18 Menikahi Cinta atau Iman?

138 53 7
                                    

“Maafkan aku, Mbak Sarah. Tapi kalau nggak gitu, mana mau orang kantor ngasih alamat Mbak ke aku.” Sarah menundukkan kepala dalam-dalam.

Kamala mengembuskan napas panjang. Dia tidak tega memarahi perempuan yang memberikan tatapan serupa mata anak kucing itu. Memelas.

Hati Kamala masih lembut. Meski sempat kesal dengan kelancangan Sarah, wanita itu akhirnya merengkuh si perempuan muda dalam pelukannya.

“Mbak nggak marah lagi?”

Kamala menggelengkan kepala. “Gimana aku bisa marah? Wong kamu sudah ada di sini. Mau gimana lagi?”

Sarah nyengir lebar. “Mas Dion juga sudah ada di sini.”

“Memang kenapa sama Mas-mu?” Kamala menaikkan alis tinggi-tinggi.

“Ish, Mbak Kama gitu, deh. Pura-pura nggak tahu.” Sarah mengerucutkan bibir.

“Lah, memang aku nggak tahu, Sarah.” Kamala berkata dengan lembut. “Memangnya ada apa dengan Mas Dion-mu itu? Maafin aku karena dia nggak bisa masuk.”

Sarah mengangguk mengerti. “Paham kok, Mbak. Alhamdulillah Mbak Kama sudah paham dengan ilmu taaruf.”

Kamala mengerjap-ngerjapkan mata. Dia gatal ingin menggaruk kepala yang tidak gatal. Bicara dengan Sarah sepertinya butuh tingkat kecerdasan ekstra tinggi karena topik pembicaraan perempuan itu terus meloncat-loncat tidak karuan.

“Taaruf apaan sih, Sar? Aku malah nggak paham sama sekali.” Kamala menghela napas dalam-dalam.

“Loh, yang Mbak tadi bilang ....” Sarah membulatkan bola mata. Detik berikutnya dia mengibaskan tangan. “Ah, sudahlah. Sepertinya salah persepsi kita ini.”

“Sepertinya begitu.”

“Mbak Kama nggak mau tawarin aku minuman gitu?”

Wajah Kamala memerah. Buru-buru dia meloncat dari sofa mungilnya.

“Aku es jeruk aja, Mbak. Kalau Mas Dion favoritnya itu ada es teh sama kopi manis.”

Merah di wajah Kamala semakin bertambah. Mau mendongkol, tetapi dua orang itu adalah tamunya. Alhasil Kamala membuat minuman dengan gerakan terburu-buru karena menahan kekesalan.

Sarah tidak menjelaskan maksud kedatangannya ke kontrakan Kamala. Bahkan perempuan itu tidak lagi menyinggung soal Dion sama sekali.

Sarah malah membahas tentang novel baru di penerbitan Kamala. Dia mengaku sempat membaca satu buku yang sudah dicetak. Baru opening saja sudah membuat Sarah langsung jatuh cinta pada tulisan Syaron.

“Pasti bakal booming itu novelnya. Best seller sudah.” Sarah mencomot sekeping biskuit kelapa.

Kamala tersedak minumannya. Dia batuk-batuk hebat. Sarah yang duduk di sampingnya langsung bereaksi dengan kecemasan tingkat tinggi.

“Duh, Mbak Kama. Hati-hati dong, kalau minum. Baca bismillah dulu gitu, jangan asal tenggak aja. Lah, ini kenapa batuknya belum berhenti? Aduh. Mas Dion, tolong! Mbak Kama ini, Mas!”

Kamala menahan lengan Sarah, berusaha menahan perempuan itu agar tidak memanggil sang kakak. Namun, terlambat. Dion sudah masuk dan segera menepuk-nepuk punggung Kamala.

“Sudah mendingan?” tanya Dion lembut.

Kamala mengangguk. Wanita itu merutuk dalam hati sebab seharian ini jadi gampang tersipu malu.

“Heh, Mas Dion. Jangan lama-lama pegang Mbak Kama. Bukan mahram.” Sarah menepis tangan kakaknya yang masih bertengger di punggung Kamala.

Dion menepi. Dia duduk merapat ke dinding. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan keluar.

Blasio NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang