Lentur Penumbuh Luka

11 5 0
                                    

"Acapkali lisan mampu menoreh luka di hati. Seolah tak sanggup menepis cela yang terselip laksana api."

- Binar Cempaka -

***

"Astaghfirullah, Gibran! Kalo kek gini, kapan kelarnya?"

Dadaku naik turun dengan posisi tangan yang bertengger di pinggang. Tak segan-segan, aku melayangkan tatapan tajam ke arah Gibran. Bukannya takut, cowok itu malah terbahak-bahak sembari melanjutkan aktivitasnya yang mengganggu kegiatan kami sekarang.

Koridor sekolah di depan kelas kami disulap menjadi arena seluncur es dengan bermodalkan air di ember dan sebotol sabun pembersih lantai. Eh, apa? Sebotol? Wah, parah sekali anak itu! Padahal baru dua hari yang lalu aku membeli perlengkapan alat kebersihan kelas di toko serba ada yang terletak tak jauh dari sekolah.

"Tanggung jawab! Besok beliin lagi pake duit lo, Gi!" perintahku dan hanya dibalas dehaman. Cowok itu kembali bergaya seakan benar-benar berada di kutub es.

"Harsha, tangkep!"

Tepat sasaran! Untung saja wadah sabun itu tak mengenai kepalaku. Bisa-bisa benjol yang ada nanti. Tanpa basa-basi, langsung kubuang botol bekas itu ke dalam tempat sampah besar berwarna biru yang ada di ujung bangku panjang, tak jauh dari tempatku berdiri.

Bisa-bisanya pembersih lantai itu habis hanya dalam waktu singkat! Nggak rela aku! Nggak rela pokoknya!

"Harsha, buruan ngepel! Gue mau pulang duluan soalnya!" Suara nyaring itu berhasil mengalihkan perhatianku. Aku tergapah-gopoh memasuki kelas yang hampir saja bersih lantaran hanya tinggal satu pekerjaan lagi.

Binar merapikan taplak meja guru seraya berujar, "Sha, gue pamit pulang duluan, ya. Nanti bilangin ke Rey kalo gue udah piket."

Dahiku seakan mengernyit memperhatikan remaja itu tengah tergesa-gesa memakai kembali sweter yang sempat dia lepas karena hawa yang lumayan panas. Memang benar, tapi sekarang sudah agak sejuk. Sebab, jam dinding menunjukkan pukul 16.30 WIB.

Aku mengacungkan kedua jempol ke udara. "Hati-hati, Bi!"

Binar mengangguk sembari melambaikan tangannya padaku. Kenapa dia terburu-buru sekali? Apakah ada sesuatu hal mendesak yang membuatnya harus segera pergi? Loh, mana mungkin Binar sudi menanggapi hal-hal yang dia anggap tak penting. Sudah dipastikan bahwa hal itu sangatlah genting.

"Aduh, pinggang gue encok!" teriak seseorang setelah terdengar suara benda jatuh.

***

"Sha, udah belum? Gue mau balik."

Sontak aku menoleh dan menggeleng cepat pada ketua kelas yang sedari tadi setia menunggu. Tentu saja. Kunci kelas, kan, dia yang pegang. Jadi, mau nggak mau harus menunggu siswi cantik nan imut yang satu ini.

Sedikit lagi tugas ini akan selesai. Hanya tinggal beberapa paragraf yang perlu kurangkum sekarang. Sudah menjadi rutinitas sebelum pulang sekolah, aku selalu mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru terlebih dahulu di kelas. Sebab, tak akan sempat jemari ini menyentuh buku saat kaki sudah menapaki rumah.

Yuk, bisa! Tinggal sedikit lagi! Yuk, semangat!

Entahlah, tubuh ini seakan lemas. Ingin cepat-cepat sampai di kamar dan merebahkan diri sampai tertidur lelap. Ah, rasanya hal itu mustahil! Mana mungkin aku bisa beristirahat dengan cepat dan pikiran terasa tenang seperti impianku itu?

"Alhamdulillah, selesai. Makasih, Rey."

Pemuda beriris abu-abu itu mengangguk pelan dan menampilkan senyum tipis. Lalu, berjalan menuju bibir pintu seraya mengeluarkan benda pipih canggih dari saku hoodie yang dia kenakan. "Cepet, ya. Jangan lama-lama," pintanya.

Tanganku lihai menyusun buku-buku yang tergeletak di meja kedua dari arah papan tulis, tempat dudukku bersama Binar. Kemudian, menaruhnya ke dalam ransel berwarna hitam yang kupunya. Tak perlu lama, semuanya sudah selesai dan aku siap untuk kembali melanjutkan aktivitas setelah menyerap berbagai ilmu di tempat ternyaman ini.

"Duh ...," keluhku kala sakit kepala mulai menerpa. Hanya sedikit pusing, masih bisa dikendalikan. Mungkin karena aku belum makan sedari siang.

Aku melangkah mendekat ke arah Rey yang tengah bersandar di dinding tiang sekolah, tepat di sebelah bangku panjang. "Yuk, balik! Sini, gue yang kunciin."

"Lo nggak papa? Muka lo makin pucet," ungkapnya sembari mendekat ke arah pintu kelas XI IPA 7 dan langsung menguncinya.

"Emang gue kenapa? Santai aja kali!" sangkalku seraya mendorong bahunya sekilas, menandakan bahwa tak perlu ada yang dikhawatirkan.

Aman.

***

"Kasian banget. Sampe sakit gitu karena nggak sanggup beli makanan."

Baru saja diri ini bersandar pada dinding kelas XI IPA 5, sosok makhluk yang tak pernah diharapkan kehadirannya olehku itu muncul di hadapan. Padahal sudah susah payah aku menahan nyeri di kepala sampai Rey pergi. Tiba-tiba saja Raika datang dan berbicara hal yang tidak sepantasnya diucapkan.

Sabar. Anggap saja tidak ada orang. Dia hanya patung berjalan, kok.

Mau langsung pulang, tapi kepala ini masih sakit. Semakin nyeri saat aku mulai melangkah. Mungkin sepuluh menit lagi akan normal kembali. Kini, aku hanya sanggup memejamkan mata. Tanpa menghiraukan kicauan hinaan yang sedari tadi menusuk telinga.

"Mau gue traktir? Eh, tapi gue nggak sudi ngasihnya."

Seulas senyum manis kuberikan padanya.

"Acapkali lisan mampu menoreh luka di hati. Seolah tak sanggup menepis cela yang terselip laksana api."

Binar?

Pojok KegelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang