Epilog

251 56 6
                                    

“Syaron! Delon! Jangan ditarik taplaknya. Nanti ja ...,” Kamala mengembuskan napas panjang. “... tuh.” Wanita itu meneruskan kata terakhirnya dengan volume lirih.

Suara beling berjatuhan menghantam paving block terdengar nyaring. Perhatian semua mata tertuju ke arah meja prasmanan. Tampak genangan merah muda meluber membentuk pola abstrak besar. Potongan-potongan buah dan nata de coco juga berceceran di mana-mana.

Lalu suara bisik-bisik terdengar diiringi tatapan menuduh pada sepasang anak kembar berusia tiga tahun. Kamala tersenyum kecut. Dia berusaha mengabaikan tatapan tajam menusuk yang terarah pada Syaron dan Delon.

“Masyaallah, anak-anak hebat Mama. Hati-hati ya, Sayang. Main sulap-sulapannya di rumah saja. Jangan di sini. Om dan tante di sana batal minum es karena Syaron sama Delon numpahin minumannya.”

“Mama, minta maaf.” Sepasang kembar itu mengulurkan tangan gemuknya. Sorot mata mereka berkaca-kaca. Sepertinya balita itu tahu tindakan mereka salah.

“Iya, Mama maafin. Asal janji nggak diulangi lagi.”

“Eyang bakal marah sama kita, Ma?” Delon yang paling terlihat khawatir.

“Umm ..., coba kita lihat setelah kalian minta maaf dan Mama ke dapur buat minta esnya diganti.”

Dua bocah itu mengekor di belakang Kamala. Bertiga mereka singgah sejenak di dapur dan melaporkan apa yang terjadi. Kemudian, Kamala menggiring anak kembarnya guna meminta maaf pada sang mertua yang berada di ruang tengah.

Tangis Syaron dan Delon pecah. Kamala merapat ke tembok, membiarkan si kecil kesayangannya mencoba bertanggung jawab untuk kesalahan yang telah mereka lakukan.

Lalu Kamala tersentak kaget saat satu lengan kukuh melingkari pinggangnya. Dion terlihat menatap anak-anaknya dengan sorot bertanya-tanya.

“Yang bikin suara pecah di depan tadi mereka?” Dion bertanya takjub.

“Iya. Mereka niru tontonan pesulap yang narik taplak pakai kecepatan tinggi itu.” Kamala mengadu.

“Anak-anak nggak terluka, kan?”

Kamala mendesah. “Alhamdulillah nggak, Mas. Tapi mereka bikin malu. Jadi tontonan tamu-tamu.”

Dion tersenyum. Dia memainkan ujung kerudung panjang istrinya.

“Nanti kalau suasana sudah tenang kita masih penjelasan. Sekarang biar sama eyang-eyangnya dulu. Aku butuh kamu sebentar.”

Dion membawa Kamala ke arah samping rumah. Ada taman kecil dengan ayunan dan kursi-kursi besi tempa. Sejenak mereka menjauhi keramaian dari pembukaan yayasan sosial baru milik Kamala.

Dion memperkenalkan istrinya pada pasangan suami istri paruh baya yang ternyata pemilik dari rumah produksi besar di Indonesia. Salah satu anak mereka pernah menjadi pasien Dion. Dari sanalah perkenalan mereka bermula.

“Bapak, Ibu. Ini istri saya. Kamala Kaneishia. Dia adalah agen resmi dari penulis Syaron.”

Kamala membulatkan bola mata. Dia melirik suaminya lalu cepat-cepat menangkupkan tangan di depan dada saat si pria paruh baya mengajaknya bersalaman.

“Ah, maafkan saya.” Pria itu sedikit tersipu malu. “Saya ke sini untuk mendiskusikan proyek film dari tiga novel Syaron.”

Kamala terbelalak. “Tiga? Maksud Anda, semua buku Syaron?”

“Benar. Saya sangat menyukai tulisan Syaron. Dia membawa misi positif pada tiap novelnya. Pak Dion memberikan novel-novel itu pada anak kami dan dia mulai bersemangat lagi menjalani sesi terapinya.”

Kamala mengangguk-angguk.

“Jadi, kami berpikir kenapa tidak memperluas visi yang ingin digapai oleh Syaron? Istri saya setuju untuk menjadikan tiga judul novel Syaron sebagai film remaja.”

Kamala terperangah. Pria di hadapannya kembali bicara.

“Sayang sekali novel pertama Syaron sudah diambil oleh PH yang lain. Masuk box office yang pertama dulu, kan?”

Kamala mengangguk, mengiakan pertanyaan pada novel perdana Syaron yang berhasil mencatatkan keuntungan cukup besar.

“Jadi, kami ingin menawarkan kerja sama untuk mengangkat ke layar lebar tiga novel Syaron yang lain. Apa Anda bisa menghubungkan saya dengan Syaron?”

Kamala tanpa ragu menganggukkan kepala. Wajah semringah wanita itu berseri-seri.

“Saya tidak berjanji Syaron akan langsung setuju. Tapi saya tahu rumah produksi Anda dan portofolio yang telah dihasilkan. Saya akan mencoba membujuk Syaron untuk menerima tawaran ini.”

Percakapan kembali terjadi untuk beberapa waktu, sampai pasangan suami istri itu pergi. Begitu hanya ada dirinya dan Dion di taman samping, Kamala langsung memeluk erat-erat suaminya.

“Ya, Allah. Alhamdulillah. Tiga judul sekaligus, Mas. Dan PH-nya juga PH besar. Masyaallah.” Kamala tidak henti-hentinya memuji Sang Pencipta.

“Jangan lupa tambah sedekahnya, Sayang. Kawal terus novelnya agar tidak dipelintir ke hal-hal yang tidak kita inginkan.”

Kamala mengangguk. Dia menatap suasana sore hari yang cerah. Senyum terkembang lebar di wajah wanita itu.

Empat tahun sudah dia menjadi Nyonya Dion. Selain kehadiran si kembar yang sangat menggemaskan, Kamala juga menorehkan prestasi dengan mencetak tiga novel best seller tentang kehidupan tiga bersahabat yang sama-sama berjuang bangkit dari keterpurukan.

Kini Kamala dan Dion mencoba berbagi rezeki. Pendirian yayasan sosial baru yang berfokus pada perkembangan psikologi remaja resmi dibuka hari ini. Seluruh peristiwa besar tersebut terangkum dalam dada Kamala dan membuatnya ingin melakukan sujud syukur.

Fa bi'ayyi ālā'i rabbikumā tukażżibān,” bisik Kamala pada angin yang berembus.

“Apa, Sayang?” Dion bertanya karena tidak mendengar apa yang diucapkan istrinya.

Kamala menggeleng. Dia menggandeng tangan suaminya agar kembali masuk rumah yang disewa untuk yayasan sosial mereka.

“Terima kasih ya, Mas. Berkat Mas Dion, kehidupan aku jadi lebih terarah.”

Dion menyeringai. “Hanya begini doang ucapan terima kasihnya?”

“Memangnya Mas mau dikasih apa lagi? Semua kan, sudah punya.” Kamala menatap suaminya dengan ekspresi heran.

“Masih ada yang belum.”

“Apa itu?” Kening Kamala berkerut.

“Adik buat Syaron sama Delon. Biar mereka punya teman baru lagi. Mau kan, Sayang?”

Kamala terbelalak. “Mas, dua sudah bikin pusing kepala, loh.”

“Yah, banyak anak banyak rezeki,” seloroh Dion.

Kamala mengerucutkan bibir. Dia berhenti melangkah.

“Boleh saja, sih. Tapi ada syaratnya.”

“Apa itu?” Kali ini Dion yang menatap penuh rasa penasaran.

Kamala berjinjit. Dia membisikkan sesuatu ke telinga suaminya. Bola mata pria itu membulat besar berlanjut ke tawa renyah yang terdengar gembira.

“Kamu memang paling pandai kalau soal itu. Ayo, kita kembali ke dalam. Semua orang sudah menunggu.”

~TAMAT~

Blasio NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang