Beberapa hari setelah Deka ngasih tau rahasia Windu, gue jadi berusaha buat nggak nyusahin. Udah cukup selama ini gue nyusahin Windu, kali ini nggak lagi-lagi. Gue bakal berusaha sebaik mungkin buat jadi temen yang baik buat Windu, dan bisa dia andalin kapan pun.
Pagi ini gue dateng cukup pagi, karena Papa ada janji rapat. Sedangkan Dino yang tumben banget nggak ada kesibukan OSIS, asyik nongkrong di Lapangan basket sama temen-temen cowoknya. Dia nggak keberatan sama sekali buat dateng pagi banget, karena udah terbiasa. Ya meski pun gue keberatan, mau gimana lagi. Masa iya gue bareng Windu, kan gue udah janji buat gak nyusahin dia lagi.
Gue berdiri di tepi balkon sambil ngunyah snack rasa ayam panggang. Gue juga nggak tau kenapa gue suka banget ngemil yang asin-asin. Kaya hidup gue tuh hambar banget tanpa micin. Suasana Sekolah masih lumayan sepi, sampai akhirnya Hosi sama Hao dateng.
"Sendirian aja, Wen," goda Hosi.
Gue ngelirik sebal sambil pura-pura ngelayangin bogem mentah ke mukanya.
"Gak usah galak-galak lah," kata Hosi sambil ketawa-ketawa dan masuk Kelas.
"Gak masuk Kelas lo?" tanya Hao.
Gue ngelirik arloji gue, "Ini masih jam berapa si, Hao? Udah nyuruh masuk Kelas?"
"Ya siapa tau lo mau ngecengin Hosi," jawab Hao sambil ketawa kencang.
Gue geleng-geleng kepala ngelihat tingkah Hao yang makin lama makin mirip Hosi.
Dari jauh, gue lihat Risa sama Jihan lagi jalan sambil ketawa heboh. "Ada apaan sih? Seru banget gue liat," kata gue begitu keduanya udah berhenti di depan gue.
"Nih, Risa diajak kenalan sama cowok Kelas 1," kata Jihan heboh, yang langsung dibalas toyoran di kepala.
"Serius lo?" kali ini giliran gue yang heboh. "Siapa, Ris?"
"Adek loooooo," jawab Risa gemas.
Gue membulatkan kedua mata, "DINO?!!"
Gue nyaris berteriak kalo Risa dan Jihan nggak buru-buru nutup mulut gue.
"Iya lah, siapa lagi." Jihan masih ketawa lihat ekspresi sebal Risa.
"Kok bisa?" tanya gue lagi.
"Ya tadi kan kita lewat Lapangan basket, terus pas anak-anak kelas 1 lagi nongkrong. Eh, Dino tiba-tiba nyamperin ngajak kenalan Risa."Jihan ngejelasin dengan detail. "Gue herannya, kan kalian sama-sama anggota OSIS, ngapain ngajakin kenalan?"
"Ya soalnya kalo di Ruang OSIS, gue sibuk sama Cici terus," kata Risa sewot. "Udah ah, gue mau ke Kelas."
"Yeee, ngambek," goda Jihan sambil nyorakin Risa yang udah mulai jauh. Sedangkan Risa cuma nutup kupingnya sambil jalan.
Bel masuk Sekolah udah bunyi. Semua murid sibuk berlarian ke Kelas masing-masing. Termasuk Dino yang gue lihat langsung lari ninggalin Lapangan basket sama temen-temennya.
Gue masuk dan langsung duduk di bangku gue, tapi ternyata Windu belum dateng. Gue ngecek hp, siapa tau dia bilang ke gue buat ijin nggak masuk, tapi ternyata nggak. Windu nggak bilang apa-apa sama gue.
"Kok gak masuk sih," gerutu gue sambil ngeluarin buku-buku dari dalam tas. Padahal gue ada niat baik buat traktir dia jajan hari ini.
Gue masih celingukan ke luar jendela, berharap Windu lari di koridor karena telat. Sampai akhirnya Bu Saras masuk dan berdiri di depan Kelas.
"Pagi," sapanya. "Hari ini, sebelum saya mengajar, saya mau kenalin ke kalian teman baru."
Sontak satu Kelas langsung ribut heboh. Gue celingukan nyari anak baru yang dimaksud Bu Saras.
"Ayo masuk." Bu Saras ngasih kode supaya anak baru yang berdiri nggak jauh dari pintu itu masuk.
Jantung gue berdetak ribuan kali lebih cepat. Kedua mata gue membulat seiring masuknya si anak baru itu.
"Hai, gue Minggu Sakananta Putra."
Minggu senyum sampai gigi taringnya kelihatan. Setelah itu dia ngedarin pandangan ke seluruh Kelas sampai akhirnya mata kita ketemu. "Kalian bisa panggil gue Minggu," katanya dengan tatapan yang hanya tertuju ke gue.
Tangan gue sedikit gemetar begitu seringai yang dulu sering gue lihat, kini muncul lagi di hadapan gue. Tarikan nafas gue perlahan memburu. Gue nggak bisa pura-pura nggak lihat Minggu di sana.
"Kamu boleh duduk di sana ya," kata Bu Saras sambil nunjuk ke arah bangku gue. Minggu langsung jalan dengan pedenya tanpa ngelepas senyuman andalannya.
Gue sedikit nunduk waktu Minggu tanpa ragu naruh tasnya di kursi kosong sebelah gue.
"Bukan di situ. Belakangnya ya," jelas Bu Saras. "Di situ sudah ada yang nempati."
"Siap."
Aura Minggu yang penuh semangat berasa banget. Dia duduk tepat di belakang gue. Lebih tepatnya di belakang kursi Windu.
"Hai, Wen," bisiknya dari belakang yang sukses bikin gue merinding. "Demi lo, gue pindah."
Gue nggak respon Minggu sama sekali. Rasa takut gue menjalar ke sekujur tubuh. Penjelasan Bu Saras tentang materi hari ini seolah terbang ketiup angin. Gue nggak bisa fokus sama sekali.
Ada ribuan Sekolah di Indonesia, tapi kenapa harus Sekolah ini? Lagi-lagi gue harus ketemu Minggu setiap hari kaya dulu. Meski pun sebenernya gue udah mencoba kuat, tapi entah kenapa tiap kali sosoknya muncul, gue jadi lemah lagi.
"Hai," sapa Minggu setelah berhasil duduk di kursi Windu setelah bel istirahat bunyi. Minggu menopang dagu dengan tatapan lurus ke arah gue. "Makan yuk."
"Gu, apaan sih," kata gue lirih. Gue merhatiin beberapa murid yang pandangannya tertuju ke arah gue sama Minggu. "Gue gak laper."
"Hei bro," sapa Hosi sok kenal. "Kenalin gue Hosi," lanjutnya sambil senyum sumringah.
"Minggu." Minggu nyambut uluran tangan Hosi. Setelah itu pindah ke tangan Hao sama Joshua.
"Windu gak masuk lagi, Wen?" tanya Hao.
Gue nyeka keringat yang perlahan muncul di dahi, "Iya."
"Heh lo kenapa keringet dingin gitu dah, Wen?" Hao tanya lagi. Kali ini sambil nempelin punggung tangannya di dahi gue. "Lo gak demam kok."
Minggu noleh ke gue. Sekilas gue tangkap seringainya. "Gue gak ngapa-ngapain, Wen," katanya.
"Lo udah kenal Wena?" tanya Hosi tiba-tiba. "Kayanya udah deket banget."
Joshua senyum, "Kenapa? Lo cemburu, Hos?" Pandangan mata Joshua pindah ke Minggu. "Gue rasa Wena juga tau mana yang ganteng," kata Joshua terus ketawa.
Gue nggak respon mereka semua. Pikiran gue saat ini cuma mau pulang.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/258532303-288-k749184.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Cantik
FanficKehidupan siswi SMA yang cuma mau ketenangan dan memulai hidup baru. Nggak ada yang selalu sesuai rencana, kadang juga diluar logika.