7

85 10 0
                                    

Ayah menatap kalender duduk yang ada di hadapannya. Memperhatikan hari dan tanggalnya. Ayah tentu menyadari banyak tahun yang telah ia lewati bersama keluarganya. Waktu berlalu dengan cepat sekali.

Pandangan Ayah beralih ke sebuah pigura besar berisikan foto keluarga Easte lengkap bersama Bunda yang terpajang apik di atas kepala ranjang. Tema yang diambil kala itu adalah soft dan pastel. Ayah merangkul bahu Bunda dan Lio dari belakang, di pangkuan Bunda ada Cleo kecil yang sedang tertidur. Segalanya tampak sempurna dengan raut bahagia menghiasi wajah mereka.

"It has been a long time, Love. And I still love you to the moon and back. Sedekat jantung dan detaknya, selalu."

"Our children are growing. They're great to make me worry everytime they do something weird. Well, just out of the box, I think."

"Happy anniversary, darla."

Ketukan pintu membangunkan Ayah dari lamunan singkatnya.

"Masuk saja, Nak!"

Pintu terbuka perlahan. Sebuah kepala menyembul dari celahnya. Wajah itu tersenyum lebar menatap sang Ayah. Dia Cleo, putra bungsu kesayangan Easte.

Kaki-kaki mungilnya melangkah dengan semangat menuju sang Ayah yang sedang merentangkan kedua tangan, bersiap untuk memeluk buah hati.

"Ayah!"

Tubuh kecil itu telah berada dalam dekapan paling aman di hidupnya. Ayah mengelus pelan punggung Cleo.

"Pagi, Cleo! Seneng banget kayanya? Ada apa nih? Sharing dong ke Ayah."

Cleo mendongakkan kepalanya dan tersenyum lucu. Meskipun Cleo sering mengucapkan kata-kata gaul dan berekspresi seperti remaja yang seharusnya belum diketahui di usianya sekarang, Cleo masihlah anak kecil. Ia belum terlalu memahami apa yang dilakukannya, apalagi yang hasil tiru-meniru teman-teman sang Abang. Kelakuan mereka saja kurang lebih sama dengan monyet ragunan.

"Ayah, hari ini aniversari kan?" Tanya Cleo semangat.

Ayah sebenarnya gatal ingin membenarkan pronounce sang Anak. Namun, karena tidak ingin merusak suasana di antara mereka, Ayah mengangguk saja.

"Surat dari Bunda ada, dong?"

Ayah terkekeh mendengar pertanyaan Cleo. Telah menduga sebelumnya.

"Ada dong! Tapi ada syaratnya." Jawab Ayah.

Cleo melepaskan diri dari dekapan Ayah. Mencebikkan bibirnya kesal. "Iss, dari dulu ada syaratnya terus." Protesnya.

"Ya, iya lah. Hidup itu sulit anak muda. Kamu bisa dapat kalau kamu berusaha."
Ayah mengusap rambut Cleo.

"Gampang, kok, syaratnya."

"Apa tuch?"

Ayah tertawa mendengar pengucapan Cleo. "Kayanya kamu itu emang harus jauh-jauh dari teman-teman Abangmu. Pengaruh sesat mereka."

"Kata Bunda ngga boleh pilih-pilih teman." Cleo membantah seraya menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

"Mereka teman Abang?"

"Kan, Abang teman Adek. Berarti teman Abang teman Adek!"

"Sakkarepmulah. Ayah ambilkan dulu suratnya." Ayah memilih menyudahi pembicaraan konyol mereka. Membuka laci putih dan mengambil dua buah amplop warna biru dari sisi yang berbeda, lalu memberikannya ke Cleo.

"Itu buat kamu sama Abang. Udah ada namanya. Eh, iya Abang mana?"

"Terimakasih Ayah! Abang ngga tau tuh kemana, cari pacar kali." Cleo menjawab tak peduli dan memilih mengamati amplop yang terdapat namanya.

"Pacar, pacar, masih kecil kamu! Mana tau pacar."

"Emang ngga tau. Tapinya, Kak Arsen tau, Yah. Adek ngikut aja."

Ayah tersenyum miris. "Sana sarapan!"

"Ihh, mau baca surat Bunda dulu." Cleo menolak.

"Iya, sayang. Dibaca ya, di kamarnya Cleo sendiri. Ayah mau menggalau dulu."

Cleo menatap Ayah julid. "Apa tuh galau? Ngga lepel. "

Tolong, Ayah tertekan.


"Widih, dah ada yang dapat surat, nih."

Oh itu Lio yang tidak sengaja lewat kamar adiknya. Yang punya kamar lagi khusyuk baca, jadi ngga terlalu peduli sama Abangnya.

Sadar sang adik mengabaikannya, Lio menyelonong masuk dan melompat ke ranjang Cleo.

Brak

Cleo tersentak kaget. Kedua matanya melotot lebar menatap horor Lio. "Kaget ini Adek! Abang tuh ngga bisa santai apa?"

Lio menggaruk rambutnya yang tak gatal. Jarinya membentuk simbol v.
"Hehe, peace Dek. "

"Pas, pis, pas, pis! Sana ih! Ganggu Adek sama Bunda aja."

"Elah, galak bener. Surat Abang mana?" Tanya Lio seraya menengadahkan telapak tangan kanan.

Cleo mengambil amplop yang ada di nakas, kemudian memberikannya ke Lio. "Abang tadi darimana? Ditanya Ayah."

Lio menerima amplop itu hati-hati. "Oh ya? Kamu jawab apa?"

"Abang lagi cari pacar." Cleo menjawab dengan wajah tanpa dosa.

"Bocil, mulutmu tu pingin banget Abang ulek." Lio membuat gerakan seperti ingin meremas setelah meletakkan amplop biru itu ke ranjang.

Pagi itu berakhir dengan suara gelak tawa dan teriakan memohon ampun dari Cleo yang digelitik Lio.














Tbc

Salam,
Florakiest

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang