20. Mas Bupati, Aku Padamu

3.1K 746 120
                                    

Doble up, mulai manis-manis dong...

Eh iya teman-teman, inginnya aku balas komen kalian one by one, tapi malah nulisnya ketunda. Jadi maafin aku ya belum bisa nimbrung komen lucu-lucu kalian yang benar-benar meresapi cerita ini 😆😆

Kuhaturkan terima kasih banyak.

Salam sayang,
Ithanajla 😘
_________________________________________

Sudjiati, Mashudi dan Endang datang ke kontrakan Dian ketika sore menjelang. Ini kunjungan kesekian tiga orang itu enam bulan terakhir ini. Benar sudah empat semester Dian tinggal di Jember. Waktu yang sangat lama dalam pengasingan cinta untuk si mantan tercinta. Banyak sekali perubahan pada gadis itu. Rambutnya kini berwarna caramel brown, malu katanya mewarnai rambutnya warna mentereng. Tidak cocok dengan lingkungannya, di mana mahasiswa s-2 yang minoritas itu banyak yang berpenampilan mirip dosen atau asdos. Tentu Dian menyesuaikan diri.

Gantinya kuku-kukunya kini berganti warna setiap waktu. Dibawa-bawa aneka kutek dan removernya. Jenisnya pun bervariasi, mulai dari yang boleh dipakai sholat sampai yang tidak boleh.

Sebentar lagi sidang ujian tesis Dian, gadis itu benar-benar sibuk keluar masuk perpustakaan untuk mematangkan tesisnya. Sampai tak sempat lagi melakukan kegiatan rutinnya, yaitu stalker medsos dan berita tentang Rendra. Katakan dirinya bucin, Dian tidak peduli. Dirinya hanya tahu itu lah satu-satunya cara meringankan beban rindu pada Mas Bupati.

Dian mencomot cilok yang sepertinya dihidangkan oleh Delia untuk keluarganya ini. Rasa khasnya membuat Dian tahu, cilok ini di beli di pengkolan ujung jalan.

"Dapat salam dari Rendra." Goda Pakdhe Mashudi yang juga tengah memakan cilok dalam piring lebar itu.

"Apaan sih Pakdhe." Dian menjaga ekspresinya. Padahal selalu sedih setiap mengingat Rendra. Kekasih terakhir yang entah kini dengan siapa?

"Dua minggu lagi kamu wajib pulang, Nduk. Haram kalau sampai nggak pulang." Budhe Endang mengiterupsi. Tangannya mengirisi buah naga dalam wadah untuk disantap bersama.

"Ayu nikah ya, Budhe?" Tanya Dian. Bahagia Budhe Endang bersikap baik padanya dan Mama.

"Ayu belum, masih tiga bulan lagi. Ini acaranya Rendra." Jawab Budhe Endang.

Ketiga orang itu kompak mempelajari ekspresi Dian yang apik terjaga. Tenang dan ceria seperti biasa. Tapi mereka tahu, ada sekelumit duka yang terselip di antara kerling matanya walau sejenak. Gadis itu pura-pura tak terganggu, senyumnya tersimpul ringan. "Mas Rendra yang nikah?" Tanyanya penuh penerimaan. Senyum terpaksanya tampak menyedihkan.

Endang dan Mashudi tertawa, hanya Sudjiati yang menatap putrinya khawatir. Sepertinya duka dan laranya berpisah dengan Rendra hampir dua tahun ini membekas dalam.

"Lumajang ikut pilkada serentak, Nduk. Suaramu sangat berharga agar Rendra bertahan di kursinya sekarang." Jelas Mashudi pada Dian yang jadi senyam-senyum atas dugaan salahnya. Salah sendiri yang gengsi menanyakan kabar Rendra.

Dengan Rendra di posisi nomor satu, usaha Mashudi juga terjamin lancar jaya. Politik adalah ladang mengumpulkan harta, tahta dan wanita tentu saja. Untungnya dua wanita di sisinya ini bisa ditaklukkan. Tak terhitung orang pintar untuk mendapatkan Sudjiati, tak terhitung pula orang ngerti untuk meluluhkan Endang. Pokoknya selama dirinya hidup, apapun akan dilakukan untuk menjamin masa depan anak cucunya, meskipun orang lain akan menyebutnya budak harta.

Hari pemilihan kepala daerah telah tiba, berbulan-bulan Rendra dan seluruh pendukungnya bahu membahu mengumpulkan suara. Tidak terhitung pikiran dan tenaga yang Rendra habiskan. Seluruh sumber daya yang Rendra dan keluarga miliki dikerahkan untuk kemenangannya. Hari penentuan telah tiba, hitung cepat sampai pukul satu siang ini mengunggulkan nama Rendra, meski pria itu belum bisa berpuas diri.

Sepanjang siang ini Rendra senyam-senyum tidak jelas. Setelah beberapa hari kurang tidur, Rendra pikir matanya mengalami halusinasi. Di saat tadi pagi mencoblos di TPS terdekat dari kediaman pribadi milik Rendra di jantung kota, gadis yang membawa hatinya malah dada-dada dengan senyumnya yang selalu berhasil menjerat Rendra. Pria itu sampai merasa perlu untuk mengucek mata demi bisa memastikan bahwa gadis berambut karamel panjang sepunggung itu memang Dian, kekasihnya.

