Jevan sudah dua kali dalam setengah hari ini mandi, pun dengan Rama yang berguling-guling didepan Kipas Angin milik Jonatan yang mereka ambil ketika Jonatan beranjak ke Dapur sebentar membuat segelas Kopi. Haekal sendiri hanya diam, membiarkan keringat membasahi diri nya padahal ia tidak melakukan apa-apa.
"Baru segini doang udah ngeluh, gimana di Neraka nanti lo semua?"
"Lo ada niat masuk Neraka, Chan?"
"Loh ya realistis toh, Jev. Gue bukan orang alim"
"Masuk Surga ga berarti lo alim juga. Orang yang kita kenal alim juga bisa bikin dosa kayak kita"
"Ya tapi kan kita lebih pendosa"
"Manusia tu pendosa, Haekal. Ga ada yang suci. Tapi, manusia punya akal yang tau kalau apa yang dia lakuin tu dosa atau bukan. Kadang yang kelihatan nya buruk malah yang paling baik, gitu juga sebaliknya"
Kemunculan Cakra bersama dengan Jonatan membuat atensi ketiga nya teralihkan, ada binar yang memancar di mata ketiga nya, bukan soal ucapan Cakra yang menjawab Haekal, bukan. Melainkan Teh Es yang dibawa oleh Jonatan. Itu jauh lebih menarik ketimbang membayangkan Neraka.
"Sumpah ini bukan bagian dari modus, panas-panas gini enak banget ngerujak"
"Pembohong kau pembong!! Modus!"
"Engga, Ram ini betulan. Bukan modus"
"Halah Sungai Barito gue kuras kalau lo ga modus"
"Astaga kaga, ini beneran murni pengen doang"
"Chan, bohong tu dosa"
"Ayah ah ga asik"
——————————
Entah sejak kapan, jam siang kini menjadi waktu terfavorit yang Naya nantikan. Ada detak yang menemani tiap detik nya untuk terus terjaga menatap fana didepan mata. Rasa itu hadir setelah sekian tahun ia menjebak diri nya dalam lorong gelap tanpa cahaya sampai pada masa nya, warna kuning cerah itu muncul tepat didepan nya, sebagai penuntun jalan keluar.
"Udah telpon Mama?"
Tepukan pelan di bahu kanan nya membuat atensi Naya teralihkan, menatap pada sosok tegap disamping nya yang berdiri menjulang;kokoh. Menandakan tubuh itu siap menjadi perisai nya kalau-kalau nanti ada tombak atau anak panah yang tiba-tiba melesat ke arah Naya.
"Udah, kata Mama Senin"
"Yaudah kalau udah ada kepastian kan enak, tinggal kamu nya siap-siap aja lagi"
Ada beberapa hal yang Naya inginkan didunia ini tapi ia sadar tidak mungkin mampu ia wujudkan. Salah satu nya adalah berharap kelak, Ibu dan Ayah nya akan kembali bersama lalu tinggal satu atap dan hidup normal sampai mati. Tapi, hidup bukan melulu berporos pada nya, ia tau persis. Ada sakit yang di sekat, ada luka yang di balut berantakan. Karena baik Ibu ataupun Ayah tetap berhubungan baik meski tanpa ikatan, demi dirinya; Naya.
"Nanti Ayah sendirian gimana?"
"Ayah gapapa, asal kamu kuliah betul-betul disana, jadi orang berhasil, bikin Ayah bangga, bikin Ibu mu bangga. Cukup"
"Sering-sering jenguk ya nanti"
"Insha Allah, ya"
"Beliiiiii~"
Baik Naya maupun Ayah, kedua nya tertawa kecil sebentar mendengar teriakan cempreng dari luar. Siapa lagi kalau bukan Haekal, pelanggan yang akan datang pada siang-siang tidak peduli hujan, badai, angin ribut, halilintar. Apalagi hanya panas dari teriknya matahari. Meskipun terdengar beberapa kali anak itu bersin.
YOU ARE READING
ℙ𝕝𝕦𝕧𝕚𝕠𝕡𝕙𝕚𝕝𝕖 [LEE HAECHAN]
Teen Fiction___________________________________________________________________ Apa yang lebih buruk dari hujan di hari Senin? Kenyataan bahwa aku masih betah hidup di masa lalu yang kelam. ©Lhc ©rbdwxyz_