Petaka Ban Bocor

4 3 0
                                    

"Sial! Gue telat!"

Aku berdecak sebal mengingat peristiwa beberapa menit lalu. Ban sepeda gunung yang kupakai sekarang, mendadak bocor. Mau tak mau, aku harus menepi dan mencari bengkel yang sudah buka pagi hari ini.

Sayang seribu sayang, semesta seakan mempermainkanku sekarang. Semua bengkel yang kulewati, tampaknya belum ada tanda-tanda siap menerima pengendara yang datang. Sial! Hanya tersisa dua puluh menit, bel sekolah akan berbunyi dan otomatis gerbang depan akan ditutup sebentar lagi.

Tak acuh pada peluh yang kian membasahi tubuh. Aku terus menuntun kendaraan beroda dua yang kini berhasil membuatku terkencar-kencar saat berangkat ke sekolah. Bukannya mempermudah, malah menambah susah.

Duh, andai saja waktu dapat diputar ulang. Aku tak akan mewujudkan permintaan Mala yang membuatku sengsara. "Biaya sekolah gue bisa terancam kalo kek gini," gumamku sembari mempercepat gerakan kaki.

Jalan utama berbahan cor di suatu perumahan yang terletak di Kabupaten Karawang, kini terlampau ramai dengan berbagai pengendara yang berlalu-lalang. Sebuah lapangan bertanah merah yang terhampar luas di seberang tempatku berpijak, dipenuhi sekumpulan orang-orang yang tengah berbelanja aneka macam sayuran dan makanan.

Aku menepuk jidat kala mengingat suatu hal yang sempat terlupakan. "Oh, iya. Tadi Ibu nyuruh beli ayam buat besok."

Nggak ada waktu lagi buat belanja!

Kira-kira sepuluh menit lagi, aku akan sampai di parkiran untuk menitipkan sepeda gunung berwarna kuning tua dan cokelat kemerahan yang menjadi penghias di sana. Sedikit berlari, mengingat waktu yang semakin menipis. Huh, akhirnya diri ini sampai di tempat yang sedari tadi dinanti-nanti.

"Pak, ini sepedanya. Nggak sempet buat taruh di dalem. Makasih, ya, Pak," ucapku tergesa-gesa kepada pemilik tempat yang dipadati puluhan kendaraan beroda dua, seperti motor. Jarang yang membawa sepeda sepertiku ini.

"Iya. Hati-hati, Neng!"

Aku mengangguk sembari melangkah cepat meninggalkan tempat. Netraku tertuju pada mobil angkutan umum berwarna biru yang tengah berhenti di pinggir jalan besar, tak jauh dari parkiran. Tak perlu berlama-lama, aku langsung berlari melewati berbagai pasang mata yang memerhatikanku dari pangkalan ojek ini.

Jalan raya cukup ramai. Aku harus berhati-hati saat menyeberang.

***

"Harsha telat? Oh, my god!"

Suara yang sangat tak asing di telinga menggema di berbagai penjuru lorong SMA Aksara Pelita. Gibran, salah satu spesies cowok yang menjadikan terlambat datang sebagai kegemaran. Tak jarang, kelakuannya ini menjadi perbincangan rutin di dalam kelas XI IPA 7.

Entahlah, diri ini sudah tak paham lagi dengan alur pikiran cowok yang memiliki tahi lalat di hidung itu. Setahuku, tempat tinggalnya terletak tak jauh dari area sekolah. Aku pernah mengunjungi rumahnya saat membesuk Gibran yang tengah demam tinggi. Hanya terhalang beberapa ruko, aku sampai di perumahan yang dia tempati.

Nah, kenapa bisa telat kayak begini?

"Nggak ngerti lagi gue sama lo, Gi. Rumah deket, masih aja terlambat. Kebangetan!"

Sang empu hanya bersandar di dinding lorong ini seraya melipat tangannya di depan dada. Aku dapat melihat cowok berbaju batik khas sekolah itu memejamkan mata dari bangku panjang yang berada di seberangnya. Sesekali tangan Gibran menggosok-gosok pelan bagian bawah hidungnya yang sedikit berwarna kemerahan.

Loh, dia pilek?

"Kenapa liat-liat? Naksir sama gue, ya?"

Baru juga mau prihatin, kenapa malah ngeselin?

"Nggak! Enak aja! Pantang banget seorang Harsha jatuh cinta sama manusia setengah orang kek lo!" sangkalku dengan nada yang naik satu oktaf.

Untung saja, lorong ini hanya ada kami berdua. Jadi, tak perlu repot-repot menahan suara agar tak terdengar oleh guru penjaga.

"Idih! Kek nggak ada cewek lain aja!"

Pojok KegelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang