"Semoga saja semesta tak mematahkan harapan yang sudah kurangkai."
- Harsha Gantari -
***
"Ayah, awas ada mobil truk!"
Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Nyawa kami tengah terancam lantaran rem motor Ayah mendadak tak bekerja. Aku selalu mencoba untuk memaksakan diri membuka mata, tetapi terhalau oleh rasa takut yang kian mendera.
"Sha, maafin Ayah. Jaga diri baik-baik, ya," pintanya dengan nada sendu.
Refleks aku menggeleng kuat seiring mengeratkan pelukan pada sosok yang sangat kusayang. Apa maksudnya berbicara seperti itu? Kenapa seolah kematian akan datang hanya karena kejadian seperti ini?
"Ayah titip Ibu sama si kembar, ya. Ayah sayang kamu."
Nggak! Nggak boleh! Ayah nggak boleh pergi!
"Aaaaaaaaa!"
Tubuhku terasa melayang di udara. Kelopak mata ini masih tertutup rapi sedari tadi. Sontak aku menjerit kala tubuh ini terempas kuat di tempat kasar dan berbatu. Menimbulkan rasa nyeri yang tak terkira disertai dahiku yang sedikit terbentur benda keras.
"Pusing ...."
Aku masih tak percaya, semua kejadian ini berlalu begitu cepat. Rasa sakit di kepala semakin menyerang kala mataku mencoba untuk terbuka dan memandang sekitar. Meski sedikit buram, tetap aku paksakan.
Duh, di mana Ayah sekarang?
"Ayah ... Ayah ...," lirihku sambil menatap sekeliling yang dipenuhi gerobak pedagang kaki lima.
Atensiku teralihkan pada sosok yang tergeletak di tengah jalan raya. Posisinya sedikit jauh dari tempatku, tapi aku bisa memastikan kalau itu Ayah. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berusaha bangkit. Meski tertatih-tatih, diri ini tak ingin menyerah untuk mengetahui keadaannya kini.
Sesak sekali menatap tubuh kaku Ayah yang bersimbah darah dan mata sayu itu ikut tertutup diiringi senyum. Sekumpulan orang berbondong-bondong menghampiri kami untuk menolong. Air mata ini tak dapat lagi terbendung. Semoga pikiran burukku tak menjadi kenyataan.
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun."
Hatiku seakan tergores ribuan belati mendengar ucapan pria di sampingku. Maksudnya, Ayah telah tiada dan meninggalkanku detik ini juga? Haha! Rasanya ini hanya gurauan semata.
Ayah itu lelaki terkuat yang pernah kutemui di dunia! Mana mungkin kematiannya datang begitu saja hanya karena sebuah kecelakaan? Bisa saja dirinya hanya pingsan dan akan siuman beberapa jam kemudian.
Aku hanya tertawa menanggapi orang itu. Entahlah, buliran yang menggenang di kelopak mata ini juga seakan bersuara membela perkataan menyakitkan tadi. "Haha ... masa iya ayah saya meninggal? Nggak mungkin, dong. Dia itu cuma pingsan, Pak," kataku dengan begitu percaya diri.
"Maaf, Teh. Bapak ini sudah meninggal."
Bagaikan tersengat listrik. Ternyata Ayah benar-benar telah tiada? Hatiku seakan dicabik-cabik. Kenapa Tuhan memanggilnya begitu cepat? Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil?
Kenapa?
"Kenapa bukan aku aja yang mati, Tuhan? Kenapa harus Ayah? Dia orang baik ...."
"Heh, sadar!"
Tubuhku terjungkal saat seseorang menepuk bahu kanan. Rasanya jantung ini seperti ingin lepas dari tempatnya. Detaknya begitu cepat seiring netraku menatap keadaan sekitar. Sepi, tak ada sekumpulan bapak-bapak seperti tadi. Hanya ditemani gundukan tanah yang tertancap batu nisan nan terukir rapi.
Jadi, semua ini hanya halusinasi? Kenapa harus kejadian itu yang terlintas kembali? Kenapa semesta begitu jahat pada diri ini? Mengambil sosok berharga yang kupunya dan membiarkanku hidup sendiri.
Sendiri? Kurasa tidak! Namun, terkadang iya.
Ah, entahlah. Aku tak paham apa yang kurasakan selama ini.
"Aku rindu sama Ayah ...," ungkapku seraya menaburkan bunga berwarna-warni pada seonggok tanah di hadapan.
"Ayah rindu sama aku juga nggak?"
Stres! Mustahil sekali jika Ayah akan mendengar suaraku. Alam kami sudah berbeda. Hal itu tak bisa kusangkal, memang benar adanya. Akan tetapi, apakah salah bila seorang anak merindukan ayahnya? Semoga saja tidak dan tak akan ada yang bisa melarang.
"Jangan sedih, Sha. Gue bakal selalu ada di samping lo."
Aku hanya mengangguk, menanggapi ucapan Binar. Gadis bermata sipit itu mengelus-ngelus punggung ini dengan penuh kelembutan. Memberi kenyamanan agar diri ini tak larut dalam kesedihan. Tak pernah absen melantunkan untaian kalimat yang selalu menentramkan pikiran.
Binar, hanya dia yang mengerti keadaanku sekarang.
Gadis yang mengenakan sweter hijau itu membantuku berdiri dan menuntun diri ini agar mengikuti langkahnya. "Sekarang kita ke sekolah, yuk! Bentar lagi udah mau bel," ajaknya sembari melirik jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Aku tersenyum dan menyahut, "Iya."
Semoga saja semesta tak mematahkan harapan yang sudah kurangkai. Semoga saja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pojok Kegelapan
Teen FictionHidup di tengah keluarga yang membenci kehadiran diri, seolah membuatku ingin terlepas dari dunia dan menyusul Ayah di surga. Namun, kenapa takdir kematian belum memihak? Kehidupanku di dunia masih terus berlanjut. Sampai detik ini, di mana sosok ya...