ADA YANG ANEH

354 12 0
                                    

“Wah, sampe juga,” ucap Parman dengan senyum lega sesaat setelah beramai-ramai menurun kursi roda berisi Pak Sobir ke tanah.

“Rupanya kayak gini bentuk puncaknya,” sahut sopir taksi langganan Saimah.

“Indah tapi seram,” ucap Bu Sobir masih dengan tangan yang sibuk mengipasi tubuh sang suami.

Akhirnya, selepas Isya langkah mereka telah sampai ke puncak Gunung Kemukus. Persiapan ritual pengobatan segera dilakukan dipandu oleh kuncen.

Sesajen dikeluarkan oleh anak buah kuncen dari dapur mereka. Pagi hari sepulang dari besuk, Kesi telah memesan sesajen lengkap untuk ritual agar tubuh Pak Sobir segera terbebas dari tuah.

“Silakan yang sakit dibawa berendam sebentar di sendang. Yang penting bagian tubuh yang sakit bisa terendam air,” ucap kuncen kepada Bu Sobir.

Begitu mendengar permintaan kuncen, para pria segera bergerak mengangkat tubuh Pak Sobir untuk dibawa masuk ke dalam sendang. Setelah dirasa pria bertubuh subur ini telah bisa duduk dengan baik, yang lain pun segera menepi.

Setelah sekitar lima belas menit berendam, kuncen menyuruh Pak Sobir untuk berdiri. Tentu saja permintaan pria berambut putih digelung ini mendapat tatapan mata keheranan dari Bu Sobir dan yang lain.

“Cobalah berdiri perlahan!” perintah kuncen sekali lagi.

Bu Sobir telah bersiap-siap di pinggir sendang, siap siaga jika ada sesuatu hal terjadi dengan suaminya. Pak Sobir mulai bergerak perlahan dengan menaruh kedua tangan ke samping tubuh untuk menumpang berat badan lalu bangkit.

Ajaib! Tubuh pria bertubuh subur ini pelan tapi pasti bisa berdiri tegak dan tak kesakitan. Semua yang berada di pinggir sendang memandang penuh takjub ke arah tubuh pria yang sedang berdiri tegak di tengah sendang.

Tanpa sadar, mereka yang yang berdiri di pinggir sendang bertepuk tangan saking gembira. Kuncen menghampiri Pak Sobir lalu diajak jalan menuju punden.

Sungguh menakjubkan! Pak Sobir mampu berjalan sendiri layaknya orang normal. Rasa sakit yang mendera beberapa saat yang lalu tak tampak membekas sedikit pun.

Setelah Pak Sobir duduk di depan punden, sang istri segera menghampiri dengan membawa baju kering.

“Mbah, maaf, boleh mengganti baju suami saya?”

“Ganti atasannya saja. Yang bawah, ganti pake sarung.”

“Baik, Mbak.”

Bu Sobir gegas mengganti baju sang suami dengan yang kering. Pakaian basah Pak Sobir dimasukkan kresek. Namun, ada aroma yang aneh menguar dari baju dan celana basah tersebut.

Hingga Bu Sobir perlu menghidunya beberapa kali untuk memastikan bahwa benar aroma tersebut berasal dari pakaian sang suami. Bau daging terbakar berbaur dengan aroma anyir darah segar nyata menyengat indra penciuman wanita bertubuh subur tersebut.

Seketika bergidik bulu di tengkuk. Bu Sobir harus mengusap bagian belakang leher berulang kali. Tiba-tiba terbesit firasat buruk dalam hati nurani wanita ini. Akhirnya, ia buru-buru menepisnya dan kembali fokus ke pengobatan suaminya.

“Bu, silakan minggir dulu! Biar bapaknya bisa melaksanakan pengobatan,” tegur kuncen yang seketika menyadarkannya.

“Oh, ya, ya. Mbah, maaf,” jawab Bu Sobir segera menyingkir dan ikut berkumpul yang lain, duduk agak menjauh dari punden.

Saimah segera memberi tempat duduk kepada tetangga sebelah rumahnya ini.

“Bu, kalo di sini jangan kebanyakan melamun, bisa kerasukan,” ucap Saimah sembari memegang tangan wanita yang baru saja duduk di sebelahnya kini.

“Beneran, Im?”

