16# Mencoba Terbiasa

14 3 1
                                    

Jika bercerita adalah cara terbaik meredakan luka, maka hanya Allah lah tempatmu mencurahkan segala cerita.

~Ayyas Habibullah~
<<>>

Come back lagi setelah berabad-abad😌
Happy reading!

<<>>

Lulu' berkali-kali menghela napas. Pikirannya tidak bisa fokus seharian ini. Pasalnya, yang menjadi pengampu pembakalannya selama satu pekan ini adalah Gus Zaid dan juga Ustadzah Erfia.

Sedangkan Ning Khania mengampu kelas sebelah bersama Gus Ayyas. Allah, skenario apa yang sedang engkau gariskan??

"Kamu sakit ya Lu'? Perasaan dari tadi mijat kepala mulu" Tanya Hanifa.

Lulu' menggeleng.

"Agak pusing aja sih, tapi gak papa kok" alibinya.

Ia kembali memperhatikan penjelasan didepan meski sebetulnya itu tidak akan masuk dalam otaknya.

<<>>

[Aku tunggu didepan ya?] Ucap Ning Khania sebelum mematikan sambungan teleponnya.

Setelah Lulu' keluar kelas, Ning Khania mengajaknya makan diluar sore ini. Ingin sekali ia menolak ajakan Ning Khania, tapi apa daya.

Lulu' menarik napas panjang sebelum menemui sahabatnya semasa Mts itu. Sore ini Lulu' menggunakan inner putih dipadukan dengan outer lavender juga jilbab segiempat senada.

"Ma Syaa Allah, cantik banget sih!" Puji Ning Khania seraya bersalam pipi dengan Lulu'.

"Cantikan juga kamu, Ning!" ujar Lulu'.

"Ish, dibilangin jangan manggil kayak gitu kok" ucap Ning Khania dengan wajah sedikit kesal.

"Menghormati lho namanya"

"Tapi aku gak suka"

"Iya, iya Khan. Kamu nih, udah punya suami masih suka ngambek kayak gini, malu tuh sama suami" ucap Lulu' disusul tawanya.

"Iya Lu', masa aku ke luar kota 3 hari dia ngambek" sahut Gus Zaid tiba-tiba.

Ning Khania mencubit perut Gus Zaid.

"Ih, jangan dibocorin ke Lulu', malu tau, nanti aku di bully" pipi Ning Khania mulai memerah karena ulah suaminya itu.

"Sakit tau dicubit gini"

"Makanya jangan nakal sama istri sendiri"

Lulu' yang melihat itu hanya tersenyum miris. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya tidak baik-baik saja.

"Ayo berangkat, keburu maghrib nanti" ucap Gus Ayyas menghentikan candaan mereka berdua.

<<>>

Selama perjalanan Lulu' lebih banyak diam, selebihnya ia hanya akan bersuara jika ditanya.

Mereka memasuki sebuah restoran minimalis dengan design outdoor. Ning Khania sejak pagi sudah mereservasi satu meja atas namanya.

"Anti bikhoir??" Tanya Gus Ayyas ketika bersebelahan dengan Lulu'.

"Na'am" jawabnya pelan.

Gus Ayyas hanya terkekeh melihat wajah pasrah Lulu'. Beliau kemudian memainkan ponselnya.

Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke dalam handphone Lulu'. Setelah melihat siapa pengirimnya, Lulu' refleks mendongakkan kepala. Menatap tidak percaya pada Gusnya itu.

Gus Ayyas
Jika bercerita adalah cara terbaik meredakan luka, maka hanya Allah lah tempat mencurahkan segala cerita.

*masih berusaha.

Lulu' membalas pesan itu dengan sedikit sebal. Andai itu bukan anak dari guru besarnya, sudah mencak-mencak Lulu'. Pasalnya, kalau sudah menyangkut Lulu' dan Gus Zaid, Gus Ayyas bisa membully Lulu' habis-habisan.

"Eh, Lu'. Kamu gak ada niatan gitu buat ta'arufan?" Tanya Gus Zaid tiba-tiba.

"Sekolah belum selesai, gus. Masa' mau dicampur aduk sama urusan ta'aruf? Allah udah garisin takdir Lulu' dengan baik. Bisa jadi, Lulu' lebih dulu berjodoh sama maut dibanding sama teman hidup. Gak ada yang tau. Mending banyakin ilmu buat diamalin ke banyak orang, sekalian kita investasi pahala buat masa depan akhirat. Masa depan dunia mah nanti ngikut sendiri" jawab Lulu' panjang lebar.

"Iya sih" balas Gus Zaid.

"Maksudnya pertanyaannya Gus Zaid itu, kapan kamu mau ta'arufan? Soalnya banyak temennya yang nanyain kamu. Kalau emang ada niatan, kamu mau diajak ta'aruf sama temennya Gus Zaid, Lu' " jelas Ning Khania.

Lulu' menggeleng. Jelas ia menolak lah. Ia masih suka berkelana mencari ilmu untuk saat ini.

"Kalo kamu yas, gimana? Udah umurnya lho" tanya Ning Khania.

"Hhh, emang nikah harus diumur segini ya?"

Lulu' menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ditanya malah balik tanya.

<<>>

Takdir pun Berkata LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang