"Terkadang rasa penat datang tak beralur. Bibir mengeluh pun sudah tak teratur. Namun, jangan sampai kamu kufur hingga lupa bagaimana caranya bersyukur."
- Harsha Gantari -
***
"Kak, sampahnya masih berantakan itu."
Sontak aku menoleh ke arah gadis pemilik hidung mancung yang tengah bergelut dengan setumpuk buku di meja belajar yang terletak di kamar tidurnya. Lantai ruangan yang didominasi warna biru langit itu tampaknya tidak pernah ada sampah yang berceceran. Baru kali ini ada sebungkus plastik makanan ringan di samping kaki kursi putar.
"Kamunya geser dulu coba. Mau disapu dulu bawah meja belajarnya," suruhku dan langsung direalisasikan oleh Mala. Tumben sekali anak itu langsung nurut. Biasanya akan ada perselisihan dulu, baru dia laksanakan. Tak jarang juga, omelan dari Ibu yang akan kudapatkan.
Tak apa, wajar. Kala itu hanya senyuman keikhlasan yang mampu kutampakkan.
Tangan ini dengan lihai membersihkan wadah bekas camilan yang ada di ruangan tak begitu luas ini. Tak perlu waktu lama, semuanya sudah bersih seketika. Sedikit lagi pekerjaanku hampir tuntas. Hanya tinggal membuang sekantung plastik sampah yang kupegang ke tempatnya, tepatnya di dekat teras.
"Ih, udah sana cepet keluar! Aku mau lanjut nugas. Banyak tau!" kata adikku dengan nada sedikit tinggi seraya mendorong tubuh ini sampai tak menginjak lantai kamarnya lagi.
"Aduh, sakit!" Aku memekik kuat saat tak sengaja ibu jariku terjepit pintu kamar Mala. Dia menutup pintu berbahan kayu itu dengan sangat tergesa-gesa dan lumayan kuat. Memberi efek memar pada kuku jempolku sekarang. Pun pandangan yang sedikit buram terhalang genangan.
Sakit, sih, tapi ... nggak apa-apa. Nggak ada gunanya juga mengeluh. Lebih baik aku melanjutkan pekerjaan rumah ini sebelum Ibu sampai.
"Sabar. Cuma kejepit pintu. Jempolnya masih ada, kok. Aman berarti." Aku terkikik geli menanggapi ucapanku barusan seraya menyeka buliran yang perlahan menetes di pipi. Nggak pernah terbayang jika jempol itu harus hilang hanya karena berimpitan dengan pintu dan kusen yang terpasang.
"Ibu, bisa pulang cepet nggak?"
"Iya, Bu. Sekarang, ya."
Astaghfirullah. Kok, kenapa ditelepon?
"Kejepit pintu aja banyak drama! Udah sana cepet lanjutin beres-beresnya!"
Sampai kapan penderitaan ini akan usai?
***
"Lama banget, sih! Aku laper, Kak!"
Ya, ampun. Tak henti-hentinya remaja berusia 16 tahun itu kembali bersuara. Ingin aku menyahutinya. Namun, takut saja jika dia mengadukan hal yang tak sesuai kenyataan kepada Ibu selepas kerja. Aku hanya bisa berjaga-jaga. Jangan sampai terjadi sesuatu hal yang tidak terduga.
Hampir setengah jam, aku bergelut dengan peralatan masak di dapur. Sedikit lagi selesai. Hanya tinggal menunggu ayam goreng itu matang, lalu ditiriskan. Lima menit kemudian, semuanya sudah selesai. Menu masakan hari ini langsung kuletakkan di meja makan dengan cekatan.
"Kerja Kakak jadi lambat semenjak Ayah nggak ada. Coba aja Ayah tau kelakuan anaknya kayak gini. Pasti dia juga ikut muak kalau Kakak ada di rumah. Sama, kayak aku sekarang."
Bagaikan tersambar petir. Hatiku berdenyut nyeri mendengar penuturannya. Tubuhku mendadak kaku dan perlahan lemas. Hampir saja terjatuh ke pijakan. Untung saja tangan kanan mampu menopang beban tubuh pada dinding dapur, di samping tempatku berdiri.
Rinai hujan di pelupuk mata tak lagi tertahankan. Mengalir deras bak aliran sungai yang ingin bermuara ke lautan. Relung kalbu tak mampu lagi menahan sesak. Memberi celah pada kaki untuk melangkah cepat menjemput kesunyian.
Kenapa dia pandai berbicara seperti itu? Apa kehadiranku di rumah ini mengganggu ketenangannya?
Tanpa menghiraukan panggilan dari seseorang, aku bergegas meninggalkan tempat yang membuat hatiku semakin terluka. Melangkah memasuki ruangan yang sedikit remang, tapi penuh dengan kenyamanan dan ketenangan. Iya, bebas berbuat hal apa pun yang aku inginkan.
Pintu kamar kukunci rapat-rapat. Lampu yang menyala, langsung kumatikan detik ini juga. Tak ada yang mampu mengusik duniaku sekarang. Iya, dunia gelap yang hanya ditemani jeritan tangis saat hati ini tak lagi mampu menahan derita yang kian mengikis.
Apa benar, Ayah akan membenciku juga seperti Mala?
Terduduk di pojok kamar seraya memeluk lutut erat-erat seakan mengurangi rasa nyeri di dada. Meski hanya mampu menjerit tertahan tanpa mengeluarkan suara. Mencoba membiarkan air mata ini berseluncur dengan bebas memenuhi haknya.
"Maaf, aku yang salah."
"Aku cuma jadi manusia yang nggak berguna."
![](https://img.wattpad.com/cover/308972330-288-k993673.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pojok Kegelapan
Teen FictionHidup di tengah keluarga yang membenci kehadiran diri, seolah membuatku ingin terlepas dari dunia dan menyusul Ayah di surga. Namun, kenapa takdir kematian belum memihak? Kehidupanku di dunia masih terus berlanjut. Sampai detik ini, di mana sosok ya...