5 Jarak Cinta

179 54 9
                                    

Jarak.


Satu kata, lima huruf. Sederhana tulisannya, tetapi memiliki makna luar biasa berat bagi yang merindu.

~~oOo~~

“Kama, pokoknya aku tak mau tahu. Jam empat sore kamu sudah harus serahkan draf kemarin untuk rapat nanti.”

Kepala Kamala serasa mau pecah. Suasana hatinya masih belum pulih pasca pertemuan dengan Nando tiga hari lalu. Sekarang deadline sudah menunggu serupa mimpi buruk yangmembuat insomnia.

“Makanya jangan jadi orang sok the best-lah. Giliran deadline gini kelimpungan deh, lo.”

Wanita itu tidak menggubris sindiran rekan sebelah kubikelnya. Dia hanya memijat pelipis menetralisir rasa pening.

“Cari pacar sono. Biar nggak stres lo kena beban kerja.”

Saran lain yang sangat konyol. Kamala membatin. Pacar justru membuatnya tambah stres.

By the way, penulis terakhir lo kan, naksir tuh, sama lo? Kenapa nggak nge-date sama dia aja? Daripada lo luntang-lantung sendirian ke mana-mana.”

Kamala tak tahan lagi. Dia menggebrak meja. Suara kerasnya sontak menimbulkan hening di ruangan para editor.

Dan wajah Kamala memerah padam. Buru-buru dia berkata untuk klarifikasi.

“Ma–maafkan aku. I–ini tadi ada serangga.” Kamala berkata dengan nada tersendat.

“Dasar bocah prik. Aneh banget jadi orang.”

Telinga dan hati Kamala memanas mendengar ejekan rekan sekantornya. Namun, wanita itu tidak berani membantah. Dia pilih menenggelamkan diri dalam kesibukannya yang semakin menggunung.

Empat naskahnya sudah selesai. Tinggal melakukan perbaikan besar-besaran, alias menulis ulang, naskah satu novel bertema romansa erotis yang diberikan langsung oleh sang atasan.

Masalahnya si penulis sangat tidak kooperatif. Untuk Kamala yang pendiam, berdebat dengan orang bertipe tidak mau kalah seperti itu sungguh suatu hal yang menguras emosi.

“Kak, gimana? Sudah oke sama naskahnya?” Kamala menelepon sang penulis dengan suara lirih. “Jam empat sore ini naskah sudah harus disetor.”

“Okelah. Asal bagian adult-nya nggak lo ilangin seratus persen.”

Kamala memijat pelipis. Pusing dia berbicara dengan penulis yang bahkan tidak mengenal tulisannya sendiri.

“Novel gue itu novel adult romance. Ya, tentu aja harus ada adegan dewasanya, dong.”

Sekali lagi Kamala memijat pelipis. Matanya terpejam rapat. Kesabarannya sudah mulai menipis. Ditambah dengan suasana kantor yang sangat tidak kondusif seperti siang ini, wanita itu serasa ingin menelan orang.

“Kak, adult romance nggak harus punya konten seperti itu. Sudah aku jelasin kemarin kan, bedanya adult romance sama erotica romance.” Kamala kembali bicara dengan suara lirih.

“Duh, lo ngomong apa, sih? Suara lo putus-putus. Udahlah, tugas lo itu cuma bikin bagus naskah gue. Nggak perlu banyak ajaran. Gue ini artis, loh. Fans gue banyak. Gue nerbitin di tempat lo malah untung buat penerbit lo.”

Kamala memijat pelipis. Inilah alasan mengapa bos besarnya sampai mau menerima naskah di luar standar mereka. Dan Kamala bagai makan buah simalakama.

Telepon ditutup sepihak. Wanita itu menghela napas panjang. Matanya melirik penunjuk waktu. Pukul dua siang.

Blasio NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang