"Love, apa yang lebih dekat dari jantung dan detakannya?" Tanyaku manakala kita duduk berdua di kursi belakang rumah Belanda peninggalan Kakek.
Kamu tertawa pelan mendengarnya. Menggapai telapak tanganku yang bersandar nyaman pada perutmu yang mulai membesar, lalu menggenggamnya erat.
Semilir angin sore hari membuat rambut panjangmu berkibar dengan indahnya. Aku bersumpah, kamu dengan senyuman terukir di wajahmu dalam balutan dress warna abu-abu berlatarbelakang kan langit berwarna oranye adalah kamu yang paling cantik selama hidupku.
Kamu yang tampak ringan tanpa beban, padahal jelas terlihat kamu membawa buah hati pertama kita dalam perutmu yang kecil. Aku rasanya ingin meminta maaf kala dirimu, Sayang, merasa sakit ketika ia menendang, atau ketika kamu berdiri di depan kaca mencari pakaian yang muat untuk tubuhmu.
Namun, kamu selalu memperlihatkan wajah berseri-serimu dan berbagai khayalanmu tentang masa depan ketika aku pulang. Berbaring nyaman di kamar kita dengan tubuh saling mendekap.
Hangat.
Usapan tanganmu menyadarkanku, kamu menjawab, "Tuhan dengan hamba-Nya."
Aku mengangguk mengamininya.
Ayah terbangun dari tidurnya. Tangannya mendapati sebuah kain basah yang terlipat di dahinya. Ah... Ayah sedang sakit.
Mengingat mimpinya, mungkin saja karena rindu pada sang kekasih, ia jatuh sakit dan berakhir dengan dirinya yang mendapat mimpi itu.
Ayah terkekeh menyadari pikirannya. Karena rindu ia bisa sakit? Mungkin saja iya.
Menggelengkan kepalanya pelan, Ayah mulai bangkit dari tidurnya. Pandangan Ayah menangkap keadaan kamarnya yang sedikit berantakan dengan air yang menggenang di sekelilingnya. Almari nya terbuka dengan pakaian jatuh tersebar di lantai.
Melihat itu, Ayah jadi teringat saat-saat sebelum dirinya tumbang karena demam. Tidak terlalu parah memang, tapi ketahuilah Ayah memiliki golongan darah O!
Anak-anak Ayah yang baik dan tidak sombong itu bahu-membahu merawat Ayah. Menelpon dokter, menyiapkan kompres demam, membawa bye-bye fever, membuat bubur, dan terakhir menebus obat.
Ini bukan pertama kalinya, tapi keluarga kecil itu selalu seperti ini.
Ayah menghela napasnya, ingin rasanya membereskan segala kekacauan di dini hari ini. Tapi rasa malas Ayah tampaknya lebih mendominasi. Apa boleh buat?
Kaki-kaki Ayah berjalan berbalik menuju ranjangnya. Kembali berbaring dan membiarkan dirinya terlelap.
Paginya, setelah mandi dan mengenakan pakaian, Ayah keluar dari kamarnya tanpa menyadari dua tubuh yang bersandar di pintunya. Ketika Ayah menarik pintu itu, jatuhlah anak-anak ke belakang. Untungnya, Ayah dengan sigap menahan mereka dengan kedua kakinya yang kokoh.
Setelah menenangkan detak jantungnya yang baru saja menggila, Ayah berjongkok dan menahan anak-anak dengan lengannya.
"Astaga, kalian ngapain? Heh, bangun!"
Si sulung terbangun lebih dahulu. Kedua matanya mengerjap menyesuaikan dengan cahaya. Bangkit dengan perlahan ketika mengetahui tubuhnya ditahan sang Ayah. "Ayah udah sembuh?"
"Iya, udah ini. Kalian ngapain sih, di depan pintu kaya gitu?" Tanya Ayah meminta penjelasan.
"Ya kan --hoamm khawatir sama Ayah." Jawab Lio.
Mendengar jawaban sang anak, Ayah menggeram rendah menahan gemas. Gemas pingin jewer maksudnya.
"Nggak gitu juga. Kalian nanti yang sakit kalau tidur di sini? Dari kapan kalian di sini?"
"Ayah, kita nggak pindah dulu? Kasihan itu si Cleo nggak enak tidurnya." Lio menyarankan.
"Bangunin aja deh, udah siang sekalian sarapan." Ucap Ayah.
"Jadi?"
"Kan khawatir sama kepala keluarga yang gagah perkasa kaya Werkudara ini."
Saat ini, keluarga kecil itu sedang menikmati sarapan seraya sang kepala keluarga memulai tanya-jawab mendadak. Lagi di sidang ceritanya.
"Tahu, kamu udah bilang tadi. Maksud Ayah dari kapan kalian di sana? Tunggu! Jangan bilang semalam suntuk kalian tidur di sana?" Ayah berasumsi.
"Idih, niat banget. Nggaklah! Baru dari jam enam tadi, kok. Niatnya mau bangunin Ayah. Udah aku panggil berkali-kali ngga jawab juga. Aku tunggu sambil lesehan, eh malah ketiduran. Bangun-bangun tuh bocil udah ngikut aja." Lio dengan baik hati menjelaskan.
"Maaf deh, Ayah tadi udah bangun terus tidur lagi."
Lio mengangguk saja, lalu melanjutkan sarapannya.
"Tumben Dek, nggak ngomong apa-apa?" Ayah kini mengalihkan perhatiannya ke si bungsu.
Cleo menghentikan acara makannya dan menatap sang Ayah. "Lagi makan?"
Ayah menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Iya, gih, dilanjut."
Lio tertawa mendengar percakapan keduanya. "Ayah tijel ih"
"Lambemu!"
"Ayah sama Abang gaje, dih. Aku pergi aja, masih pingin waras. Bubay!" Cleo bangkit dari duduknya dan membawa piring yang telah kosong ke wastafel untuk mencucinya.
"Adekmu tuh!"
"Maaf, Anda siapa?" Setelahnya, Lio bangkit mengikuti sang adik. Meninggalkan Ayah yang menghela napas panjang. Baru juga sembuh, udah disadarin realita aja. Baik banget dunia. Sabar ya, Ayah.
Ayah seterong!
Salam,
Florakiest
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenopsia
Short Story"Ssst, adek lagi tidur, Kak. Jangan dibangunin, ya. Nanti rewel." Ucap Bunda sembari mengusap lembut punggung sang anak bungsu. "Ssst, iya bunda... " balas sang Kakak patuh.