Salah Duga

2 1 0
                                        

"Buburnya pake santen nggak?"

"Pake, Bu," jawabku seraya mengangguk-ngangguk.

Aku yakin, jam pertama di kelas XI IPA 7 sudah dimulai sedari tadi. Sebab, benda berbentuk lingkaran yang menggantung di dinding kedai bubur kacang hijau ini menunjukkan pukul 07.45 WIB. Jadi, bisa disimpulkan bahwa waktu belajar telah berlangsung selama lima belas menit.

Tak apa, libur sehari dulu untuk menyerap ilmu bahasa Inggris pada minggu ini. Entah kenapa, hatiku seakan tak tega meninggalkan manusia setengah orang itu di dalam ruangan Unit Kesehatan Sekolah, alias UKS sendirian dalam keadaan pingsan. Nuraniku seolah bergejolak meminta untuk tetap menunggu dirinya siuman.

Meski kehadiran Gibran selalu menjengkelkan, tetapi aku merasa hari ini sikapnya tampak berbeda. Apa mungkin karena ada sesuatu hal yang membuatnya sampai terjatuh di tengah lapangan dalam keadaan tak sadarkan diri seperti tadi? Apakah tubuhnya yang kuat seakan tak sanggup menopang diri sendiri?

Entahlah, mungkin hanya bibirnya yang mampu mengungkap rangkaian pertanyaan ini.

"Ini, Neng. Lima ribu aja. Hati-hati bawanya, masih panas itu."

Aku yang tengah duduk santai di bangku panjang, langsung berdiri dan menghampiri wanita paruh baya pemilik salah satu kedai di kantin SMA Aksara Pelita ini. Sedikit mengembuskan napas gusar sambil memberikan selembar uang kertas berwarna cokelat kepadanya. Berat rasanya, tapi tak apa. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan sesuatu hal yang berlipat ganda.

Meski hanya memiliki uang yang pas-pasan, bukan berarti kita harus berhenti berbagi kepada sesama. Sebab, bersedekahlah untuk kaya, bukan bersedekahlah kalau kita kaya.

Jika makna kalimat itu dibalik, maka mau sampai kapan kita menunggu kaya baru sedekah? Atau bahkan, sampai sang ajal yang memperingati kita akan pentingnya sebuah sedekah? Jangan sampai semua itu menjadi kenyataan.

"Makasih, ya, Bu."

***

"Gibran! Gibran!"

"Lo di mana? Kok, ngilang?"

Baru saja kaki ini menapaki ruangan serba putih yang kutaksir memiliki luas sebesar dua belas meter persegi. Sosok yang kutemani tadi mendadak tak dapat kutemukan wujudnya di sini. Sontak saja, aku melangkah cepat menghampiri brankar yang terletak di pojok ruangan seraya menaruh nampan yang berisi bubur dengan teh manis hangat di meja.

Aih, ke mana anak itu?

Tadi masih pingsan, kenapa sekarang menghilang?

Apa jangan-jangan ....

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Bibirku refleks menjawab salam yang sepertinya berasal dari pengeras suara masjid, tepat di sebelah sekolah ini.

Tumben, ada pengumuman apa?Posyandu, bukan?

"Innalillahi wainna ilaihi raji'un ...."

Uhuk!

Innalillahi ... siapa yang meninggal?

Aku mendudukkan diri di kasur berwarna hitam itu sembari siap-siap mendengarkan kelanjutan dari pengumuman tersebut. Belum selesai, Bapak itu masih mengulang kalimat istirja sebanyak tiga kali.

"Telah berpulang ke rahmatullah. Saudara kita, sahabat kita, teman dekat kita, Gibran Pra—"

Astagfirullah!

Benarkah itu Gibran? Gibran yang selalu mengusik kehidupanku selama hampir dua tahun terakhir ini? Cowok yang kemarin bermain seluncuran di depan kelasku itu? Apa benar Gibran yang ini?

Tanpa izin, netra ini perlahan mengembun dan meneteskan buliran bening. Sekujur tubuhku seakan kaku, meski hanya bergeser saja pun tak mampu.

Kenapa secepat itu?

"Gi, maafin gue. Gue tau kalo lo emang ngeselin, nyusahin, sama ngeribetin. Tapi, kok, gue ngerasa nggak rela kalo lo pergi secepat ini?"

Ibu jari ini menyeka kedua pipi yang kian basah seiring berkelananya pikiran di dalam kepala.

"Lo nggak mau nyobain bubur kacang ijo ini dulu? Enak kayaknya, sih. Gue dah capek-capek, loh, jalan dari kantin sampe sini." Aku terkekeh sendiri. Tak akan mungkin dia menyahuti ucapanku kini. Sedangkan kehadirannya pun sudah tak lagi di sisi.

Aku tersenyum dan berkata, "Selamat jalan, Gibran. Semoga tenang di alam sana."

"Gila! Gue masih hidup!"

Astagfirullah, arwahnya gentayangan! Ya Allah, tolong hambamu yang cantik ini. Tolong usir makhluk yang baru saja membuka pintu UKS itu, Ya Allah.

"Yang meninggal namanya Gibran Pramudya. Kalo gue, Gibran Prayoga. Makanya, kalo dengerin apa-apa itu jangan setengah-setengah!"

Loh, nggak jadi meninggal?

"Ditinggal ke WC sebentar aja jadi salah paham gini. Gimana setahun?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pojok KegelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang