10 Calon Imam Rumah Tangga

167 50 9
                                    

Kewajiban menutup aurat dimulai ketika kita sudah baligh, bukan menunggu saat kita sudah baik.

~~oOo~~

Kenapa aku jadi salah tingkah?

Baru kali ini Kamala dihadapkan pada situasi rumit. Dua kaum adam di sampingnya dan di hadapannya ini jelas bukan siapa-siapanya. Namun, hati Kamala seolah ingin memberikan penjelasan pada pria di hadapannya tentang situasi yang membuatnya harus berdua bersama lelaki di sampingnya.

Pusing.

Itulah yang dirasakan Kamala. Namun, semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kala mendengar jawaban Dion.

“Aku mau jemput kamu.”

Kamala mengerjap-ngerjapkan mata. Mulut mungil wanita itu sudah hendak bicara, tetapi tertahan oleh sahutan Ridwan.

“Elo siapa?”

Dialek Jakarta bersambung dengan logat khas Malang. Kamala menahan geli mendengar dua orang itu saling bertukar jawab.

“Aku Dion,” jawab pria itu tegas.

“Gue Ridwan, teman kantor Kama,” balas lelaki itu tak kalah tegasnya.

Sudut-sudut mulut Dion bergetar. Tanpa tedeng aling-aling, pria itu kembali menimpali informasi Ridwan.

“Aku calon imam Kamala.”

Ridwan dan Kamala sama-sama terperangah. Bahkan wanita itu nyaris terjungkal ke depan saking syoknya mendengar perkataan Dion.

“Elo ... apa?” Suara Ridwan terdengar tidak percaya.

“Calon imam Kamala,” jawab Dion tegas. “Tahu kata imam, bukan?”

Ridwan mengepalkan tinju. Di sampingnya Kamala masih terkaget-kaget.

“Terima kasih sudah menemani Kamala pulang. Tapi dari sini, tugasmu aku ambil alih.” Kali ini Dion berkata dengan nada lebih lunak.

Ridwan tidak mampu berbuat apa-apa. Dia menoleh pada teman wanitanya.

“Elo bohong sama gue, Kam?” tuduh lelaki itu. “Katanya elo nggak tunangan sama itu orang.”

“Eh ... aku ....” Kamala kebingungan menjawab.

“Mbak Kama!” 

Di tengah suasana canggung yang tercipta, Kamala dan Ridwan kembali dikejutkan dengan kehadiran makhluk lain. Keduanya menoleh ke sumber suara dan melihat Sarah melambai-lambaikan tangan dari depan sebuah mobil.

“Siapa lagi itu?” Ridwan menyipitkan mata.

“Adik Dion,” jawab Kamala salah tingkah.

Ridwan terbelalak. Pandangannya beralih-alih, dari Kamala, kemudian Dion, dan terakhi pada si cantik berkerudung yang berada tidak jauh darinya.

“Aku udah telat rupanya,” gumam Ridwan dalam nada sedih.

Alis Kamala terangkat tinggi. Dia bingung dengan maksud perkataan koleganya. Namun, sebelum berhasil meminta penjelasan pada Ridwan, lelaki itu sudah melambaikan tangan seraya pamit pergi.

“Kok, aneh? Ada apa sama Ridwan?” Kamala menggaruk-garuk pelipis.

“Kama,” panggil Dion, “ayo, kami antar pulang.”

Wajah Kamala memerah. Tangannya melambai-lambai dalam gerakan penolakan. 

“Eh, nggak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok. Ini juga masih terang. Nggak bakal ada sesuatu yang buruk terjadi.”

Blasio NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang