11

66 3 0
                                    

Lio berjalan mondar-mandir di kamar Cleo. Jantungnya berdegup sangat kencang. Lio bahkan merasa jantungnya bisa copot kapan saja.

Cleo sedang tidur ketika ia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dengan terburu. Sampai 15 menit ini tidak ada tanda-tanda si bungsu akan bangun, cukup banyak membuat Lio sedikit tenang.

Suara pintu terbuka menghentikan Lio dari kegiatan tidak bermutunya.

"Ngapain kamu? Lagi simulasi jadi setrika?" Suara dari orang yang paling ditunggunya terdengar di telinga Lio.

"Ayah! Kenapa mereka kesini?" Tanya Lio tanpa basa-basi seraya mendekati Ayah.

Ayah mengabaikan sejenak pertanyaan si putra pertama. Netranya menuju ke si bungsu yang masih terlelap pulas. Ayah kemudian duduk di salah satu sisi ranjang diikuti Lio tak lama.

"Yah!" Panggil Lio tak sabaran.

"Apasih, Bang? Diem dulu coba. Biarin Ayah napas dulu, nggak lihat tangan Ayah gemeter ini?" Ujar Ayah seraya menunjukkan kedua tangannya yang gemetar ringan.

"Ayah takut?" Lio menaikkan sebelah alisnya. Menatap sang Ayah sangsi.

"Jelas. Ayah takut banget kalau kalian sampai kenapa-napa. Ayah takut kalian bersama mereka sedangkan Ayah ngga ada di sini sekarang." Jelas Ayah panjang lebar.

Ahh, begitu. Ayah bukannya takut akan mereka dan kekuasaan yang menyertai mereka. Ayah...hanya takut tidak bisa melindungi anak-anaknya ketika mereka  bergerak tanpa sepengetahuan Ayah.

Dengan begitu, Lio bergerak memeluk Ayah erat. Tak ingin lepas. Pelukan teraman dan ternyaman bagi kedua putra Ayah di dunia mereka sekarang.

"Ayah, Abang takut...takut sekali. Kenapa mereka di sini lagi? Apa mau mereka kali ini?" Suara Lio bergetar menahan isakan.

Ayah menepuk punggung Lio pelan. "Ayah ngga tau apa lagi keinginan mereka kali ini, Lio. Setelah memutus tali kekeluargaan antara mereka dengan Bunda dan berniat mengambil salah satu dari kalian, Ayah tidak tau rencana licik apalagi yang mereka mainkan---

"Namun, satu hal yang pasti, mereka, bagaimanapun caranya ingin membuat Ayah memberikan semua kepemilikan kita kepada mereka."

Lio mendongak menatap ke dalam mata Ayah yang berkilat tajam. "Tapi mereka bukan siapa-siapa Ayah! Mereka tidak memiliki hak apapun atas apa yang Ayah miliki sekarang."

"Ada, Lio." Ayah mengusap rambut Lio. "Tidak sekarang kamu mengetahuinya. Setidaknya sampai tinggimu sama dengan Ayah atau bahkan lebih tinggi lagi."

Lio melepaskan pelukan mereka. "Tidak adil!" Serunya.

"Mana bisa begitu! Aku saja tidak tau di ukuran berapa tinggiku tidak akan bertambah lagi! Bagaimana jika aku mewarisi gen Bunda yang hanya sedada Ayah?" Protes Lio tidak terima.

Ayah mengendikkan bahunya. "Masih ada Cleo yang selalu siap untuk mendengarkan rahasia Ayah. Dia pasti akan melakukan segala macam cara untuk dapat memenuhi syarat Ayah."

"Lalu aku?"

"Tanyakan saja pada Cleo ketika Ayah sudah memberitahunya."

Detik itu juga Lio menyadari sang Ayah menjadi dua kali lipat lebih menyebalkan ketika berhasil menghadapi hal menyebalkan lainnya.

Kedatangan orang-orang yang paling tidak diinginkan oleh keluarga kecil itu sudah menjadi kenangan tiga hari yang lalu. Mendapati matahari terbit di timur disambut oleh kalimat penuh syukur.

"Terimakasih Tuhan, Jumat hari ini masih Jumat berkah." Gumam Lio pelan seiring langkahnya menuruni tangga.

"Iya, belum kiamat. Abang kan masih banyak dosa."

"Astaga!" Seru Lio kaget mendengar sahutan dari belakangnya secara tiba-tiba.

Cleo menatap sang Kakak mencemooh. "Lemah, gitu aja kaget."

"Mulutnya licin bener. Masih kecil juga." Langkah Lio terhenti, padahal tinggal tiga anak tangga lagi untuk sampai ke lantai pertama.

Cleo yang berjalan di belakang Lio juga ikut berhenti. Siap melawan sang Kakak.

"Apa!" Cleo melotot.

"Nggak usah sok melotot gitu, kalau sipit ya sipit aja!" Komen Lio tajam.

"Dasar rasis!"

"Gelut terosss!" Nyinyir Ayah yang berjalan melewati mereka menuju dapur.

"Komen terosss!" Balas keduanya kompak. Kemudian mengikuti langkah sang kepala keluarga.

"Bodo amat." Ucap Ayah dengan nada menyebalkan.

"Widiiih, enak nih!" Suara dari arah belakang membuat ketiga laki-laki berbeda usia itu berjengit kaget. Serempak menoleh dan mendapati seorang perempuan dewasa yang tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.

"Hello all! Miss me?" Sapa perempuan itu.

"Aunty Lily!" Lio dan Cleo memanggil dengan bersemangat, memeluk tamu itu erat.

"Miss you so much!"

"Aw, my nephews really are sweet!"

Ketiganya berpelukan melepas rindu, mengabaikan Ayah yang tersenyum melihat kebersamaan mereka.

"Hello, Mr. Varese. Wanna hug me?" Tawar perempuan itu setelah melepas pelukan dari keponakan-keponakannya.

"No, thanks. Where have you been Mrs. Graver? It's already three weeks! You and your husband annoying habit, ewh!"

"Ahahaha, you know me so well, mate." Tanggap Lily sederhana.

Taciana Lilyane-Graver. Sahabat perempuan satu-satunya Ayah. Mereka telah bersahabat sedari balita sampai sekarang. Tentu saja membuat hubungan di antara keduanya sangat kuat, bahkan seperti saudara.

Lily menikah dengan seorang keturunan western, dari keluarga Graver sebelas tahun yang lalu. Dari pernikahannya ia memiliki anak kembar tiga laki-laki (triplets) berusia sekitar enam tahunan.

"Where are our triplets friends, Aunt?" Tanya Cleo setelah sarapan mereka usai.

"Oh boy, sadly they are still asleep."

"Graver and his triplets sons." Cela Ayah tak mengalihkan perhatian dari piring yang dicucinya.

"Okay, I have some things in my house. I can't carry them myself. Would you, guys, like to come to my house?" Lily menawarkan dan disambut seruan accepting yang menyenangkan.

"My pleasure, Aunt!"

"How great! Let's go!"

Setelah kakak beradik itu berpamitan kepada Ayah, mereka pergi mengikuti Lily ke rumahnya. Untuk mendapatkan oleh-oleh tentu saja. Siapa yang tidak suka gratisan memangnya? Terlebih, keluarga Graver baru saja kembali setelah mengelilingi Eropa. Oleh-oleh yang dibawa pasti menakjubkan.

(Irl, I want some of those "oleh-oleh" too! Cry silently.)



















Salam,
Florakiest

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang