8. Mas Bupati Kepo

2.8K 723 68
                                    

Sudah dua malam Dian tidur di kosan Meri. Mamanya baru saja mengirim pesan agar Dian pulang. Banyak oleh-oleh menanti, katanya. Pesan ke sekian yang sama sekali tidak Dian balas sejak malam kepulangannya dari Jakarta.

Begitu pula dua panggilan telpon Mashudi yang Dian cueki. Dian tidak siap mendengar apapun dari mulut mereka. Lebih baik menjauh sampai waktu yang tidak ditentukan.

Di hadapannya, formulir pendaftaran wisuda dengan rincian biaya yang harus Dian bayar. Lumayan banyak rupiah, tapi Dian tidak ingin datang walau tabungannya bisa memenuhi daftar biaya itu. Setidaknya dengan tidak ikut wisuda, Dian tidak perlu pusing memikirkan akan siapa yang akan datang menemaninya nanti. Tidak Mama, tidak juga Pakdhe.

Yang penting sekarang adalah pekerjaan. Dian butuh pekerjaan yang bisa menopang hidupnya sebelum mendapatkan ijazah untuk mencari pekerjaan yang lebih layak tanpa campur tangan Mama dan Pakdhe lagi.

Tawaran Anggi kemarin untuk membantu ibunya jualan di pasar sudah Dian setujui. Kalau sekedar memetik tangkai cabe, mengupas kentang dan bahan lain, dirinya mampu. Asal tidak jadi buruh angkut saja, pikir Dian.

Anggi bilang, pekerjaan itu bisa dimulai besok. Jam 3 subuh Dian harus sudah sampai di lokasi. Maka mau tidak mau hari ini Dian akan pulang, mengambil motornya. Setidakinnginnya Dian menggantungkan hidup pada keluarganya, dirinya masih butuh kendaraan untuk memulai semua secara mandiri.

"Dian, akhirnya kamu pulang, Nak...!" Sudjiati, memandang Dian berbinar saat si putri masuk tanpa mengucap salam.

"Dian capek, mau mandi." Singkatnya hendak masuk ke dalam kamarnya.

"Mama tunggu di sini, Yan." Sudjiati memasang senyum tabah pada sikap dingin Dian.

"Aku juga sibuk, Ma. Bukan Mama saja. Maaf Dian terburu, harus segera pergi." Datar ucapan Dian sedatar wajahnya yang kaku.

Segera gadis itu masuk ke kamar mandi dalam kamarnya. Tidak sampai lima menit Dian sudah keluar dengan rambut basah. Dian juga memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam ransel 16 liter. Memang tidak diisi sampai penuh. Dian tak ingin Mamanya curiga kalau dirinya tidak berniat pulang lagi ke rumah ini.

Dibawa langkahnya yang ringan keluar kamar. Mamanya telah menunggu dengan harap di ruang tamu, wajahnya nampak gelisah. Paham sekali kalau putri satu-satunya menghindarinya bahkan mungkin menolaknya.

"Dian, maafkan Mama. Mama..." katanya tak kuasa melanjutkan pembelaannya ketika mendapati raut kekecewaan sang putri padanya.

"Dian benar-benar tidak ingin mendengar apapun. Dian pergi." Ucap Dian tidak bersahabat. Iramanya yang menyayat begitu menyakitkan untuk Sudjiati. Langkah Dian segera menapak lantai untuk ke luar rumah. Maka Sudjiati mengekori berniat mencegah kepergian Dian.

"Dian...! Dengar penjelasan Mama dulu." Kejarnya.

"Mama juga tidak akan mendengar pendapat Dian. Tidak akan merubah status Mama sekarang. Buat apa Dian mendengar Mama."

"Dian, tolong jangan egois." Seru Mama merasa sakit hati dengan penolakan Dian.

Gadis itu menghentikan langkahnya, mendengus sebelum tersenyum pedih. "Oh, di mananya aku yang egois, Ma? Bukannya Mama dan Pakdhe yang nggak egois?" Ucapnya patah hati pada Mama dan Pakdhe yang begitu disayangi Dian.

"Bukan begitu Dian, Mama hanya~" suara Sudjiati tercekat, tak bisa melanjutkan kalimatnya karena bebarengan dengan air mata yang tumpah. "Tolong hargai perasaan Mama, Nak. Mama~"

"Oke." Potong Dian final. Gadis itu memakai helm lalu bergegas naik ke atas motor bebeknya. Diliriknya Mama yang menangis, memandanginya lara. "Permintaan yang sama untuk Mama. Tolong hargai perasaan semua orang. Setidaknya perasaan Budhe Endang. Aku malu Ma." Dian menelan kemarahan, dua tangannya bersiap di atas stang motor. Sedang Mamanya berdiri di garasi mobil yang tidak luas. Dian melirik penghuni garasi itu, Pakdhe bilang mobil itu agar Mama dan dirinya tidak kehujanan saat cuaca basah.

Pak Bupati, Aku PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang