Kala itu, usia Lio baru menginjak lima tahun ketika bunda meninggalkan dunia dan kembali pada Sang Pencipta. Adiknya, Cleo, masih berada di usia sangat membutuhkan perhatian dan buaian Sang bunda. Apa mau dikata, Tuhan telah menentukan masa semua makhluknya.
Itu adalah dua bulan setelah Cleo dilahirkan ke dunia. Tiba-tiba saja Bunda tidak bisa bangkit dari baringnya dan mengalami kejang. Detak jantungnya tidak beraturan, kemudian Bunda menutup matanya perlahan. Lio kira setelah Bunda dibawa ke rumah sakit oleh Ayah dengan tergesa-gesa, Bunda akan kembali membuka mata dan tersenyum lembut seperti biasanya. Namun, setelah tiga hari menunggu, dokter mengatakan tentang sesuatu yang sangat asing didengar rungu seorang Lio kecil.
Itu adalah tentang waktu kematian dan pelepasan alat-alat. Lio tidak mengetahui dengan pasti, namun Ayah yang menurut Lio sangat berani dan kuat, menangis tersedu-sedu sembari memeluk tubuh kecil Lio erat.
Lio juga tidak mengerti mengapa ketika pulang dari rumah sakit rumahnya sangat ramai, apakah mereka tidak bisa diam? Mereka akan mengganggu adek nanti. Pikirnya kala itu dan diutarakannya ke Ayah. Ayah hanya membalas dengan senyuman tipis dan usapan di rambutnya.
Lalu, ketika raga Bunda dimasukkan ke dalam liang kubur, baru Lio mengerti, bahwa ia telah ditinggalkan, ia tidak akan pernah bisa bertemu bunda lagi untuk selamanya.
Lio menangis, meraung, memberontak pada siapapun yang mencoba menenangkannya. Bibirnya memanggil Bunda berulang kali dengan nada tinggi, berharap Bunda datang dan meraihnya dalam gendongan. Mencegah siapapun mengubur raga Bunda dengan air mata yang membanjiri kedua pipinya.
"Ndak boleh! Jangan kubur Bunda! Bunda nanti sendiri!"
"Kembaliin Bunda nya Lio!"
"Lepasin! Lio mau Bunda!"
"Bunda!!!"
Ayah kembali menangis terisak memikirkan anak-anaknya yang telah menjadi piatu sejak usia dini. Ayah kehilangan cintanya, separuh jiwanya, pelengkap hidupnya. Tapi Ayah harus kuat, Ayah telah diberikan rumah dan cinta lainnya oleh Tuhan dan juga Bunda, Anak-anak yang harus ia besarkan dengan sepenuh hati dan jiwanya.
Maka, Ayah memeluk Lio erat. Membisikkan kata-kata penenang dan mengusap pelan dahi si Sulung, membiarkan tubuh Lio jatuh ke bahunya dan tertidur. Setelahnya, ayah meminta untuk melanjutkan acara pemakaman.
"Nggak papa, Vi. Maaf ya, Lio sama aku tadi nangis di pemakaman kamu. Sekarang kamu udah bisa pergi dengan tenang, kami udah nggak papa. Aku ikhlas melepaskan kamu dari dunia, Vi. I love you to the moon and back, Aevi. It never changes."
Sesampainya di rumah, Ayah merebahkan Lio di samping sang adik di kasur lipat yang digelar di ruang keluarga. Ketika menatap anak bungsunya, Ayah menyadari tubuh kurus dan wajah sembab sang anak. Maka, Ayah pun bertanya pada seseorang yang memang ia titipi untuk menjaga Cleo selama beberapa hari terakhir.
"Ini kenapa mbak, Cleo-nya? Kok kurusan dan sembab gini?"
"Mohon maaf, Pak. Den Cleo rewel terus sejak almarhumah ibu di rumah sakit. Susah buat makan dan menangis terus. Saya juga minta maaf, Pak, sudah lancang masuk ke kamar bapak dan almarhumah ibu buat nidurin Den Cleo. Den Cleo bisa tenang dan nyenyak kalau di sana, Pak. Biasanya Den Cleo meluk gaunnya ibu di sana sambil ketawa."
Ayah tersenyum mengangguk, memaafkan. Jemarinya bergerak mengusap kening si Bungsu dengan perlahan, "Rindu sama Bunda ya, Nak? Nggak papa, ya, ikhlaskan Bunda, ya, biar Bunda bisa pergi dengan tenang. Kamu di sini sama Ayah sama Kakak Lio, ya? Ayah sayang sekali sama kalian berdua. Tumbuh dengan baik, ya, anak-anak Ayah. " Ujar Ayah tegar.
Salam,
Florakiest
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenopsia
Short Story"Ssst, adek lagi tidur, Kak. Jangan dibangunin, ya. Nanti rewel." Ucap Bunda sembari mengusap lembut punggung sang anak bungsu. "Ssst, iya bunda... " balas sang Kakak patuh.