3. why me?

67 7 0
                                    

Enjoy it~

Langakah kaki Frada memasuki gedung megah 'Consulate General of the Republic of Indonesia'. Siang ini mereka bertiga harus mengurus kartu Diaspora untuk tinggal di New York dalam jangka lebih lama. "waah.. besar sekali Anty" celetuk Vie yang melongo kagum, "jangan terlalu norak deh" frada terkekeh mendengar sahutan si sulung.

"Anty!" rengek Vie sambil menunjuk sang kakak, "jangan bertengkar!" ucap frada ketika Calvin udah ancang ancang membalas tingkah snag adik. Keduanya langsung terdiam dengan cengiran tengilnya masing masing.

Tidak menunggu lama di waiting room, Mereka langsung masuk keruangan dimana ada seorang pria yang menyambut ramah ketiganya. "ternyata kau sudah sedewasa ini" celetuk pria itu dengan memeluk akrab Frada. "how are you?" tanyanya mencoba basa basi. "as you see" jawab frada sekenanya.

"aku ingin bicara banyak denganmu, face to face!" Ucap pria itu sambil melirik dua bocah yang sudah duduk di sofa ruangan. Frada sedikit berfikir, mungkin pria didepannya ini akan membicarakan surat yang kemarin ia baca.

"oke, sebentar" Frada langsung menghampiri dua keponakannya sekejap "tunggu disini ya, anty mau bicara dengan paman ini".

"jangan beranjak sebelum anty selesai, ini bukan ruangan kalian" sambung frada sebelum kembali duduk di depan meja dengan tulisan 'DR. Alexander Marven, MA. as consulate general'

"Davies sudah menyerahkan amplopnya?" Pertanyaan Alex sesuai dengan dugaan Frada, "sudah" ia mengeluarkan amplop dari sling bag yang dibawanya, "i don't understand" ucap frada jujur kemudian menyerahkan amplopnya ke alex untuk pria itu baca. Mereka sudah bukan orang asing lagi, karena alex adalah teman dekat dan alat Hermes untuk memantau Frada selama anak itu hidup di kota besar ini.

"why me?" pertanyaan frada hanya dijawab kekehan khas pria itu, "kau bertanya seperti itu?" Frada mendengus kesal mendengar ucapan, tidak lebih tepatnya ejekan pertanyaan dari alex. "iya, kenapa harus aku yang mereka pilih?"

Alex tak langsung menjawab, pria itu malah meraih figura dimana ada wajah kakaknya berpelukan dengannya "aku sangat kenal hermes" ucap alex, Frada hanya diam. "foto ini dikirimkan kepadaku ketika awal kau menginjakkan kaki di kota ini".

"lex, kau harus menjaganya disana" ucap Alex menirukan gaya bicara Hermes, Frada hanya terkekeh. "sangat overprotektif" Celetuknya kesal, tapi dalam wajah frada tersirat rasa kerinduan.

"Hermes hanya ingin kau hidup dengan kebutuhan yang selalu terpenuhi" ucap alex, "i know, but why me? adiknya bukan hanya aku" balas frada dengan raut yang penuh dengan pertanyaan yang ingin dilontarkan.

"ya karena hanya kau yang belum-"
"Berpenghasilan?" sahut frada tepat sasaran, Alex terdiam. "it is not like that, para kakakmu yang lain sudah sukses dengan hidupnya masing masing. sedangkan kau kan masih kuliah fra" Jelas Alex karena tidak ingin menyinggung hati adik temannya itu.

"tapi sahamnya sangat banyak dan aku tidak bisa mengelolanya" jawab frada sedikit menunduk, jangan kan mengelola. Sistem untuk pekerjaan kantor saja dirinya tidak tahu, karena memang Frada selalu fokus dengan dunia per design-an saja.

Alex yang mendengar itu hanya terkekeh pelan "disini tertera jika kau tidak harus mengelolanya, ada tangan kanan Hermes yang memang akan mengurus ini untukmu" Frada membaca bagian yang ditunjuk alex. Dan ternyata benar adanya,

"untuk status kedua anak Hermes, kau beruntung mempunyai Davies" Celetuk Alex dengan menyerahkan setumpuk berkas kepada Frada. Tertera disana jika kedua anak itu sudah menjadi hak asuhnya. "tapi kuharap kau segera menikah, mereka akan legal denganmu jika seperti itu"

Frada mengerutkan dahi "berarti ini masih illegal?" alex mengaguk pelan "Davies mengeluarkan banyak uang untuk menulis pernyataan di atas kertas ini" tunjuk alex ke arah kertas yang sedang frada pegang. Mereka berbincang cukup banyak hari ini, hingga tujuan awal frada kesini malah berakhir menjadi topik terakhir.

"baiklah, oh iya aku kesini untuk memperpanjang kartu diaspora ku" Ucap Frada sambil meletakkan kartu tanda penduduknya. "sudah kuperbarui, dengan kedua bocah itu juga" frada mengangguk senang.

"kalau begitu aku balik dulu, thank you" ucap frada membungkuk sopan, "Hati hati, jika ada sesuatu kau bisa menghubungiku" Balas alex, Dia sudah menganggap Frada seperti adiknya sendiri.

"kami pulang" ucap ketiganya sebelum hilang dibalik pintu ruangan alex. Pria itu tersenyum tulus, mengusap figura yang berada di depannya "iya, aku akan menjaganya disini" gumam alex seakan berbicara pada sosok Hermes di dalam figura itu.


<3

"Setidaknya mereka harus memanggilmu ibu agar orang orang tidak curiga dengan statusnya"

Ucapan Alex tadi siang sangat mengganggu pikirannya, hingga Malam ini setelah makan malam, Frada mempunyai ide konyol untuk dilakukan kedua bocah yang sekarang sedang menonton film kartun di ruang tengah. "boys" panggil Frada sambil memeluk tubuh mungil Vie yang anteng memakan snacknya.

"kenapa anty?" tanya Calvin menoleh sekilas, "anty tau ini sangat asing, tapi apakah keberatan jika anty menyuruh kalian untuk memanggil 'ama'?" Tanya Frada dengan sekali tarikan napas. Sejujurnya sedikit takut jika kedua anak itu tersadar akan posisinya yang sudah tidak memiliki orang tua.

Calvin dan Vie terdiam sejenak, "jika tidak mau-" belum sempat Frada menyelesaikan ucapannya, tubuh Calvin memeluk Frada kuat. "bahkan jika hari ini anty tidak juga menyuruhku, besok pagi aku dan Vie berniat akan memanggil Anty seperti itu"

Frada tidak menduga jika jawaban dari Calvin akan seperti itu, "ama" panggil keduanya kompak dengan kekehan lucu diakhir. "good boy" ucap Frada mengusak rambut keduanya gemas.

"sudah jam 10 malam, ayo ke kamar mandi" frada membawa calvin dan vie untuk membersihkan badan. Sudah menjadi kebiasaan mereka harus ke kamar mandi sebelum tidur, didikan Miranda masih melekat di ingatan Frada.

"Kenapa harus sikat gigi ama?dulu mama juga mengajakku sigat gigi sebelum tidur" Pertanyaan polos vie.
"Ntar bau, mulut lo!"
"Enggak!! mulutku tidak bau!"
"Ya makanya sikat gigi dengan rajin"
"Iya iya!!!!!" Jawab vie kesal dengan perlakuan sang kakak. Frada malah terkekeh, tak melerai sama sekali. Menurutnya perdtikaian kecil seperti itu sangatlah lucu.

Setelah berganti pakaian tidur, Frada menggiring keduanya untuk segera masuk ke kamar. Malam kedua untuk mereka berada di kota New York, "Tidur dengan nyenyak, ama ada di kamar sebelah jika ingin sesuatu" mereka mengangguk, frada mengecup satu persatu anaknya. "Ama" panggil vie menghentikan langkah frada,

"kenapa?"
"Terimakasih" tidak pernah sekalipun frada mengira kata itu yang akan keluar dari mulut Vie. Air matanya menggenang di pelupuk mata, Frada tidak bisa menjawab, hanya mengangguk sekilas lalu menutup pintu pelan.

Langkah kakinya lurus menuju balkon apartement, udara malam yang sejuk menyapanya sengit. Dari tempat dirinya berdiri, frada bisa merasakan hatinya yang kosong diantara ribuan orang dibawah sana yang sibuk melakukan aktivitas.


"Can i? Can i live it all?" Gumamnya sambil menangis dalam diam, kepergian kakaknya masih sangat membekas jika dirasakan.


<3

Tbc.

Metanoia🍃Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang