VII. Sakit [Gempa]

951 86 0
                                    

Gempa menjatuhkan tubuhnya di kasur, hari ini sangat melelahkan karena ia ditunjuk sebagai ketua panitia pameran sekolah. Gempa berusaha menutup matanya tetapi rasa pusing membuat kepalanya seakan mau pecah. Gempa memijit pelan kepalanya itu, namun bukannya berhenti. Rasa sakit itu malah menggerogoti seluruh bagian kepalanya. Setelah beberapa menit, Gempa mulai menelusuri alam mimpi. Kedamaian dapat ia rasakan, sampai sesuatu yang basah mendarat di keningnya. Gempa membuka matanya,sepasang bola mata hitam pekat menatapnya khawatir. De Javu. Ini pernah terjadi beberapa tahun lalu.

Perempuan itu, sosok yang meninggalkan mereka beberapa tahun lalu. Orang yang sangat Gempa rindukan keberadaannya. Gempa kembali menutup mata ketika tangan itu mengusap kepalanya dengan lembut. Ini seperti mimpi,Gempa membuka matanya kembali. "Bunda," lirihnya

"Kak Gem udah bangun? [Name] ganggu ya?"

"Ngapain?" Gempa menyentuh kain basah di keningnya, tetapi tangan itu malah menahan gerakannya.

"Kakak demam, tadi paman Adudu udah beli obat tapi kakak belum bangun juga. Jadi [Name] kompres aja buat turunin panasnya, gapapa kan kan?" tanya [Name] hati-hati. Gempa mengangguk lalu kembali menutup matanya.

"Kakak nggak mau ganti baju dulu? Badan kakak udah keringetan." Gempa kembali mengangguk, membiarkan adik bungsunya membuka baju seragam yang digunakan pemuda itu.

"Kakak masih sakit? Mau [Name] pijat kepalanya?" Gempa menjawab dengan gumaman yang tidak jelas. "Kakak mau—"

"Berisik [Name]! Kepala kakak makin pusing kalau kamu bicara terus."

[Name] mengatupkan bibirnya tidak jadi bicara, padahal ia hanya ingin bertanya apa kakaknya ini mau makan atau tidak. [Name] menukar kain kompres di kening Gempa lalu keluar dari kamar kakaknya. Tujuan gadis itu adalah dapur, sekarang sudah setengah delapan malam dan Gempa belum makan apapun.

"Gimana kak Gem?" tanya Duri yang juga ke dapur untuk minum

"Panas kak Gem belum turun juga kak," jawab [Name] sambil memasukan bubur yang disiapkan bibi Ayuyu ke mangkok.

Duri mengangguk paham, "harusnya tadi minta paman anterin ke rumah sakit, bukan malah sok pinter."

[Name] menunduk, "Kak Gem kan nggak pernah mau ke rumah sakit kak, [Name] cuma berusaha melakukan apa yang [Name] bisa."

"Kak Gem trauma rumah sakit kan juga gara-gara kamu," bisik Duri sebelum meninggalkan dapur.

[Name] meremat nampan di tangannya, kata kata seperti itu sudah sering ia dengar. Dengan senyum yang kembali terulas di bibir mungilnya, [Name] melangkah ke kamar kakak ke-tiga.

Kakak nya masih dalam posisi sama, terlentang dengan mata tertutup. [Name] meletakkan nampan yang ia bawa di nakas. Tangannya menepuk pelan pipi Gempa, "kak bangun dulu, [Name] bawa makanan untuk kakak." Gempa tidak bergeming, [Name] menggoyangkan badan Gempa agar kakaknya itu membuka mata.

"Kakak harus minum obat," ujar [Name].

Gempa menggeleng, tetapi si bungsu tidak menyerah begitu saja. [Name] berdiri di atas Gempa dengan posisi kaki di samping pinggang kakaknya. Dengan sekuat tenaga [Name] menarik kedua tangan Gempa, namun kakaknya itu tidak bergerak sama sekali.

Tangan Gempa yang licin karena keringat membuat pegangan [Name] terlepas. [Name] terjatuh ke lantai dengan kepala yang terlebih dulu menyentuh permukaan lantai. [Name] meringis pelan sambil mengusap kepalanya yang sedikit benjol.

[Name] kembali berdiri, ia mengambil posisi seperti tadi tetapi kali ini bukan tangan Gempa yang ia tarik melainkan kepala pemuda itu. Taufan yang menyaksikan meringis pelan, ia membayangkan kepala Gempa copot karena ulah adiknya itu.

Pintu kamar Gempa dibuka lebar oleh sosok di belakang Taufan, "Kau mau bunuh Gempa?"

[Name] yang kaget dengan suara Halilintar langsung melepaskan kepala Gempa, untung saja disambut bantal empuk. [Name] segera turun dari atas badan Gempa.

"Ada apa ini?" tanya Ice yang tiba-tiba muncul belakang Halilintar

"Ice, kamu juga demam?" Ice menatap bingun Blaze yang sudah berada di sampingnya, tangan pemuda itu bertengger manis di kening Ice.

"Kalian ngapai ke sini?" tanya Taufan

"Mau ikut nimbrung aja," jawab Blaze yang sudah merangkul pundak kembarannya.

"Blaze main game yuk!" ajak Taufan yang disetujui oleh Blaze. Taufan pergi lebih dulu disusul Blaze yang menarik leher Ice.

"Kak Hali," lirih [Name] karena kakak sulung masih menatap tajam dirinya. Halilintar masuk ke kamar Gempa lalu mengambil baju dari lemari pakaian.

"Keluar, tutup pintu." Titah Halilintar

[Name] mengangguk patuh lalu segera keluar dari kamar Gempa, tidak lupa menutup pintu seperti yang si sulung perintahkan. [Name] berjalan gontai ke kamarnya, sampai sebuah suara menghentikan langkahnya

"Sampai sekarang aku masih berpikir seandainya tidak ada si bungsu," tutur Blaze.

[Name] segera masuk ke kamarnya dan menguping dari balik pintu.

"Padahal hari itu kamu sangat bahagia sampai tidak berhenti bicara tentang adik baru dengan Ice."

"Ya itu sebelum aku sadar akan sesuatu."

"Apa?"

"Dia bencana."

"Benar itu bencana," bahkan Ice pun ikut menimpali pembicaraan mereka.

Di balik pintu, [Name] menangis. Ia menggigit bibirnya agar suara isakan tidak terdengar oleh mereka.

"Gadis itu bencana besar," Solar yang biasanya tidak bisa lepas dari buku juga ikut membahas dirinya.

"Menurut kalian bagai mana cara menyingkirkannya?"

"Buang ke sungai."

"Tidak,tidak. Dia pasti bisa berenang, ada cara pasti untuk menyingkirkannya."

"Apa itu?"

"Aku juga tau."

"Pukul sampai mati."

Mereka tertawa sementara [Name] semakin ketakutan. Ia tidak pernah mengira kakaknya akan sekejam itu. [Name] bangkit lalu mengambil diari dan pulpen, hanya ini satu-satunya cara. Ia memang merindukan kedua orang tuanya, tetapi [Name] sangat berharap sebelum itu terjadi ia sudah memiliki hubungan baik dengan 7 kakaknya.

[Name] menorehkan untaian kata demi kata, sesekali air mata yang menetes mengenai lembaran kertas itu.



***

sebagai permintaan maaf, Al up sampai epilog S1

Little Sister [Boboiboy Elemental]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang