak-bahak akhirnya. Wanita ini seketika menyalami tangan Kesi.

“Pantas aja, dia sampe ngingau. Emang betul sih yang kamu bilang. Dia melempem jadi laki. Proyek selesai, ya, tidur. Yang lain giat cari kerjaan. Dia nunggu ditawari kerja ama orang.”

“Bu Sobir gak boleh bilang gitu. Suami Ibu udah kerja keras selama ini,” ucap Saimah sembari memandang Bu Sobir.

Wanita ini lalu menatap tajam ke arah Kesi dan berkata, “ Kes, habis ini kamu harus minta maaf ke Pak Sobir.”

“Iya, ya. Maka dari itu, aku ajak kamu ke sini. Temani minta maaf, ya!”

“Enak aja! Harus berani ngomong sendiri. Udah bikin salah harus berani bertanggung jawab.”

“Iya, ya. Baik.”

Saimah memandang Bu Sobir lalu memegang tangan wanita di hadapannya.

“Bu, aku dapat informasi dari teman. Penyakit kayak Pak Sobir itu persis yang diderita suami temanku. Gak mungkin sembuh pake obat dokter. Itu kena tuah. Dibawa ke Gunung Kemukus bisa sembuh.”

“Maksudnya gimana itu, Im?”

“Barangkali Bapak pernah ngumpat-ngumpat saat menjelang Magrib. Waktu kayak gitu keramat. Bisa jadi ada setan lewat dan usil.”

“Oh, bisa jadi, sih, Im. Beberapa hari ini memang marah-marah mulu gak ada kerjaan. Dia males cari hubungan. Gak kayak suamimu, banyak teman.”

“Udah, Bu. Gak perlu ngomong gitu. Sekarang mikirin gimana agar Pak Sobir bisa sembuh.”

“Aku setuju aja, Im. Kalo memang di gunung apa ...?”

“Kemukus, Bu,” sahut Kesi.

“Ya, itu. Asal bisa sembuh,” jawab Bu Sobir sembari tersenyum.

“Berarti sekarang kita ngomong ke suami Ibu dan sekalian Kesi minta maaf,” ucap Saimah kemudian.

“Iya. Biar segera sembuh, Im.”

Mereka segera meninggalkan kantin setelah Imah membayar minuman. Hati Kesi merasa lega, sesuatu yang membuatnya sempat panik ternyata bisa teratasi dengan mudah oleh Saimah. Ia merasa beruntung mempunyai sahabat seperti Saimah.

“Gimana ini, Im?” tanya Kesi setelah mereka sampai di depan ruang perawatan Pak Sobir, sementara Bu Sobir telah mendahului masuk.

“Ayo, masuk sama aku.”

“Bantuin ngomong.”

“Ya, buruan.”

Kedua wanita ini segera masuk ke ruangan Pak Sobir. Tampak pria tersebut mengerang kesakitan sambil dikipasi oleh sang istri. Beruntung Saimah dan Kesi telah memakai masker karena penyakit yang diderita Pak Sobir tak ada perubahan dan kelihatan semakin parah. Bagian sensitif pria tersebut masih basah dan mengeluarkan bau busuk.

“Sini, Im, Kes. Aku barusan udah ngomong sama Bapak,” ucap Bu Sobir dengan tangan masih sibuk mengipasi suaminya.

Saimah dan Kesi hanya berdiri sekitar satu meter dari pembaringan. Meski hidung telah tertutup masker, tapi bau yang keluar dari luka di tubuh Pak Sobir masih menyengat.

“Pak, saya minta maaf jika ada salah. Semoga lekas sembuh, ya,” ucap Kesi menatap pria itu iba. Bagaimanapun ia ikut bersalah karena telah ikut andil dalam derita Pak Sobir.

Pria tersebut memaksakan tersenyum ke arah Kesi. Di saat yang sama, Saimah bisa melihat dari tatapan mata Pak Sobir ke Kesi ada sesuatu. Oleh karena rasa ini pula yang membuat sang pria gelap mata, tak mau jujur saat pelaksanaan ritual yang berakibat fatal.

“Pak, berobat ke Gunung Kemukus biar bisa sembuh, ya. Ini kena tuah dan Bu Sobir telah setuju. Nanti kita carter mobil ke sana,” ucap Saimah dan Pak Sobir segera mengangguk.

RITUAL lain GUNUNG KEMUKUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang