Empat

2.2K 81 2
                                    

Skip  21+

Setelah lima menit berlalu menikmati pelepasannya, Boruto tersentak. Ia mengangkat wajahnya secara tiba-tiba dari ceruk leher Sarada dan menatap wajah Sarada. Gadis yang kini menjadi wanitanya, menyiratkan garis kelegaan dan kepuasan di wajahnya. Matanya terpejam dengan bibir yang sedikit terbuka.

Kewarasannya yang pergi meninggalkan raganya kembali menguasainya. Rasa sesal karena menodai Sarada hadir di dadanya. Seakan ada anak panah yang menusuk dalam tepat di ulu hatinya.

Apa yang sudah ku lakukan?

Boruto menjauhkan dirinya dari atas tubuh Sarada. Menarik keluar kejantanannya yang masih bersarang di dalam Sarada dengan cairannya yang juga ikut mengalir. Ia merasa menjadi pria bajingan. Bodoh, karena melepaskannya di dalam Sarada. Bagaimana jika Sarada hamil?

"Ss-sarada," rintih Boruto tampak frustasi.

Ia menarik pergelangan tangan Sarada untuk bangkit dari posisinya lalu memeluk erat tubuh lemas Sarada. Ia menangis, menyesali semuanya. Sedangkan Sarada hanya tergugu dalam pelukan Boruto. Tak ada ekspresi seakan gadis itu syok dengan apa yang baru saja terjadi.

Boruto mengeratkan pelukannya. Tak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi. Bukankah dari awal Boruto siap dengan apa pun resiko yang terjadi. Bahkan sejak pertama ia mencium Sarada ia tak berniat melepasnya dan bertahan dengan keinginan memilikinya.

Beberapa waktu berlalu dengan Boruto yang menangis dalam pelukan Sarada, Sarada masih terdiam. Ia tidak menangis, tak berekspresi. Wajahnya datar, entah apa yang ia pikirkan. Apakah ia juga menyesal? Ataukah hatinya memaki kasar pada pria bodoh yang sudah merenggut kehormatannya. Menyalahkan Boruto pun juga salah karena ia bahkan membiarkan Boruto melanjutkan apa pun yang ingin dia lakukan.

Sarada mencengkeram lengan Boruto. Mendorong tubuh Boruto menjauh untuk melepaskan pelukannya. Ia mengusap sekali sisi wajah Boruto. Wajahnya masih tak berekspresi.

"Kita harus pulang," katanya sembari memutar tubuhnya membelakangi Boruto. Ia meraih lembar demi lembar pakaiannya lalu mengenakannya.

Pikiran Boruto melayang, bahkan saat kancing kemejanya yang terakhir mengunci, ia masih menatap kosong pada dinding yang membentang di hadapannya. Sarada berdiri di belakangnya sudah mengenakan pakaian lengkap. Rambut hitamnya berantakan dan ia berusaha merapikannya lagi menggunakan sela-sela jarinya.

Boruto memutar tubuhnya, hatinya perih saat melihat tubuh Sarada berdiri membelakanginya. Sepertinya Sarada tak ingin melihat wajahnya. Boruto berhasil membuat Sarada membencinya. Tiba-tiba dada Boruto terasa sesak dan nyeri membayangkan Sarada yang mungkin akan menjauh darinya.

Ia meraih pergelangan tangan Sarada dan dengan cepat Sarada mengibaskannya, seakan tak ingin ia menyentuhnya. Dada Boruto serasa di hantam oleh besi ribuan ton beratnya. Sesak, sakit, nyeri sekali. Kedua matanya memanas bersiap menangis lagi namun ia menengadahkan wajahnya berharap air mata yang ingin terjun bebas kembali masuk ke dalam matanya.

Ia menelan ludahnya sebelum berkata lirih, "Ayo pulang. Akan ku antar kau sampai rumah, Sarada."

Boruto berjalan duluan, mengangsurkan tas Sarada lalu membuka pintu gudang tanpa Suara. Mereka kembali melewati lorong sepi. Dengan kesunyian yang sama seperti beberapa waktu lalu, namun dengan perasaan yang berbeda. Mereka bahkan tak berjalan bersandingan seperti sebelumnya. Sarada berada semeter di belakang Boruto. Ia menundukkan wajahnya, mengawasi langkah kakinya sendiri. Hal itu membuat Boruto semakin merasa bersalah. Ia tak ingin Sarada membencinya, namun mengatakan sesuatu pun tak ada gunanya. Mungkin, Sarada perlu waktu untuk menenangkan diri.

Boruto dan Sarada melewati pos penjagaan, ada seorang satpam yang duduk di depan pos. Satpam itu terkejut melihat Sarada dan Boruto yang baru saja keluar dari gedung sekolah.

Our Mistake [BoruSara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang