0.3 𝒉𝒊𝒓𝒖𝒌-𝒑𝒊𝒌𝒖𝒌

16 6 2
                                    

Semua orang pasti mengingat bahwa Johalin sama sekali tidak membawa pakaian ganti saat pergi dari rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua orang pasti mengingat bahwa Johalin sama sekali tidak membawa pakaian ganti saat pergi dari rumah. Isi tas nya dipenuhi dengan ber gepok-gepok uang tunai hasil curian dari dalam brangkas sang papa. Membayangkan betapa busuknya pakaian itu yang hampir ia kenakan selama tiga hari berturut-turut, Johalin bahkan merasa jijik sendiri.

Ia harus pergi ke pasar hari ini, membeli beberapa setel pakaian murah, atau jika ada pakaian bekas yang layak pakai pun tak apa. Ingat, ia harus menghemat uangnya.

Tetap mandi meskipun tak mengganti pakaian, Johalin mencium bajunya yang sempat ia jemur di dekat jendela kamarnya, meskipun tak seberapa berusaha menghilangkan bau apek. Beruntung kamar yang ia sewa menghadap ke arah timur, matahari pagi menjelang siang yang cukup menyengat dapat membantunya.

Ia kembali mengenakan kaos hitam itu setelah berjam-jam bertelanjang dada hanya terbalut bra, dilanjut memakai sepatu hitam dengan ikat putih mengisi setiap lubang di bagian atas kebanggaannya.

Johalin menyibak surainya ke belakang saat dikira beberapa anak rambut menggelitiki wajah, beranjak dari tempat tidur di mana sebelumnya ia mendudukkan diri. Dari dalam ruangan 4×3 meter itu, Johalin dapat merasakan matahari yang semakin terik dari balik jendela, maka dari itu ia menarik lilitan hitam di pergelangan tangan kirinya yang kemudian menyatukan rambut legam sepunggung.

Perempuan itu sudah cukup mempersiapkan diri untuk berbaur pada hiruk-pikuk kerumunan orang-orang di pasar nanti. Meski tidak mungkin orang rumah akan mendatangi tempat kumuh seperti itu, Johalin tetap berjaga-jaga. Ia sudah mengambil satu masker dari toko semalam. Masker hitam itu menutupi setengah wajahnya yang kemudian disusul dengan topi hitam bertuliskan ‘Art’ di depannya —topi yang pernah mendiang mama nya berikan sewaktu pulang dari gedung pameran lima tahun lalu. Dan kini hampir seluruh wajah Johalin sama sekali tidak terlihat.

Sekian buntalan uang berwarna merah terpampang tatkala Johalin menarik gagang kayu ukir sepanjang 10 sentimeter pada kotak nakas paling bawah. Maniknya bergulir menyapu seluruh kertas-kertas itu, kemudian sebelah tangannya mengambil satu ikat dari sana. Ia merobek kertas yang melilit uang tersebut dan hanya mengambil sebagian. Perempuan itu hanya akan membeli baju-baju bekas, tidak mungkin jika sampai menghabiskan satu ikat penuh. Lebih baik menyisakannya untuk hidup esok hari. Meski tidak ada yang dapat memastikan, tapi Johalin percaya diri berpikir dirinya tidak akan hanya hidup sampai besok.

Setelah dirasa mengunci pintu dengan benar, kaki kaki jenjang itu ia bawa pergi menjauhi bangunan kuno dengan sebagian cat terkelupas pada sisi sisi dindingnya. Berjalan santai menyusuri jalanan yang selalu sepi. Hari yang beranjak siang membuat sang surya di atas sana semakin menyengat. Johalin mengenakan jaket kulit kebanggaannya yang sebelumnya hanya menggantung di salah satu lengannya, melindungi setiap inci kulit. Tas berwarna senada menggantung tunggal pada pundak kanan, tidak berisi apapun selain beberapa jumlah uang.

Tempat Johalin tinggal memang sedikit jauh dari keramaian kota, tidak ada kendaraan umum yang akan lewat dan bisa ia tumpangi. Mau tidak mau memang harus berjalan sekian kilometer untuk menemukan perkotaan. Tidak apa-apa, hitung-hitung melatih otot-otot kakinya agar lebih kuat menopang beratnya hidup.

LET ME TO SORROW | Jay EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang