12

45 4 7
                                    

Lio menggigit bibirnya keras, tidak peduli dengan luka yang diakibatkannya. Kedua matanya berkaca-kaca dan kedua jemari tangannya meremas satu sama lain. Lio sangat takut saat ini.

Bagaimanapun apa yang telah dia lakukan tadi salah dan Lio yakin Ayah telah mendapat laporan tentang apa masalah yang diperbuat Lio di sekolah.

Pintu kamarnya terbuka, dari sebaliknya muncul dua kaki mungil. Itu Cleo.

"Abang? Kenapa di sini gelap sekali?"

"Abang di mana sih?"

Meski tidak ada balasan dari Lio, Cleo tahu kakaknya ada di dalam kamar. Ia melihat sendiri saat Lio masuk ke kamar dan belum keluar sejak satu jam lalu. Cleo menemukan ini sebagai kejanggalan, karena biasanya Lio hanya masuk kamar sebentar untuk ganti baju, setelahnya ia akan bergabung dengan Cleo di ruang belajar dan bermain.

Apalagi ketika Ayah menelepon dengan nada yang kental akan amarah dan menanyakan keberadaan Lio, Cleo menjadi semakin curiga.

Cleo mengedarkan pandangannya untuk menemukan sang kakak. Namun nihil. Kamar Lio sangat gelap, ingin menyalakan lampu, tapi Cleo tidak tau letak remote kontrolnya. Satu-satunya cara adalah membuka korden jendela yang berada di samping ranjang.

"Abang, Cleo izin singkap korden, yaa?"

Masih tidak mendapat jawaban dari Lio.

Cleo naik ke ranjang, tangannya terangkat hendak menyingkap korden, namun belum sempat niatannya itu ia wujudkan, Cleo ditarik dari belakang. Tidak terlalu kuat, tapi tetap saja membuat anak berusia sembilan tahun itu terkejut.

"Abang!" Napas Cleo memburu, jantungnya berdetak sangat cepat sekarang.

Lio memeluk sang adik cepat seraya mengelus punggung serta rambut Cleo. "Maaf, Adek. Maaf. Tolong, biarin aja kamar Abang gelap, ya."

Setelah berhasil menenangkan dirinya, Cleo balas memeluk sang kakak erat. "Abang kenapa? Abang ga suka gelap, kan?"

Lio semakin mengeratkan pelukannya, air matanya mulai mengalir ke pipinya yang masih terdapat sisa-sisa lemak bayi. "Cleo, kalau A-Ayah udah pulang, Cleo keluar dari sini, ya?"

Cleo melepaskan dekapan itu paksa. Menyadari kakaknya menangis, dada Cleo terasa nyeri. Lio memang sering menangis, tapi itu karena bahagia yang remaja baru puber itu rasakan, hatinya memang sangat lembut. Baru kali ini Cleo melihat Lio sangat rapuh dan putus asa.

Jemari tangan Cleo terangkat mengusap air mata Lio. "Abang, Cleo really loves you. Ayah juga loves you. Bunda sangat-sangat loves Abang Lio. Abang jangan sedih, Cleo bakal temanin Abang ngomong sama Ayah." Ucap Cleo menghibur kakaknya.

Lio tersenyum tipis mendengarnya, ia kemudian mengecup kening sang adik penuh sayang. "Adek, makasih yaa. Cleo adik yang baik, kan?"

Cleo mengangguk mengamininya, "Em!"

"Tolong, lakukan permintaan Abang tadi, ya? Bentar lagi Ayah bakal pulang, Cleo ambil camilan dan minuman kotak di kulkas, habis itu bawa ke kamar kamu, ya? Jangan keluar sebelum Abang ke sana, oke?"

Cleo mengembuskan napasnya pelan. Ia tidak ingin meninggalkan sang kakak yang sudah jelas akan mendapat amarah Ayah nanti, namun ia juga tidak bisa menolak permintaan Lio. Belum sempat Cleo mengutarakan pendapatnya, suara deru mobil Ayah menandakan kepala keluarga itu telah sampai.

Sadar tidak memiliki banyak waktu, Lio segera menggendong sang adik dan membawanya ke kamar Cleo sendiri. Lio bergegas mengunci pintu kamar Cleo dari luar dan masuk kembali kamarnya, tanpa memedulikan panggilan Cleo.

Lio menarik napasnya dalam-dalam, persiapannya sedari tadi tidak membantu mengurangi ketakutan dan kegugupannya sama sekali.

Pintu pun terbuka, di hadapan Lio sekarang, Ayah sedang berdiri menatapnya marah. Bola mata Lio bergerak acak, tidak ingin melihat kemarahan ayahnya.

"Lio, tatap Ayah!" Kalimat perintah itu meski diucapkan dengan pelan namun penuh tekanan.

Lio menatap sang ayah ragu-ragu. Jemarinya mengepal. "Maaf, Ayah. Maafin Lio, Ayah." Suara Lio bergetar ketika memintanya.

"Kamu tahu perbuatan kamu tadi salah?"

"Iya, Ayah. Maaf..."

"Kenapa kamu lakukan?"

"Lio...Lio diajak teman, Ayah. Lio cuma nyobain."

Disitulah emosi Ayah memuncak. "Nyobain? Ayah udah pernah bilang, jangan pernah coba-coba sesuatu yang kamu tahu itu salah. Kamu udah tahu dari awal kalau merokok itu ga baik, apalagi buat remaja baru kaya kamu.

"Diajak teman? Kalau kamu nolak dari awal, mereka ga bakal paksa kamu. Kalau mereka maksa terus, jauhin! Mereka toksik. Cari teman yang lain!"

Ayah mengusap rambutnya ke belakang mendengar sang putra menangis sesenggukan. "Lio, Ayah marah karena sayang sama kamu. Ayah juga pernah jadi remaja, hormon kamu memang lagi masanya ga stabil, ini waktunya kamu mencari jati diri, tapi otak dan hati kamu akan selalu tahu apa yang baik dan yang buruk buat kamu."

Ayah kemudian mengelus kepala dan pundak Lio pelan, "Tugas Ayah untuk membimbing kamu. Proses kamu masih panjang. Pastinya ada masa-masa kita akan berdebat. Kamu dengan ideologi kamu dan Ayah dengan realisme Ayah. Jangan takut kalau ke depannya kamu akan melakukan kesalahan yang akan membuat Ayah marah, itu bagian dari proses kedewasaan. Tapi tentu saja kalau bisa jangan sering-sering. Ayah udah tua, soalnya."

"Maaf Ayah. Janji ga bakal Lio ulangi."

"Oh, harus itu. Kamu ulangi, Ayah suruh kamu tidur di luar." Ancam Ayah main-main.

Sore itu ditutup dengan ajakan Ayah untuk makan-makan di restoran Jepang. Tidak lupa mengeluarkan Cleo yang menangis terisak-isak dari dalam kamar.

"Jahat banget Cleo dikunci-in di kamar. Padahal Cleo udah baik menghibur Abang." Cleo mengungkapkan kekesalannya seraya terus menyuapkan sushi ke mulutnya.

Lio terkekeh pelan, "Maaf dek..."

Ayah mengambil alih sumpit Cleo dan dihadiahi tatapan marah si bungsu yang masih sibuk mengunyah.

"Ayah!"

"Pilih salah satu, makan atau bicara?"

Cleo menarik sumpitnya kembali, "Makan!"

Ayah dan Lio tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lucu Cleo.

Salam,

Florakiest

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang