"Paham nggak?"
Sontak aku menggeleng tertahan menanggapi ucapan Pak Tyo yang tiada habisnya. Kira-kira sudah setengah jam beliau mencurahkan segala keluh kesah di dada kepada kami semua. Sedari tadi, netra sayu ini tak lepas melirik-lirik murid lain yang bernasib sama denganku kini.
Lapangan utama SMA Aksara Pelita menjadi saksi bisu kejenuhanku mendengarkan untaian-untaian kata yang dilontarkan oleh pria berseragam krem kecokelatan itu. Tak ada kata lelah, beliau terus saja memberikan wejangan-wejangan agar kami tak telat lagi dan memperbaiki diri agar lebih disiplin.
Terkadang suka heran, padahal ini kali pertama aku terlambat datang ke sekolah. Itu pun karena ban sepeda gunung yang kugunakan mendadak bocor. Namun, kalimat demi kalimat yang beliau sampaikan seakan menganggapku sebagai bagian dari sekelompok pelajar yang hobi telat itu.
Contohnya, kayak Gibran gitu.
Loh, ngomong-ngomong tentang Gibran. Tumben sekali anak ini mendadak berubah menjadi makhluk paling kalem sejagat kelas. Tak ada sekalipun cowok berwajah oval itu memanggil namaku semenjak kami berbaris rapi membentuk persegi ukuran 4×4 ini.
Ada apakah gerangan? Apakah ada jin yang mampu merasukinya? Ah, masa iya? Tampak meragukan, sih!
"Sudah berkali-kali saya bilang, hanya tiga kali kesempatan yang kami berikan dalam sebulan, jika kalian terlambat datang," jelas Pak Tyo sembari melangkah menghampiri remaja perempuan berseragam olahraga yang berdiri paling depan.
Rasanya, kedua alisku perlahan mengerut seiring melintasnya ribuan pertanyaan di kepala. "Mau diapain?" gumamku seraya memperhatikan gerak-gerik dari guru piket yang terkenal banyak bicara itu dengan saksama.
"Bingung, Sha? Nama kita dicatet di buku besar yang isinya nama-nama murid yang telat."
Refleks aku menengok ke samping kala telinga kanan menangkap gelombang bunyi yang berisi informasi. Gibran, cowok bertubuh jangkung itu berbicara tanpa menampakkan wajahnya kepadaku. Dia terus saja merunduk sembari menutupi sebagian wajahnya dengan topi abu-abu berlambang Tut Wuri Handayani di bagian penutup kening.
Sedikit menenangkan, jika hari ini dia tak berulah. Akan tetapi, kenapa aku merasa ada hal janggal yang berhasil dia tutupi dengan rapi?
Apa dia ada masalah? Belum mengerjakan tugas? Atau, bahkan ... dia tobat karena sering telat?
Eh, tunggu!
"Kenapa aku jadi mikirin dia?" Aku bertanya pada diri sendiri dengan suara yang sangat lirih.
"Ngomong apa, Sha?"
Oh, my god! Semoga dia nggak dengar. Aamiin.
***
"Aduh, Pak! Kira-kira kali, kalo mau ngasih hukuman. Tangan saya pegel, nih, hormat mulu dari tadi."
Keluhan kelima belas sudah tersampaikan. Bisa-bisanya aku rajin menghitung satu per satu rintihan yang mereka lemparkan. Tak jemu-jemu mereka protes dengan cara bersandiwara, seakan-akan menjadi perempuan yang paling sengsara di dunia.
Aku mengembuskan napas gusar saat tak berhenti melirik-lirik Gibran yang masih setia menutupi keadaan parasnya dengan topi. Meskipun tangan kanannya digunakan untuk hormat, tetap saja aku tak berhasil melihat wajahnya kini. Aih, ada apa dengan anak ini? Biasanya juga nggak begitu. Tebar pesona malahan.
Aku berdeham pelan. Namun, hanya kegagalan yang aku dapatkan. Hal itu tak mampu mengusik kekhusyukan Gibran yang tengah menatap bendera merah putih di atas sana. Akan tetapi, apakah matanya dapat melihat jelas bendera yang berkibar-kibar itu tanpa melepaskan topi yang dia kenakan? Hmm ... tampak meragukan.
"Sha, lo udah bawa kamus bahasa Inggris?"
Tiba-tiba saja, kedua mataku membeliak setelah mendengar pertanyaan petaka dari Gibran. Kamus? Ya ampun, aku lupa memasukkannya ke dalam tas! Seingatku, benda penyelamat itu kusimpan di meja belajar milik Mala.
Tidak!
Semoga saja Mala tak menyadarinya. Hal buruk bisa saja dia lakukan tanpa mengindahkan perkataanku yang selalu saja merendah di hadapannya. Ibu, salah satu faktor yang membuatku tak memiliki nyali yang cukup untuk memberantas sikap keegoisannya.
"Gibran!" Aku memekik kuat kala tubuh cowok itu terjatuh ke pijakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/308972330-288-k993673.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pojok Kegelapan
Teen FictionHidup di tengah keluarga yang membenci kehadiran diri, seolah membuatku ingin terlepas dari dunia dan menyusul Ayah di surga. Namun, kenapa takdir kematian belum memihak? Kehidupanku di dunia masih terus berlanjut. Sampai detik ini, di mana sosok ya...