Auris Tela Wenara alias Wena. Itu nama gue. Gue dan keluarga baru aja pindah ke sebuah kota kecil di pinggiran pulau beberapa hari yang lalu. Alasannya sepele, karena keluarga gue pengen ngerasain gimana rasanya tinggal di tempat yang penduduknya nggak begitu padat kaya di kota tempat gue tinggal sebelumnya.
Begitu pindah, Pak Johan, Papa gue, langsung nyari sekolah yang bagus buat putri satu-satunya ini. Ya, sebenarnya bukan putri satu-satunya sih. Anak Papa ada dua, tapi yang satunya cowok. Namanya Arel Fredino Winoto. Panggilannya Dino.
Gue sama Dino udah hidup belasan tahun dan nyaris nggak pernah akur. Tiap hari selalu ada alasan buat berantem dan ribut. Sampai Papa sama Mama aja udah pasrah dan 'bodo amat' sama kelakuan dua anaknya ini. Di sisi lain, Dino juga punya sikap yang perhatian banget sama gue. Gak jarang, justru Dino yang lebih keliatan jiwa kakaknya.
Untuk kesekian kalinya, gue melirik jam tangan warna hitam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri gue. Sudah pukul 10 pagi dan gue masih terpaku di sudut ruang guru. Lebih tepatnya ruang guru di sekolah baru gue. Ruangan dengan nuansa biru muda ini cukup rapi dan tertata meskipun enggak terlalu luas. Beda jauh sama ruang guru di sekolah lama gue yang luas. Mungkin dua kali lipatnya ruangan ini. Dan sampai detik ini gue juga belum dipanggil untuk masuk ke ruang kelas.
Ini semua gara-gara Dino. Coba aja kalau dia enggak rusuh di pagi hari dengan repot nyariin sepatunya, pasti Papa juga enggak bakalan telat nganterin ke sekolah.
"Hmm, kamu siapa tadi namanya?" Salah seorang guru yang duduk enggak jauh dari tempat gue.
"Wena bu," jawab gue lalu senyum semanis mungkin.
"Ayo ikut saya ke ruang kelas kamu."
Gue senyum. Akhirnya masuk ke kelas juga, pikir gue dalam hati.
Sepanjang jalan ke ruang kelas, beberapa murid kelihatan lagi nengok ke luar kelas lewat jendela, dan gue sadar betul kalau mereka mandang ke arah gue. Sesekali gue denger bisikan dari mereka.
"Itu siapa cantik banget?"
"Eh kok gue gak pernah liat itu cewek sih?"
Kira-kira begitu. Gue cuma diem tanpa noleh sedikitpun kearah mereka. Sampai akhirnya guru yang jalan di depan gue udah berhenti di depan ruang kelas 2-4. Beliau masuk lebih dulu, dan gue disuruh tunggu di ambang pintu.
"Anak-anak, kalian ada teman baru hari ini. Ayo sini masuk," kata beliau. Gue masuk kelas dan berdiri tepat di sampingnya. "Perkenalkan diri kamu ya."
"Halo, namaku Auris Tela Wenara, kalian bisa panggil Wena biar lebih akrab." Gue senyum lebar sekaligus ngelihat gimana reaksi orang-orang di hadapan gue.
"Cantik banget boosss," teriak cowok yang duduk di barisan paling belakang.
"Wena udah punya pacar belom, Wen?" kata yang lainnya. Otomatis kelas langsung berubah jadi pasar yang ramenya minta ampun. Gue cuma senyum kecut. Sedangkan guru di samping gue cuma geleng-geleng kepala.
"Yaudah sekarang kamu bisa duduk disana ya," katanya lalu nunjuk bangku kosong di dekat jendela.
"Baik bu." Gue jalan ke bangku yang dimaksud. Beberapa anak cowok yang gue lewatin refleks pasang muka ganteng ala mereka. Sekali lagi, gue cuma bisa senyum.
Selama pelajaran gue berusaha buat fokus dan mencatat apa yang ada di papan tulis. Jujur aja gue masih belum paham, karena materi yang lagi dibahas belum gue dapetin di sekolah lama. Beberapa kali gue nguap karena bener-bener ngantuk. Hingga telinga gue menangkap suara bel yang tandanya jam pulang sekolah udah tiba.
"Hei hei, nama lo siapa tadi?" tanya cowok yang tiba-tiba duduk disamping bangku gue.
Gue noleh kearah cowok itu. Mukanya imut. "Wena," jawab gue.
"Oh, Wena. Kenalin, gue Hosi," katanya sambil ngulurin tangan. Dengan semangat gue nerima uluran tangannya.
"Gue masih penasaran deh kenapa lo bisa pindah kesini? Padahal gue denger, sekolah lama lo itu bagus banget," seru cewek berambut panjang yang ternyata namanya Jihan.
"Iya, barusan gue baca di internet tentang sekolah lama lo. Gak nyangka aja kok lo malah pilih sekolah ini, hehe." Cowok itu terkekeh. Joshua namanya.
"Hmm, keluarga gue cuma mau ngerasain tinggal disini aja. Disana udah penuh banget soalnya," jawab gue sambil masukin buku ke dalem tas.
"Ckckck, keluarga kaya emang beda ya," kata Hosi sambil tepuk tangan. Bahkan anak-anak lain yang dari tadi ngerumunin gue juga ikut tepuk tangan.
"Apaan sih kalian." Gue nahan tawa. Beneran, mereka semua asik-asik. "Hayuk lah main ke rumah gue kapan-kapan."
"Btw, nih orang kemana nih?" kata Hosi sambil ngelusin meja yang dia dudukin.
"Hmm? Ada orangnya?" tanya gue panasaran.
"Paling juga kaya biasanya," kata Hao lalu menghilang dibalik pintu kelas dan gak tau pergi kemana.
"Udah yuk bubar-bubar." Gue ketawa kecil sambil gendong tas warna pink muda kesayangan gue.
Hari pertama Sekolah di Sekolah baru. Gue dapet perhatian yang luar biasa dari temen-temen Sekolah. Semua baik dan ramah banget. Gak sedikit yang nanyain apa alasan Selain itu juga Sekolahnya lumayan besar dan punya lapangan sepak bola.
Lingkungan sekolah udah mulai sepi, karena ya emang jam pulang sekolah udah sekitar 30 menit yang lalu. Gue sibuk celingukan nyariin Dino. Iya Dino. Adik gue. Papa yang bilang kalau gue sama Dino harus satu sekolah, biar enggak repot kalau mau antar jemput.
Gue lari kecil ke gerbang sekolah dan ngelihat itu bocah udah nongkrong bareng temen-temennya di halte yang ada persis di depan sekolah. "Cepet juga akrabnya itu bocah."
"Papa udah telepon?"tanya gue begitu sampai di samping Dino yang lagi ngobrol santai sama temennya. Dia cuma noleh sekilas terus ngegelengin kepalanya, dan lanjut ngobrol sama temennya lagi. "Kok lama ya," gerutu gue. Bukan apa-apa, masalahnya Papa bilang kalau mau jemput kita.
"Kak, lo dateng-dateng gak sopan bener sih. Ini ada temen gue, kenalan dulu kek, ngomel mulu." Dino mulai ngomel sambil ngeliat sebel kearah gue.
"Ha? Oh iya hehe, kenalin, Wena. Kakaknya Dino." Gue ngulurin tangan yang langsung disambut sama cowok itu. "Aksel," katanya sambil senyum.
Gue langsung berdiri agak jauh dari mereka berdua. Takut naksir temennya Dino soalnya. Manis banget booss. Beberapa detik kemudian, hp gue bunyi. Gak butuh waktu lama, jempol gue udah menari-nari diatas layar hp. "Gue yakin gue udah gila," kata gue dengan suara yang sangat-sangat kecil. Gue enggak mau kalau Dino tiba-tiba noleh kearah gue, dan liat gue lagi senyum gak jelas sambil balesin chat.
"Kumat lagi lo?"
Otomatis jari gue berhenti ngetik dan langsung natap Dino, "Apaan sih?"
"Yeuu, gue mah tau kali. Dipta kan?" Dino langsung cengengesan heboh waktu Aksel udah pergi naik bus.
"Mulut lo itu bisa diem gak sih?" kata gue geregetan. Kesel banget kalau udah liat Dino ngegodain gue terus cekikikan begitu.
"Santai aja kak. Rahasia lo aman sama gue," katanya. Iya, katanya doang. Nyatanya, mulut dia itu ember banget.
Yang diomongin sama Dino emang bener. Gue lagi bales chat-nya Dipta. Cowok sosmed yang udah gue kenal 2 tahun ini. Awalnya gue santai ngobrol sama si Dipta itu, tapi beberapa bulan ini enggak tau kenapa, gue jadi ngerasa aneh. Gue selalu nungguin chat dari dia, selalu bales cepet chat dia. Dan gue sekarang tau alasannya apa, karena gue suka sama dia. Gila kan? Bahkan gue belum pernah ketemu langsung sama dia. Selama ini Dipta enggak pernah ngeliatin mukanya, pasti cuma foto dari belakang, atau foto pemandangan aja. Iya, gue tau gue gila.
"Pulang gak lo? Itu papa udah dateng." Suara Dino ngebuyarin lamunan gue tentang Dipta. Cowok tengil itu bahkan ninggalin gue dan sekarang udah duduk santai di dalem mobil. "Ini sebenernya yang kakak, gue apa dia sih?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Cantik
FanfictionKehidupan siswi SMA yang cuma mau ketenangan dan memulai hidup baru. Nggak ada yang selalu sesuai rencana, kadang juga diluar logika.