Sambil dada-dada diantara padatnya kerumunan, Dian yang memamerkan telunjuk dan ujung jempol yang ternoda tinta biru membentuk simbol 'love', mengucap isyarat dengan bibirnya yang merah. "Mas Bupati, aku padamu." Katanya ngguya-ngguyu sebagaimana Dian sebelum menghilang diantara kerumunan.

Tidak ada niat apapun dari Dian, itu murni reflek. Kebiasaan buruk saat ketemu Rendra yang tiba-tiba jadi genit dan kemayu. Dian cekikikan dalam hati ketika mendapati Rendra terpaku padanya dengan tatapan yang mungkin Dian salah tafsir~kerinduan. Bibirnya lama-lama merekah menambah pesonanya yang membuat Bu Ibu se-kabupaten kepanasan. Ughh gemes, Dian kangen, Mas...! Teriak hati Dian.

Rendra yang kelimpungan berbulan-bulan sampai tahun-tahunan karena gadis itu, ingin lari mendekapnya erat-erat agar tidak kabur lagi. Sayangnya dirinya tidak mungkin melakukannya ketika masyarakat, tim sukses dan seluruh pendukung mengelilinginya. Jangan salahkan Rendra yang membatin mengancam gadis itu dengan geregetan, awas saja nanti kamu, Nduk! Aih, Rendra mau gila rasanya.

Di kirimnya pesan pada kakak perempuannya. "Mbak Rindi, tolong carikan info Dian untukku. Dia pulang dari nyoblos di TPS-ku baru saja. Cegah dia pergi, Mbak!" Pinta Rendra sungguh-sungguh.

Tentu saja Dian nyoblos di TPS Rendra karena seperginya Dian hampir dua tahun lalu, Rendra sampai membeli rumah dekat dengan rumah Sudjiati. Bukankah cinta Rendra terniat sekali?

Setelah Rendra berada di rumahnya untuk menunggu hasil Pilkada, bukan cemas apakah kursi N1 masih jadi miliknya, tapi cemas apakah penantiannya sudah berakhir. Apakah pada akhirnya Dian mau pulang?

"Nihil jejak." Begitu balasan singkat Mbak Rindi. Tak urung Rendra jadi kecewa, mungkin Dian kembali ke kota sebelah.

Jauh di dalam relung Rendra memohon, Tuhan berikan gadis itu padaku, pintanya lupa diri bahwa hari ini seharusnya mendo'akan kemenangannya.

Selepas sholat isya' hasil dua lembaga survei hitung cepat mengumumkan Rendra dan H. Zainal unggul atas dua calon lain. Saksi dan Tim Sukses juga telah mengeluarkan hasil perhitungan mereka di lapangan. Tetapi wajib hukumnya bagi Rendra untuk menunggu hasil yang dikeluarkan KPU untuk melakukan euforia terlalu dini.

"Ma, gimana hasilnya Mas Rendra?"

"Menurut Pakdhemu aman, nunggu resminya 12 hari lagi, Nduk. Persiapan sidangmu sendiri gimana? Jangan tidur malam-malam biar besok lancar."

Sudjiati tengah dalam sambungan telpon dengan Dian. Disampingnya, Endang duduk santai dengan ponsel di tangan, mencuri dengar isi obrolan ibu dan anak itu.

"Do'ain lancar deh, Ma. Aku mau keluar cari makan dulu, Ma."

"Oke. Tapi ingat jauhi alkohol apalagi narkoba." Tak bosan Sudjiati mengingatkan.

"Iya, Dian ingat."

"Kalau kamu mau cari pacar juga enggak apa-apa, Yan...!" Sudjiati saling pandang dengan Endang yang tersenyum, mengingat Rendra yang sering sekali menanyakan Dian padanya.

Auto terbayang wajah Rendra di mata Dian. "Enggak ah, Ma. Aku mau kerja dulu."

"Kalau begini Mama makin curiga deh sama kamu, jangan-jangan kamu emang belum move-on dari Rendra, ya?"

Emang belum, aku masih cinta dia, Ma. Batin Dian. "Move-on kok. Aku masih seneng sendiri aja, Ma. Tiga hari lagi aku dapat panggilan wawancara di BI Jember, Ma."

"Nduk jangan jauh-jauh bisa? Ayu sering nanyain kamu. Dia pengen kamu jadi kembang mayangnya kalau dia nikah nanti."

Dian mengangguk seakan Mama bisa melihatnya. Dian hanya belum siap kembali ketemu Rendra setelah semua yang dia usahakan dua tahun ini. Seperti hari ini, dirinya jadi senyam-senyum sepanjang hari sebab terbayang-bayang si mantan kekasih. Kali ini hatinya berbisik sendu, "Mas Ren... gimana caranya mengikis rindu ini?"

Pak Bupati, Aku PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang