5

100 8 0
                                    


Keempat anak laki-laki itu sedang berkumpul di meja makan yang bergandengan dengan dapur. Hanya Dipta yang tidak ikut makan bersama ketiga lainnya karena ia telah mendahului.

Selama kegiatan itu, tidak ada satu pun yang berbicara. Mereka menerapkan etika dan tata krama. Selain tidak sopan, makan sembari berbicara bisa menyebabkan tersedak dan makanan tidak dapat dikunyah dengan efektif sehingga membuat lambung bekerja lebih keras untuk melembutkan makanan.

Menunggu ketiga lainnya makan siang, Dipta menopang wajah menggunakan sebelah telapak tangannya di meja. Kepalanya dimiringkan beberapa derajat ke kiri. Matanya lurus menatap jendela yang menyajikan langsung pemandangan kebun Toga (tanaman obat keluarga) keluarga Varese. Dipta sedang bengong, dalam artian bukan daydreaming atau melamun, ia hanya sedang berpikir. Berpikir untuk memikirkan apa.

"Tinggalin aja piring lo di meja. Nanti biar gue beresin." Ujar Lio pada Arsen setelah ia menyelesaikan kegiatan makannya.

"Okay."

Membiarkan Lio mengambil piring dan gelas bekas ketiganya makan, Arsen berinisiatif menutup sayur dan lauk yang tersisa. Gerak matanya mengikuti Cleo yang beranjak dari duduknya menuju dapur bagian wastafel untuk membantu sang kakak mencuci alat makan.

Alat makan bekas Dipta telah dicuci si penggunanya setelah ia selesai makan. Jadi, Lio dibantu oleh Cleo hanya mencuci alat makan bekas tiga orang lainnya.

Arsen tersenyum tipis mendapati pemandangan kedua bersaudara itu saling melemparkan tawa ketika Lio meniupkan gelembung sabun ke arah Cleo dan Cleo yang berniat membalas perbuatan Lio namun upayanya berakhir gagal.

"Ngapain senyum-senyum gitu?" Tanya Dipta tiba-tiba menghancurkan bayangan imajiner yang sedang live di pikiran Arsen.

"Suka-suka gue lah!"

"Mereka akur banget, kan?"

Arsen menganga terkejut mendengar pertanyaan retoris itu keluar dari bibir kembarannya. Rasanya seperti hampir mustahil seorang Dipta membahas tentang kehidupan orang lain.

"Beban hidup gue udah berat, napa harus mikirin orang lain." Kata Dipta dulu ketika Arsen mengajaknya untuk bergunjing.

"Lo nggak sakit, kan?"

"Umma mereka meninggal dari mereka kecil."

Dipta mengambil gelas baru, mengisinya dengan air putih, dan meminumnya. Tenggorokannya tiba-tiba kering.

"Terus? Gue juga udah tau." Arsen mencoba tidak peduli. Karena sejujurnya, Arsen tidak mengerti arah pembicaraan saat ini.

Sayangnya, Dipta mengabaikan permintaan sang kembaran. Sambil masih berbisik-bisik, Dipta berkata: "Lio dan Cleo cuma hidup sama ayah mereka. Mereka udah nggak pernah lagi ngerasain afeksi dari umma mereka kayak apa. Tapi mereka tumbuh seperti harapan hampir seluruh orang tua di dunia."

"Mereka akur seperti saudara pada umumnya. Kamu tahu? Menjahili, bertengkar kecil, saling membantu, tidur bersama, memberi perhatian satu sama lain...."

Arsen menatap lekat kembarannya yang tengah menunduk. Arsen tidak berniat menyela lagi. Tatapannya menangkap kedua mata kembarannya sedikit berair.

Tak lama, Dipta balas menatapnya. "Kenapa kita nggak bisa seperti itu juga?"

Arsen terdiam. Ia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan Dipta. Otaknya terus berada dalam kondisi memproses. Ini sama sulitnya seperti menjawab soal OSN Matematika yang pernah ia ikuti dulu.

"Saya iri. Itu benar. Keadaan kita semua hampir sama, bukan?" Bibir Dipta mengeluarkan kalimat lagi yang membuat Arsen lebih bingung lagi.

"Lo kenapa, sih, Mil?" Akhirnya hanya pertanyaan sederhana yang berhasil Arsen ucapkan. Ia mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Jari-jari tangannya meremas satu sama lain, kebiasaannya ketika merasa gelisah atau gugup.

"Tapi iri nggak pernah bisa nyelesaiin masalah. Saya bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Sifat kita memang berbanding jauh. Saya menganggap ini adalah saudara versi kita."

Setelah mengatakan itu, Dipta bangkit dan berjalan ke ruang tamu. Arsen masih bengong di tempatnya. Entah berapa lama, hingga ia tidak menyadari Lio yang menggandeng tangan Cleo berdiri di sampingnya.

"Woy!" Kejut Lio.

"Hah! Apa?"

"Lo pulang nggak? Dipta udah mau sampai gerbang, noh!"

"Wehh!! Kok gue ditinggal?" Arsen bangkit, berlari ke ruang tamu diikuti Lio dan Cleo di belakangnya. Arsen membereskan barangnya dengan terburu-buru. Setelah selesai, ia berpamitan pada Lio dan Cleo.

"Gue pamit, ya! Makasihh! Bye! DIPTAAAA!"

Lio menggelengkan kepalanya heran dengan tingkah teman-temannya.

"Abang!" Panggil Cleo.

"Kenapa, Dek?"

"Teman-teman Abang baik. Dijaga Abang! Harus disayang!"

Lio tergelak mendengar perintah sang adik. "Siapa yang ngajarin Adek ngomong gitu?" Tanyanya seraya mengusap pelan rambut Cleo.

Cleo tersenyum lebar hingga matanya menyipit, "Bunda! Surat-surat dari Bunda."

"Adek selalu baca surat-surat dari Bunda, ya?"

"Iya! Bunda selalu bilang, Bunda sayang banget sama Ayah, sama Abang, sama Cleo."

Lio tersenyum tipis. Hatinya menghangat, ia merindukan Bunda. Tapi saat ini ia tidak bisa menumpahkan air matanya. Ia menatap Cleo yang menunjukkan raut bahagia di wajahnya walau hanya dengan membaca surat-surat yang ditinggalkan Bunda untuk masing-masing ketiga anggota keluarga Easte. Terdapat satu kesamaan pada isi semua surat, yaitu kalimat bahwa Bunda menyayangi dan mencintai ketiga laki-laki berarti di hidup Bunda, semasa hidup hingga akhir hayatnya.

Tatapan Lio beralih ke gerbang rumah yang tertutup. Ia membuang napasnya kasar ketika mengingat pembicaraan si kembar di meja makan. Sebelum mengejutkan Arsen, sebenarnya ia terlebih dahulu pergi ke ruang tamu. Entah sarannya dipakai atau tidak, Lio berharap yang terbaik untuk si kembar.

"Yuk, ke kamar. Kita beberes dulu. " Ajak Lio yang diangguki serta dibalas dengan teriakan tanda setuju sang adik.

"Siap Kapten!"












Salam,
Florakiest

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang