| Windu si penyelamat

14 2 4
                                    

Windu nggak bisa nyembunyiin rasa kagetnya begitu gue sebut Minggu. Dia langsung duduk di sebelah gue. "Lo serius?"

"Iya," jawab gue seadanya.

"Ngapain dia ke Rumah lo?"

"Gue gak tau. Tadi pagi tau-tau dia udah di Rumah gue, dan parahnya lagi, dia janji mau jemput gue pulang sekolah nanti."

Windu diem gak kasih respon apapun. Gue juga nggak butuh saran apa-apa. Gue cuma mau didengerin aja. Gue cuma mau berbagi keluh kesah gue ke tempat yang tepat. Dan gue rasa, Windu orang yang tepat.

"Lo tau gak sih, Nu? Minggu bilang kalo dia selama ini gak pernah nganggep kalo hubungan gue sama dia berakhir. Dia masih sayang dan nganggep gue ini pacarnya." Gue menghela nafas dalam-dalam. Nggak tau lagi harus gimana sama Minggu. "Sedangkan gue sendiri udah gak mau sama dia. Dia kasar."

Kali ini Windu noleh, setelah itu dia natap tanah yang dia injak lagi.

"Tadi itu, Minggu yang anter gue ke Sekolah. Gue udah bilang kalo gue gak mau dianter apalagi di jemput sama dia, tapi dia maksa."

"Dino juga nanti sama anak OSIS lain harus ngurus persiapaan lomba, Wen. Pulang sore."

Gue melengos. Udah gue duga, si anak yang paling rajin itu pasti nggak bisa diandalin. "Si paling rajin deh pokoknya Dino mah. Dia sendiri lho yang nyuruh gue pulang sama dia, Nu."

Windu senyum tipis denger ocehan gue. "Yaudah pulang sama gue aja."

"Serius lo? Gue gak ngerepotin?" tanya gue antusias.

Windu cuma jawab pakai anggukan kepala. Akhirnya ada harapan hidup. Gue bisa pulang sama Windu yang jauh lebih aman.

***

Bel pulang Sekolah udah bunyi, dan semua murid di Kelas gue otomatis langsung berhamburan keluar. Gue yang lagi masukin buku-buku ke dalem tas, langsung ngarahin pandangan ke arah Hosi yang udah rusuh mau ngajakin Windu ke tongkrongan bareng sama Hao.

"Gue mau pulang sama Wena," kata Windu malas.

"Iya iya elah yang mau pulang bareng. Bentar doang ini," rengek Hosi. "Ya Wen ya. Penting ini."

"Iya iya sana."

"15 menit lagi gue balik," kata Windu yang terpaksa nurut karena diseret Hosi.

"Gue tunggu di Lapangan basket," teriak gue sebelum Windu ngacungin jempol dan ngilang di balik pintu.

Gue langsung jalan keluar Kelas, dan ketemu Dino di lorong. Dia kelihatan sibuk banget dari barang bawaannya yang seabrek itu. "Apa?"

"Gue masih ada rapat, Kak. Lo balik sama Windu aja ya," kata Dino sambil bacain tulisan di kertas yang dia bawa. Kayanya lagi ngecek daftar bawaan.

"No, Minggu mau jemput gue," kata gue yang refleks langsung bikin Dino natap gue.

"SERIUSAN LO?" tanya Dino dengan nada kencang sampai beberapa murid di sekitar gue langsung noleh ke arah gue sama Dino. "Ngapain sih?"

"Ya mana gue tau. Gue juga gak mau," kata gue dengan nada penuh harap. "Lo gak bisa pulang aja apa, No?"

"Gak bisa lah kak. Gue sampe sore di sini." Dino ngelihat ke sekeliling Sekolah. Berhubung Kelas gue ada di lantai 3, jadi bisa ngecek ke arah gerbang yang kelihatan jelas dari sini. "Masih aman sih. Pokoknya lo harus pulang sama Windu."

"Iya gue tau."

"Yaudah gue mau ke Ruang OSIS dulu."

Perlahan Dino jalan ninggalin gue yang masih kalut sama perasaan gue sendiri. Gue sadar perasaan gue didominasi sama perasaan takut yang luar biasa, karena ada luka masa lalu yang belum sembuh betul. Tapi kalo bukan gue sendiri yang hadapi, dan lawan rasa takut itu sendiri, terus siapa lagi? Cuma gue yang bisa kontrol semuanya.

"Wen, duluan ya," kata  Jihan sambil mengayuh sepedanya.

"Iya hati-hati, Han," kata gue sambil duduk di pinggiran Lapangan basket yang posisinya udah deket sama gerbang Sekolah.

Baru aja gue mau buka buku buat dibaca sambil nungguin Windu, tiba-tiba Risa dateng grasa-grusu bawa buku tebal ke arah gue.

"Wen, Wen, bisa minta tolong gak? Tolong kasihin buku ini dong ke Cici. Dia nunggu di gerbang sana, tapi gue kebelet pipis." Raut muka Risa udah menjelaskan semuanya. Tanpa babibu, gue langsung mengiyakan.

"Makasih ya Wen. Maaf gue buru-buru mau ke Toilet," teriak Risa sambil lari. Gue cuma ketawa kecil lihat tingkah laku Sepupunya Windu. Seatraktif itu, sampai dilihatin anak Kelas lain pun dia nggak peduli.

Gue jalan ke arah gerbang, dan mulai nyari sosok Cici. Gue inget banget kalo cewek yang tiba-tiba dateng ke Ruang OSIS bawa pengumuman waktu itu namanya Cici. Anaknya cantik banget. Kulitnya putih susu, rambutnya hitam panjang, dan matanya bulat sempurna. Gue yakin dia pasti anak cewek idaman satu sekolah.

Gue celingukan agak lama, sampai akhirnya ngelihat Cici duduk di atas motor bareng Joshua. Cici ketawa kecil begitu gue jalan mendekat sambil bawa buku pesanannya. "Hehe maaf ya Wen, ngerepotin. Gue lupa soalnya," kata Cici.

"Lo mah emang ngerepotin," semprot Joshua.

"Yeee, nggak ya," jawab Cici lagi.

"Kalo gak ngerepotin, lo gak mungkin maksa gue duduk di sini bareng sama lo, anjir." Joshua mulai sewot. Sedangkan Cici cuma haha-hihi karena perkataan Joshua mungkin bener.

"Hehe sekali lagi makasih ya, Wen. Risa katanya kebelet ya? Dia langsung nelepon gue barusan, katanya bukunya udah dititip ke lo."

"Iya dia kebelet katanya," jawab gue santai.

"Yaudah gue pergi dulu ya Wen. Mau nyari referensi ke Perpustakaan Kota dulu," kata Cici lalu mulai makai helmnya.

"Duluan Wen," pamit Joshua setelah nutup kaca helmnya.

Tangan gue melambai begitu motor Joshua jalan menjauh.

"Balik lagi aja ah," kata gue lirih. Gue berniat jalan balik ke dalem Sekolah sebelum akhirnya seseorang narik lengan gue.

"Udah pulang kan?" tanya Minggu yang gue nggak tau dia muncul dari mana. "Ayo pulang," ajak Minggu lagi.

"Minggu." cuma namanya yang bisa keluar dari bibir gue. Gue celingukan nyari dimana mobil Minggu.

"Kenapa? Lo cari apa?" Minggu menyeringai. "Mobil gue? Itu gue parkir di ujung jalan sana. Soalnya kalo gue parkir di sini, dan lo lihat, lo pasti gak bakal keluar dari Sekolah."

"Gu, apaan sih lo. Lepasin." Gue berusaha ngelepasin tangan Minggu dari lengan gue. Gue nggak mau bikin keributan apalagi masih di sekitar Sekolah.

Beberapa murid dari Kelas lain ngelihat gue sama Minggu yang masih pegang-pegangan. Gue frustasi. Apa perlu Minggu gue teriakin orang cabul supaya gue bisa lepas dari dia.

"Wen, dicari Bu Saras."

Gue sama Minggu langsung noleh ke arah suara. Dari jauh, Windu jalan sambil gendong tasnya di salah satu bahu. Perlahan Minggu ngelonggarin pegangnnya dari lengan gue.

"Cepet sana masuk," kata Windu dengan nada tegas.

Gue langsung buru-buru lari ke dalem Sekolah. Windu dateng di saat yang tepat. Di saat gue butuh pertolongan dari manusia bernama Minggu.

Begitu sampai gerbang, gue sempet noleh ke belakang, Windu masih berdiri nggak jauh dari posisi Minggu, sampai akhirnya balik badan dan ngikutin gue ke Sekolah.

***

Menara CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang