III. Kucing [Blaze]

751 86 3
                                    


Dengan langkah ringan dan raut bahagia yang tidak kunjung hilang [Name] menuju rumahnya. Di gendongannya ada seekor kucing putih yang mendengkur halus. Sesekali jemari kecil itu mengelus bulu si kucing. Begitu memasuki gerbang, sapaan hangat melalui gendang telinganya.

"Selamat sore nona," sapa paman Adudu

[Name] menoleh dan tersenyum manis, "sore paman! [Name] masuk dulu paman." Ucapnya sopan. Meski paman Adudu dan bibi Ayuyu adalah pekerja di rumah mereka, Amato tetap mengajarkan anak anaknya untuk sopan pada yang lebih tua.

[Name] memasuki rumah yang tampak sepi. Biasanya akan ada kakak sulung yang duduk di sofa sambil membaca novel, ah iya sekarang hari selasa, pasti kak Hali sedang mengikuti ekskul. [Name] sibuk melihat setiap sudut rumah sampai tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangnya.

"Kau pikir sekarang sudah pukul berapa?" nadanya terdengar dingin

[Name] berbalik, ia langsung menunduk begitu melihat tatapan tajam dari sang kakak. "Aku belum mendapat kabar jika kau tuli," sambungnya

[Name] melirik jam dinding, "pukul lima kak."

"Sekolah bubar jam?"

"setengah tiga."

"Aku harap kau punya alasan yang masuk akal untuk ini," Ice pergi ke kamarnya yang berada di lantai 2 tanpa mendengar apapun alasan sang adik.

[Name] menghela nafas begitu Ice pergi. Ia membawa si kucing putih menuju kamar, "ini sudah sore jadi tidak mungkin aku memandikanmu. Kamu tunggu disini ya! Jangan kemana-mana, [Name] mau mandi." [Name] keluar dari kamarnya sambil membawa pakaian ganti, menuju kamar mandi yang berjarak 2 meter dari kamarnya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 10 menit, [Name] keluar dengan tampilan lebih segar. Ia menuju kamar untuk menemui teman barunya, namun nihil. Kucing putih itu tidak lagi ada di sana.

"Pus... pus... kamu dimana!" [Name] pergi ke ruangan lain di rumah besar itu. Dapur? Tidak ada, ruang makan? Juga tidak, ruang keluarga dan ruang tamu? Masih tidak ada, perpustakaan? Sama, kamar-kamar kosong? Masih tidak di temukan. 

[Name] beralih ke lantai 2, ia menuju balkon dan tidak dapat menemukan apapun. Beralih ke ruang hibernasi Ice ---dikatakan begitu karena ruangan itu dirancang oleh Ice sendiri dengan lantai berlapis kasur yang lembut dan sebuah kulkas kecil di sudut ruangan--- tapi kucing itu juga tidak ditemukan, yang [Name] temukan hanya kakak kelima tertidur pulas. Si bungsu menuju ruangan lain yaitu galeri Blaze ---ruangan yang berisi video game milik Blaze dan komik aksi, jumlah mereka juga tidak dapat disebut sedikit--- "pus... kamu disini?" tidak ada jawaban

[Name] menaiki tangga menuju lantai 3, rumah itu memiliki 3 lantai yang masing masing dikuasai oleh ketujuh elemental.

Lantai 1 terdapat kamar Halilintar, Taufan dan Gempa, kamar orang tua mereka,  beberapa kamar khusus tamu, ruangan umum lain dan perpustakaan pribadi

Di lantai 2 terdapat kamar Blaze dan Ice, ruang hibernasi yang di desain Ice, Galeri Blaze yang di desain Blaze, dan sebuah mini bioskop yang jarang digunakan.

Dan di lantai 3 terdapat kamar Duri dan Solar, laboratorium Solar, ruang belajar Solar, satu kamar kosong yang dulunya diisi oleh [Name] dan ruang Fotosintesis---begitu Duri memberinya nama---. Untuk ruang terakhir, berisi poster mengenai jenis tumbuhan dan rak-rak berisi buku mengenai tanaman. Sebenarnya Duri bisa saja mengambil buku dari perpustakaan di rumah mereka, tapi karena sedikit tertular sifat mager Ice jadi dia membuat ruangan sendiri.

Halaman belakang yang luas juga telah di sulap oleh kakak-kakaknya. Terdapat kolam berenang, sebuah mini arena skeatboard, rumah kaca, rumah pohon, mini lapangan basket, trampolin yang cukup menampung 10 orang sekaligus, 3 kandang ayam yang terlihat menawan dengan perosotan dan di sebelah lapangan basket terdapat ruangan berisi berbagai macam alat olahraga. Tidak bisa di bayangkan bagaimana Amato memanjakan anak-anaknya.

"Pus kemana ya?" [Name] terkulai lemas di tangga. Rumah sebesar ini sudah ia periksa tapi masih belum menemukan. "apa mungkin di luar?"

[Name] menuju halaman belakang, dan benar saja kucing putih itu ada di sana. Namun melihat tatapan tajam Blaze saat [Name] datang, ia tau ini bukan pertanda bagus.

"Jangan bilang kau yang membawa kucing ini," ujar Blaze

[Name] menggendong kucing yang sedang menatap lapar ayam-ayam Blaze. "[Name] yang bawa kak," [Name] melirik takut pada Blaze.

"Kau lihat apa yang dilakukan kucing itu! Dia memakan anak-anakku!" tutur Blaze marah.

"Maafin [Name] kak, [Name] janji akan jaga dia setelah ini."

"Buang kucing itu!" perintah Blaze

[Name] menggeleng, "[Name] janji setelah ini tidak akan ada lagi ayam kakak yang di makannya."

"Buang. Kucing. Itu. Se. Ka. Rang!" tekan Blaze

"Jangan kak, dia teman [Name]." Mohon [Name]

"Aku tidak peduli, hari ini juga kucing itu harus keluar dari rumah ini!" Blaze pergi menuju kedalam rumah, tapi langkahnya tertahan oleh kata yang di lontarkan si bungsu

"Kenapa kak?" ucap [Name]. "Kenapa kakak sangat jahat? Kenapa kakak tidak membiarkan aku tersenyum? Aku hanya ingin tertawa, aku hanya ingin dipeluk, aku ingin di sayangi! Apa keinginan aku sangat sulit kak? Apa benar aku adik kakak? Aku lihat semua orang menyayangi adik mereka kak, TAPI KENAPA KAKAK KU BERBEDA?!" [Name] berteriak membuat kucing dalam gendongannya melompat saking terkejut.

 "Kenapa kakak berbeda? Kenapa kalian berbeda? Aku salah apa kak? Apa aku salah ketika terlahir sebagai anak Bunda? Aku tidak bisa memilih siapa yang akan jadi orang tua ku kak. Aku tidak tau jika kehadiran aku akan membawa kesialan untuk kalian! Aku egois? Hahaha aku egois, TAPI KALIAN LEBIH EGOIS! Kalian tidak berpikir bagaimana perasaanku, kalian tidak tau bagaimana rasanya iri saat semua orang bercerita tentang orang tua mereka, kalian tidak tau bagaimana sakitnya saat melihat saudara kalian tertawa bahagia tanpa kalian, kakak tidak tau rasanya saat bakatmu diremehkan oleh saudara kakak sendiri." [Name] berjalan mengambil kucing yang berdiri di bawah trampolin.

 Ia menyerahkan kucing putih itu pada Blaze. "Ini, terserah akan kakak apakan kucing ini." [Name] meninggalkan Blaze begitu saja, sesekali tangan itu menyeka bulir bening yang keluar dari matanya.

"Hah... kau kucing yang menyebalkan," tutur Blaze kesal

[Name] memasuki kamar orangtuanya, menghiraukan bibi Ayuyu yang menatapnya khawatir. Gadis kecil itu mengambil foto orangtuanya, berbaring di kasur sambil memeluk benda persegi.

"Kakak jahat yah, kakak tidak sayang [Name]!" adu [Name] pada foto di pelukannya

"Kakak tidak peduli pada [Name]."

"Yah, [Name] beneran anak ayah kan?"

"Tapi kenapa [Name] di bedakan yah?"

[Name] tertidur di kamar kedua orang tuanya, terserah apakah ia akan di marahi lagi. Untuk kali ini [Name] ingin melupakan semua tekanan, ia ingin tersenyum sebentar saja sebelum harus kembali di lukai



***

Maaf ya Nem, Al gak suka tokoh cewe yang lemah jadi sesekali akan ada Nem melawan sama Boel.

Jangan salahin Al, salahin aja Boel yang keterlaluan /lempar batu sembunyi di belakang teman/

Little Sister [Boboiboy Elemental]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang