Sembilan

2.1K 74 16
                                        

Boruto membawa tubuh Sarada ke sofa. Perlahan merebahkannya tanpa melepaskan ciumannya. Ciumannya semakin menggila saat lidahnya mulai bermain di dalam mulut Sarada. Mengeksplor rongga mulutnya, melilit dan menghisap lidahnya. Tangannya melepas kancing kemeja Sarada satu persatu hingga sampai pada kancing terkahir. Ia menarik turun kerah kemeja Sarada, menampilkan bahu putihnya.

Napas Boruto kian memberat saat ia meloloskan lengan kemeja Sarada dari tubuhnya, melempar kain putih itu sembarangan, hingga membiarkannya teronggok di kaki sofa. Tubuh Sarada memanas. Tali bra berwarna biru samudera merosot hingga ke lipatan lengannya. Bibir Boruto mulai mencium leher, dada, bahu semua yang bisa bibirnya capai.

Sarada membungkam mulutnya dengan telapak tangannya, takut jika suara desahannya terdengar oleh Himawari. Belum puas dengan itu, Boruto mulai menyusupkan tangannya pada punggung Sarada, melepas pengait branya dan meloloskan bra biru itu dari tubuh Sarada.

"Boruto," Sarada mendesah saat Boruto menyingkap rok Sarada dan mulai membelai belahan bibir bagian bawah Sarada yang masih terlapisi oleh celana dalam. Satu tangannya yang lain sibuk melepas ikat pinggangnya sendiri, juga membuka resleting celananya, membiarkan celana dalamnya terlihat dan gundukan besar menyembul di baliknya.

Sarada semakin malu saat Boruto berhasil menurunkan celana dalamnya, meninggalkan rok sekolahnya yang tersingkap. Bagian bawahnya sudah basah karena rangsangan kecil Boruto. Ia menusuk lubang Sarada dengan satu jarinya, Sarada memekik. Bukan yang pertama namun rasanya masih perih. Ia mecengkeram lengan sofa yang ia gunakan sebagai bantal saat rasa perih itu menjalar di bagian pangkal pahanya.

Satu gerakan kecil tangan Boruto berhasil membuat Sarada serasa melayang. Ia menikmatinya. Menikmati permainan Boruto yang terasa hati-hati. Matanya terpejam, bibirnya ia kulum menahan erangan yang berusaha meluncur dari bibir mungilnya saat Boruto melakukan gerakan keluar masuk jarinya pada bagian bawahnya.

Tubuhnya melengkung saat Boruto kembali mengulum ujung dadanya, dengan tangan yang lain meremas dadanya. Sarada merasa benar-benar gila dengan sensasi geli yang nikmat ini.

Ketika keduanya sedang menikmati permainan panas yang nyaris membuat keduanya menggila, pintu kamar Boruto menjeblak terbuka. Hal itu membuat Boruto dan Sarada gelagapan. Dengan cepat Sarada meraih kemeja yang tergeletak di bawah sofa, menutupi tubuh bagian atasnya yang sudah tak mengenakan apa pun kemudian menarik turun roknya yang tersingkap.

Wajah Boruto tegang menatap pada pintu kamarnya yang terbuka dengan sosok Himawari yang berdiri di sana. Gadis itu terpaku, terkejut, dan syok atas apa yang ia lihat. Nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring biskuit bergetar di tangannya.

"Hima," seru Boruto. Ia gelagapan.

Sial!

Mengapa adiknya harus melihat kejadian memalukan seperti ini. Merasa bodoh, karena ia lupa tidak mengunci pintu kamarnya.

Tanpa mengatakan apa pun Himawari berbalik pergi dari ambang pintu kamar Boruto, ia menutup pintu kamar dengan kasar hingga seluruh ruangan serasa bergetar. Gadis itu marah.

Boruto segera berlari mengejar adiknya, mengabaikan Sarada yang tertunduk malu. Bagaimana bisa Himawari melihat penampilannya yang sangat berantakan dan memalukan. Mungkin gadis itu akan membencinya karena ternyata dia bukanlah sosok kakak yang benar-benar baik seperti yang ia banggakan selama ini. Sarada malu. Malu pada Himawari. Entah masih adakah nyali baginya untuk bertatap muka dengannya lagi. Seketika, ia menangis. Menyesali semuanya.

Sementara Boruto masih mengejar Himawari, menghentikan langkahnya ketika gadis itu hendak menuruni anak tangga pertama.

"Hima. Hima, dengarkan nii-chan," Boruto menarik bahu Himawari membuat gadis itu berbalik menghadap padanya.

"Maaf untuk semua yang baru saja kau lihat"

"Aku tidak melihat apa-apa," kata Hima dengan suara bergetar. Ia menunduk dalam. Cengkeraman tangannya pada nampan semakin mengerat. Gadis itu terisak.

"Hima..." Boruto benar-benar merasa bersalah. Ia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa pada adiknya. "Maafkan aku."

Himawari semakin terisak. Ia menangis tersedu hingga air matanya jatuh membasahi beberapa keping biskuit yang ada di nampan.

"Hima, nii-chan mohon. Jangan beritahu hal ini pada siapa pun. Aku tahu kau sangat kecewa. Maafkan aku."

"Jangan katakan apapun. Aku tak ingin mendengarnya. Nii-chan tenang saja, aku akan menganggap hal ini tidak pernah ku lihat. Aku tak mau mengingatnya. Silahkan lanjutkan. Aku akan pergi agar tidak mengganggu."

Ucapan Hima tersendat-sendat oleh isakkan tangisnya. Ia menyodorkan nampannya pada Boruto dan Boruto menerimanya dengan perasaan campur aduk. Ia menatap Himawari yang melangkah pergi menuruni tangga dengan menangis.

"Kau mau kemana?"

"Aku akan ke tempat Kawaki."

"Hei! Hubungi dia dulu sebelum kau datang ke Apartemennya."

Himawari mengabaikan. Boruto tahu Himawari sangat dekat dengan Kawaki. Hima sangat menyayangi Kawaki seperti ia menyayangi Boruto.

Mendengar Hima akan pergi ke tempat Kawaki membuatnya sedikit khawatir. Bukan karena Himawari mungkin akan melampiaskan kekecewaannya kepada Kawaki, tapi mungkin gadis itu akan semakin kecewa jika ternyata Kawaki bersama Sumire di sana.

Boruto berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya kemudian meletakkan nampan berisi teh hangat dan sepiring biskuit itu di atas nakas di samping pintu kamarnya. Ia mendapati Sarada tengah memakai kembali pakaiannya.

Boruto mendekati Sarada, menghentikan tangannya yang hendak mengancingkan kembali kemejanya. Saat itu pula Boruto bisa melihat mata Sarada basah, ia menangis.

"Sarada."

"Aku malu, Boruto. Aku malu pada Hima. Dia pasti kecewa sekali padaku," Sarada terisak. Ia membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya tak sanggup lagi menahan tangisnya.

"Himawari pasti akan mengerti, Sarada. Dia tidak marah."

"Tapi dia kecewa. Aku menyakitinya."

Boruto tak tahu harus bicara apa. Walau bagaimana pun, Sarada benar bahwa Himawari benar-benar kecewa. Tidak hanya padanya tapi juga pada Sarada. Selama ini, Himawari begitu mengagumi Sarada sebagai gadis yang cerdas, pintar, dan keren. Melihat apa yang Sarada lakukan dengan kakak laki-lakinya tentu saja membuat Himawari kecewa, merasa apa yang ia lihat dari Sarada ternyata salah.

"Aku akan berbicara dengannya jika perasaannya sudah membaik," kata Boruto. Ia memeluk Sarada agar Sarada kembali tenang.

Selang beberapa saat ia ingat bahwa Himawari sedang menuju ke Apartemen Kawaki. Boruto harus memastikan bahwa Kawaki sedang tidak bersama dengan Sumire di sana. Setidaknya, jika memang mereka sedang berdua, Kawaki bisa bersiap-siap bahwa Hima akan datang menemuinya.

"Halo? Kawaki?"

"Ada apa, Boruto?"

"Himawari sedang dalam perjalanan menuju Apartemenmu. Kau sedang sendirian kan?"

"Ah, ya. Tentu saja aku sedang sendirian. Ada urusan apa Hima datang menemuiku?"

"Dia sedang ada masalah. Ku harap kau bisa menghiburnya."

"Oke baiklah."

Dari cara bicara Kawaki, Boruto bisa mendengar bahwa Kawaki memang tidak sedang sendirian. Terserah apa yang sedang ia lakukan asal saat Himawari sampai di sana, ia tidak melihat kejadian yang sama.

"Sarada, bolehkan aku melanjutkan?"

"Boruto. Apa kau gila? Kau baru saja mengecewakan adik perempuanmu, dan kau tidak merasa bersalah sedikit pun?" Sarada berkilat marah, mendorong tubuh Boruto menjauh darinya.

"Sarada, ku mohon."

"Tidak."

"Sayang."

"Hentikan Boruto. Aku mau pulang."

Mengabaikan Sarada, Boruto mengangkat tubuh Sarada, membopongnya dan melempar tubuh mungil Sarada ke atas ranjangnya lalu mengukungnya. Tangan besarnya mengunci kedua tangan Sarada di atas kepala kemudian ia kembali mencium bibir Sarada dengan penuh gairah. Tak perduli Sarada memberontak secara membabi buta, ia terus mengulum bibir Sarada, memberi gigitan hingga Sarada mau membuka mulutnya.

Our Mistake [BoruSara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang