7-Minggu, Mendung

22 7 0
                                    

Bagi Arka, waktu terbaik yang diberikan oleh Bumi adalah subuh;pukul 3 hingga 6. Dimana ia bisa menikmati betapa tenang nya semesta, bagaimana Bumi memberikan udara sejuk yang terkesan menusuk;dingin. Waktu-waktu dimana setiap doa seolah meluncur bak anak panah;tepat sasaran. Arka bukan manusia suci, tapi seperti kata-kata Om Cakra, manusia punya akal yang mampu mendeteksi bahwa perbuatan nya akan menjadi dosa atau pahala. Pun dengan ia, ada sensor otomatis yang membuat nya seolah didorong untuk memperbanyak pahala. Tapi, kadang kalah juga dengan ego diri.

"Dingin"

"Makanya jangan pakai sarung butut begitu, bau lagi"

"Ini sarung bukan sembarang sarung ya, ibarat kan benda nih. Ini tuh fosil"

"Fosil pala bapak lo!!"

"Apa nama nya? Fosil kan? Benda kuno gitu"

"Artefak ah kayak nya, fosil tu tulang-tulang punya rawrr kayaknya"

"Rawr? Makhluk apaan?"

"Dinosaurus"

"Gajelas, Bang"

Arka menyeruput teh hangat didepan nya. Bangun pukul tiga lewat empat puluh lima bersama Haekal, menunaikan tahajud sesekali lalu menunggu waktu Subuh didepan Televisi tabung jaman dulu. Kedua nya seolah menikmati kebersamaan yang benar-benar bersama. Ketenangan waktu subuh seolah memberi peran besar bagi kedua nya untuk berbagi cerita.

Dari situ, Arka tau Haekal akan dihadapkan dengan kegalauan untuk beberapa hari kedepan. Dari situ, Haekal juga tau bahwa kakaknya itu tengah dilanda bosan dengan pekerjaan yang saat ini dijalani.

"Menurut lo, Naya bakal balik kesini ga?"

"Gatau, kalau Tuhan bilang dia balik ya balik"

"Ga siap deh, Bang."

"Siap ga siap ya harus siap"

"Enak banget ngomong"

"Emang"

"Nanti kalau gue galau, obatin ya?"

"Lo kira gue apaan? Bisa ngobatin galau"

"ECAANN.. ARKAAA.. MAEN YOOO"

Kedua nya mengalihkan atensi, teriakan Rama yang mereka tebak bersama Jevan membuat kedua nya bergegas bangun dari duduk, mematikan Televisi lalu menyusul keluar. Hari masih menunjukkan pukul empat lima puluh lima. Bersiap ke Mesjid. Keempat nya berjalan beriringan sesekali diselingi tawa.

"Mendung lagi kayaknya"

"Hooh, musim penghujan bukan sih?"

"Gatau, tanya Mak lo"

Haekal diam saja menyimak sepupu dan kakak nya beradu mulut, sudah menjadi kebiasaan untuk mereka. Selalu beradu mulut meski hanya hal kecil misalnya Cicak dan Ekornya atau Neraka dan calon nya.

——————————

Haekal menyandarkan tubuhnya di dinding yang dingin, duduk selonjoran tidak peduli lantai nya penuh debu. Ia merasa otak nya akan mendidih jika saja ia masih berkutat dengan angka hanya lima detik lagi, dipastikan ia akan mimisan. Sumpah, Haekal rasa nya ingin menceburkan diri nya kedalam setumpuk es batu. Bukan Weekend seperti ini yang ia inginkan, kerja kelompok, dihantui tugas yang mepet deadline. Bukan, ia hanya ingin Minggu nya tenang.

"Aman, Lang?"

"Aman bos"

"Gemilang pala nya keluar asap"

Untuk kesekian kali nya, Haekal harus menekankan bahwa nama panggilan nya adalah hal paling membingungkan yang ja sendiri pun tidak tau persis, apa sebenarnya nama panggilan nya.

ℙ𝕝𝕦𝕧𝕚𝕠𝕡𝕙𝕚𝕝𝕖 [LEE HAECHAN]Where stories live. Discover now