Saimah mengangguk dan tersenyum berusaha menenangkan hati Bu Sobir yang sedikit kacau. Kini mereka dari jarak sekitar sepuluh meter dari punden menyaksikan proses ritual yang dijalanin Pak Sobir.

Tiba-tiba terdengar suara erangan dari punden, tapi tak terlihat jelas, apa benar suara Pak Sobir karena punggung pria tersebut masih duduk tegak.

“Im, suara siapa itu?”

“Enggak tau, Bu.”

Ritual berlangsung kurang lebih sekitar hampir dua jam. Parman yang duduk di sebelah kiri Saimah merasa ada yang tak beres dengan tempat tersebut. Tampak olehnya di tengah sendang ada sosok dengan tubuh membara sedang berjalan di atas permukaan air.

Ia merasa hanya dirinya saja yang bisa melihat penampakan tersebut karena yang lain tak sedikit pun menoleh ke arah sendang. Padahal kobaran api di sekujur tubuh sosok tersebut sangat menyolok di antara kegelapan sekitar. Parman hanya mampu bertanya dalam hati dengan keanehan tersebut.

Akhirnya, ritual tampak telah usai. Pak Sobir berdiri dari duduk lalu menoleh mencari keberadaan sang istri. Pria tersebut berjalan menghampiri tempat duduk para pengantarnya. Sang pria telah berada tepat di depan sang istri, tetapi ia masih celingukan dan tentu saja membuat sang istri keheranan.

“Pak, aku di sini,” ucap Bu Sobir sambil berdiri lalu mendekat, tapi tubuh Pak Sobir bisa ia tembus.

“Istri saya mana?”

Pak Sobir maupun sang istri sama-sama kebingungan.

“Mbah, kami pamit dulu. Terima kasih banyak.”

“Terima kasih banyak, Mbah.”

Pasutri ini mendengar satu persatu pamit mohon diri kepada kuncen.

“Terima kasih kembali. Jangan sungkan ke sini lagi Nduk Saimah, Nduk Kesi dan semuanya. Biar dibantu anak buah saya. Hati-hati di jalan.”

Sepi dan sunyi. Tak ada suara apa pun.

“Auch! Di mana ini?”

“Pak Sobir? Alhamdulillah, akhirnya siuman. Kita di jalan, mau pulang,” jawab Parman yang duduk di sebelah sopir.

“Kok tiba-tiba udah di dalam mobil?”

“Tadi Bapak dan Ibu pingsan. Kami gotong naikan mobil.”

“Pak?”

“Bu, kamu udah bangun,” ucap Pak Sobir sambil menepuk-nepuk pipi sang istri.

“Kok terasa jalan ini. Pak, kita di mana?”

“Kita udah di mobil. Mau pulang.”

“Apa? Kok aneh!”

“Bapak dan Ibu tenang aja. Semua aman dan yang penting Pak Sobir udah sehat seperti sedia kala,” ucap Paman berusaha menenangkan keduanya.

Perjalanan hampir sampai sebentar lagi dan mobil yang dikemudikan Sarto berhenti di sebuah kedai. Akhirnya mobil carteran ikut menepi juga. Parman keluar lebih dulu lalu menghampiri Saimah yang sedang berdiri dengan Kesi.

Tak lama kemudian pasutri yang baru siuman ini pun ikut turun dari mobil. Sedangkan sopir carteran tak ikut turun, ia duduk di dalam mobil membuka kaca lalu mulai merokok untuk menghalau rasa dingin.

“Wah udah siuman. Kami sempat khawatir, Pak, Bu. Makanya berhenti di sini dulu. Mau cek keadaan kalian, gak taunya udah siuman. Untunglah,” kata Saimah menyambut keduanya.

Pasutri ini diajak Saimah masuk warung untuk sekadar minum penghangat badan dan sekalian melepas lelah.

“Dek, mereka masih bingung. Pesanin wedang jahe aja!” pinta Parman kepada sang istri.

Sementara yang lain sudah memesan minum sendiri-sendiri.

“Oh, ya. Aku antarkan minuman suplemen dulu ke Pak Sopir. Kasian,” ucap Kesi sambil berlalu membawa sebotol minuman penambah stamina ke arah mobil carteran.

“Apa yang terjadi dengan kita, Pak?”

“Enggak tau. Bapak taunya kita bangun, udah di dalam mobil.”

RITUAL lain GUNUNG KEMUKUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang