Harus operasi secepatnya.
Kamala melamun. Dia duduk di atas tempat tidur. Dagunya bersandar ke lutut. Wanita itu tidak mendengar apa pun. Telinganya tuli dari berbagai suara dari luar. Namun, pandangannya tidak.
Setelah sempat didera kegelapan tempo hari, Kamala kembali menemukan citra di pandangannya. Hanya saja tingkat mengaburnya penglihatan bukan semakin berkurang, malah bertambah.
“Assalammualaikum, Kama.”
Wanita itu menoleh. Dia melihat ada sosok yang mendekat. Suara yang sudah mulai dihafalnya membuat Kamala langsung menjawab tanpa perlu menebak-nebak siapa yang datang.
“Waalaikumsalam, Dion.”
Saat itu sudah mendekati maghrib. Dion datang selepas praktek di poli rumah sakit selesai. Dia punya beberapa jam sebelum jam buka di klinik pribadinya.
Harum martabak tercium hidung Kamala. Dengan kurang ajar perut wanita itu bersuara keras. Wajah Kamala sontak memerah.
“Lapar?” tanya Dion dengan nada geli.
Kamala merasakan pipinya memanas. Perlahan dia mengangguk.
“Makanan rumah sakit nggak dimakan?”
Wanita itu menggeleng. “Rasanya hambar.”
Dion tidak berkomentar. Kuliner di tempat orang sakit memang tidak selezat di tempat wisata. Pria itu membuka bungkus martabak. Diambilnya sepotong, melapisinya dengan tisu, lalu membantu Kamala menggenggamnya.
“Apa hasil pemeriksaan dokter tadi?” tanya Dion setelah Kamala menghabiskan sepotong martabak manis.
Pria itu sebenarnya sudah tahu. Dokter yang menangani Kamala adalah rekan sejawatnya dan seluruh tenaga medis di rumah sakit ini mengetahui Kamala adalah tunangan Dion.
Namun, pria itu mencoba menghargai privasi Kamala. Dia ingin wanita itu menaruh kepercayaan padanya.
“Operasi secepatnya,” jawab Kamala datar.
Dion mengamati air muka Kamala. Tidak terlihat kegundahan apa pun. Sorot mata wanita itu juga hampa seperti biasa. Namun, Dion tahu Kamala tengah resah.
Tangan yang gemetar tidak bisa menyembunyikan perasaan wanita itu. Cara wanita itu menolak memandangnya sudah memberikan jawaban pasti pada Dion.
“Kalau begitu, lakukan operasi.”
Kamala membeku.
“Aku sudah bertanya pada dokter. Jika dilakukan operasi sekarang, kemungkinan penglihatanmu bisa pulih seratus persen.”
Bahkan saat mendengar perkataan pria di sampingnya, Kamala langsung mengingat-ingat saldo di rekeningnya. Royalti dari penjualan novel Syaron cukup banyak. Seharusnya uang itu bisa digunakan untuk biaya operasi.
Namun, Kamala juga ingin mengurus kebutuhan panti asuhan. Adik-adik yang belum mendapat kemewahan adopsi masih memerlukan sokongan dana cukup besar. Operasional panti setiap bulan juga cukup tinggi.
Royalti Syaron akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk kebutuhan panti. Matanya masih bisa menunggu entah sampai kapan.
“Jangan menunda lagi,” ujar Dion tegas.
Hati Kamala disengat rasa marah. Suaranya berubah ketus pada pria itu.
“Enak sekali kamu bilang begitu. Yang menjalani aku. Punya hak apa dirimu menyuruh aku operasi secepatnya?”
“Karena keluarga pantimu membutuhkan dirimu,” jawab Dion dengan nada lebih lunak.
Kamala tertegun. Dia mendengar suara derit kursi lalu merasakan kehadiran Dion di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blasio Note
SpiritualitéBagaimana jadinya bila seorang penulis tidak mampu menulis lagi? Kamala adalah seorang editor sekaligus penulis dengan gangguan kecemasan akut. Penderitaannya makin bertambah setelah dokter memvonis wanita muda itu menderita ablasio retina. Putus as...