7. Pak Bupati "Roarrr!"

2.9K 680 71
                                    

"Pak sopir ke Jalan Pisang Kirana ya!"

Rendra menaikkan sebelah alisnya, atas seruan Dian pada supirnya. Pria itu menatap Dian yang mulai membenahi tasnya. Tidak lupa ayam geprek dan makanan kecil lain hasil main ambil di warung tadi.

"Mas Bupati, aku tidur di kosan Meri. Mamaku nggak ada di rumah, Ayunda juga mudik lebih awal. Jadi aku udah hubungi Meri dan dia oke." Ucapnya pada Rendra yang tak mengalihkan pandangan. Dian menarik senyum tipis, pura-pura tidak menyadari tatapan dalam Rendra.

Mandangin aku terus mulai kemarin, ntar jatuh cinta tahu rasa. Batinnya pada kelakuan Rendra.

"Kamu lebih aman menginap di tempat saya." Rendra tidak ingin gadis ini jauh dari jangkauannya. Apalagi setelah apa yang menimpanya. Pasti sekarang gadis ini merasa tidak memiliki sandaran.

"Justru karena di tempat Mas Bupati adalah sarang penyamun, mendingan aku ke tempat Meri. Lagian bukan muhrim, takut digerebek satpolpp, Mas!" Ungkap Dian pringisan.

"Sarang penyamun?" Tanya Rendra tak paham.

"Bagiku Mas Bupati itu penyamun, sudah menyamun hatiku. Eheheh! Nanti kalau aku khilaf, malaikat tidak bisa mencegahku melakukan sesuatu yang roarrr!! Sama Mas Bupati." Kelakarnya menyebalkan. Saat menyebut kata 'roar' tangan kiri Dian membuat gerakan mencaplok ke wajah tampan Rendra. Sampai Rendra perlu menarik kepalanya beberapa derajat.

Ingin sekali Rendra misuh-misuh, tapi bagaimana pun wibawanya harus dijaga. "Bocah tengil ini!" Gerutu Rendra dengan mengusap wajahnya yang lelah. Membuat Dian makin terkikik.

Di depan, Edi lagi-lagi membatin. Justru Pak Bupati yang bakal 'roarr!' ke kamu Dian, ckk... bodoh dan lugu beda tipis. Decak Edi.

"Ini sudah jam setengah sebelas, yakin ibu kosnya enggak marah?"

Enggak yakin, batin Dian. "Aku udah nyuruh Meri ijin." Paling si ibu kos bakal ngomel-ngomel sepanjang waktu karena udah melanggar jam malam. Lanjutnya dalam hati.

Dian tidak ingin terus bergantung pada Rendra yang adalah keluarga Budhe Endang. Wanita baik yang sudah disakiti Mamanya. Apapun alasannya, keputusan Mama dan Pakdhe tetap salah. Dian bertekad akan mandiri mulai sekarang. Pokoknya besok Dian akan mulai mencari pekerjaan. Entah lewat lamaran data diri atau jalur koneksi, Dian tidak peduli. Dirinya harus bisa menghidupi dirinya sendiri.

"Yan, kamu ke tempatku saja ya. Itu lebih baik dari pada kamu menganggu seluruh isi kosan. Banyak kamar di tempat saya." Bujuk Rendra pada si rambut hijau.

Bibir Dian senyam-senyum, tatapannya berubah jadi malu-malu. "Kalau aku nginep di tempat Mas Ren, entar aku ganggu kedamaian hati Mas Ren dong." Canda Dian.

Tak sadar Rendra juga menarik sudut bibirnya."Sekalian saja, sejak kemarin kamu sudah menganggu saya." Enggak cuma hati, kamu sudah menganggu kerja pikiran dan jantung saya. Imbuh Rendra dalam kepala. Pak supir dan si ajudan yang mendengar dua orang beda generasi itu ikut senyam-senyum.

Pak Karso menghentikan mobilnya di alamat yang Dian maksud. Seorang Bu Ibu dan gadis berambut coklat keluar tepat setelah mobil berpelat N 1 berhenti di depan sebuah rumah dua tingkat tepat di belakang kampus Dian.

Ajudan turun hendak membantu Dian membawa barangnya yang tidak seberapa. Rendra juga merasa perlu turun memastikan situasi kosan Dian, aman atau tidaknya.

"Eh, Pak Bupati beneran. Selamat malam, Pak...! Kenalkan saya Ibu kosnya dua adik-adik ini." Si Ibu kos menyalami Rendra antusias, yang dibalas Rendra sopan.

"Dek Dian, kenapa nggak bilang-bilang kalau sepupuan sama Pak Bupati?" Siapa sangka, gadis yang sering main dan menginap di kamar Meri ini adalah familinya orang nomor satu di kota mereka, si Ibu kos berubah ramah pakai banget.

"Saya lebih suka nunjukin kek begini Bu Jani, biar nggak dikira hoax." Timpal Dian tertawa pada kelakuan genit alami yang ditunjukka si Ibu kos.

"Boleh saya minta foto, Pak Bupati?" Katanya seperti prediksi Dian. Rendra tak sempat mengangguk atau menggeleng, ketika si Ibu meringsek padanya, dengan ponsel di tangan yang sudah standby.

Meri dan Dian cekikikan sedang Rendra memasang wajah cool dengan senyum formal. Sudah biasa dengan kelakuan warganya yang sering meminta foto. Apa dikira dirinya ini artis, ya? Dulu pikiran seperti ini sering seliweran dalam kepala Rendra. Sekarang sudah biasa, jadi Renda stay calm saja.

"Makasih ya, Mamas ajudan ganteng." Ucap Dian saat menerima plastik berisi ayam geprek dan makanan kecil.

Kemudian, gadis itu beralih pada Rendra. "Sepupunya sepupu terlope-lope, tengkiyu very much emuah emuach." Katanya mengantar semburat merah di telinga Rendra.

Gadis tengil ini, apa yang dia pikirkan saat mengatakan itu padanya di depan orang lain. Niat Rendra mendisiplinkan Dian makin menjadi-jadi.

Meri yang tahu temannya ini memang suka bicara nyeleneh, berpikir bahwa Rendra pasti juga sudh hafal pada gaya bicara Dian yang ajaib. Meri hanya senyam-senyum.

"Mas Bupati udah menyelamatkan hidupku dari ancaman hidup tak tentu arah di Jakarta. Makasih ya, Mas... Bye Mas! Sana pergi! Udah malem." Usirnya membuat Si Ibu kos membelalak, Dian mengusir Pak Bupati? "Ayo kita masuk!" Dian menarik Bu Jani dan Meri masuk ke dalam pagar.

"Dian, sini." Panggil Rendra syarat nada perintah.

Dian berdecak, "apalagi sih, Mas. Aku ngantuk...!" Rengeknya. Tapi gadis itu mendekat pada Rendra yang enggan berkedip menatapnya.

Kamu baik-baik saja? Rendra ingin sekali menanyakan ini. Walau Rendra tahu gadis itu tidak sebaik yang dia perlihatkan di depan semua orang, si Bupati ingin tahu dari mulut Dian sendiri mengenai perasannya mengenai orangtuanya.

"Apa sih, Mas?" Bisik Dian yang tidak mendapat respon karena malah terhipnotis pada bola mata coklat tua milik Dian. "Liatin aku kek gitu, ntar Mas Bupati jatuh cinta." Candanya tidak tahu kalau si Bupati memang sudah jatuh cinta padanya.

"Tawaran masak dan nyapu di rumahku masih berlaku." Ujar Rendra serius, balas berbisik juga. Kemudian Rendra membawa tubuhnya berbalik masuk ke mobil.

Dian cemberut, batinnya menggerutu. "Mas Ren! Aku nggak bakal jadi babu di rumahmu. Mas Rendra nggak akan kuat bayar gajiku. Nyebelin!" Seru Dian kesal. Mengundang decak tawa pria-pria dalam mobil dinas itu.

"Pak Bupati sudah saatnya nentuin Bu Bupati." Komentar Pak Karso.

"Dia menolak baru saja, saya nggak akan kuat belanjain dia katanya." Rendra menggeleng pada kelakuan Dian. Umur berapa dia, kenapa tidak pernah mengerti maksudnya.

Edi membuang muka ke luar jendela. Takut wajah menertawakan Pak Bupati terdeteksi. Jelas-jelas Dian mengatakan 'gaji', kenapa Pak Bupati menerjemahkan sebagai belanja? Hoh, dasar jomblo! Edi bukan menyumpahi, hanya saja Pak Bupati memang ngeselin kalau sudah kerja. Edi sampai tidak punya waktu pacaran, sedang kekasihnya mengancam putus kalau lama-lama dianggurin. Jadi siapa di sini yang harus disalahkan, Pak Bupati kan? Pikir Edi.




Pak Bupati, Aku PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang