10# Bayangan Masa Depan

34 5 0
                                    

"Lulu' setelah lulus mau lanjut kemana?" Tanya Umi.

Lulu' menggeleng. Senyumnya tercetak manis diwajahnya.

"Belum tau,umi. Sementara ini masih mau bantu-bantu disini" jawab Lulu' seadanya.

Umi beralih menatap Dzikri yang duduk disebelah Lulu'.

"S2 mu dah selesai dzik?"

"Alhamdulillah. 2 bulan lagi wisuda, mi"

Umi menyikut Abah yang sedang menyeruput teh madunya. Hampir saja teh itu tumpah.

"Abah lagi minum kok diganggu sih, mi" protes Abah sembari melanjutkan minumnya.

"Kira-kira Amira mau gak ya sama Dzikri bah?"

Lulu' menahan tawanya saat nama Amira disebut. Amira, santriwati yang terkenal sering mendapat takziran itu adalah keponakan Abah dan Umi.

Abang? Digabungkan dengan Amira? Apa jadinya? Itulah yang terbesit dalam pikiran Lulu'.

"Kasihan Ustadz Dzikri kalo nikah sama Amira, mi. Umi kayak gak tau sifat Amira aja" ceplos Gus Ayyas.

Lulu' benar-benar tertawa saat menceritakan  obrolan yang terjadi didhalem tadi. Bisa-bisanya Gus Ayyas berkata begitu. Padahal Amira itu adek sepupunya.

"Seriusan Gus Ayyas bilang gitu?" Tanya Ilma memastikan.

Lulu' mengangguk. Disebelahnya, Diena sudah bertepuk tangan dengan wajah terkagum-kagum.

Bagi santriwati, melihat Gus Ayyas berbicara dengan nada santai saja mampu membuat mereka melongo,- maklum, Gus Ayyas selalu serius. Apalagi mendengar kisah Gus Ayyas yang mampu meledek adek sepupunya, bak melihat ayam beranak.

"Jadi, kamu lanjut kemana Lu'?" Tanya Diena mengalihkan topik.

Lulu' terdiam. Telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu.

"Pengennya sih lanjut kuliah, kayak Abang gitu. Tapi gak tau bunda ngizinin apa gak"

Diena melirik Ilma yang sepertinya sedang berpikir.

"Ilma?"

"Cita-citaku ngabdi disini. Nanti aku bakal pindah klo udah ada yang boyong aku"

Lulu' dan Diena tertawa. Sahabatnya yang satu ini sangat sederhana pemikirannya.

"Nunggu jodoh ceritanya" goda Lulu'.

Ilma hanya nyengir tanpa dosa. Memang sudah saatnya, toh, umur mereka sudah pantas untuk menikah.

"Klo aku sih gak usah ditanya. In Syaa Allah setengah tahun lagi halal" ujar Diena.

"Kan udah ada calonnya! Lha aku?"

Lulu' menepuk pundak Ilma pelan. Ia tersenyum.

"Nanti juga datang sendiri. Kamu tinggal mempersiapkan diri, memperbaiki sikap. Tau-tau si dia ketuk pintu rumah" ucap Lulu'.

"Doain ya, semoga bunda ngizinin Lulu' buat kuliah lagi diluar negeri. Syukur-syukur bawa calon dari luar" lanjutnya.

Ilma memukul lengan Lulu'.

"Ngarep banget sih dapet orang luar. Mbak, sadar diri dong. Wajah mbaknya sudah kayak orang luar, seharusnya bagi-bagi sama saya" sindir Ilma.

Lulu' dan Diena tidak bisa menahan tawanya. Padahal ucapan Lulu' tidak serius-serius amat, eh ditanggapi sama Ilma. Gak papa lah, suka-suka Ilma.

««»»

Persiapan haflah masih terus dilakukan. Mengingat ini sudah H-13 acara. Properti  dekor pun sudah mulai berdatangan, beberapa dari luar kota.

Kemarin Lulu' dan tim sempat menginap di hotel karena menunggu properti yang katanya akan sampai ba'da isya. Namun kenyataannya, pengiriman baru sampai keesokan harinya.

"Nanti H-7 kita eksekusi" titah Gus Ayyas.

Mereka hanya mengangguk. Artinya, minggu depan akan lebih menguras tenaga dan pikiran.

««»»

Selepas shubuh tadi, Lulu' sudah berada dihotel Gold Generation. Sejauh ini belum ada kendala apapun yang menghambat, dan semoga saja akan terus lancar hingga akhir.

"Kurang ke kiri mas!" Teriak Diena.

Laki-laki itu menggeser properti. Mengikuti arahan Diena dengan patuh. Lulu' tidak banyak bicara, ia lebih sering memegang tugasnya langsung dari pada lewat perantara orang lain. Sedangkan Diena hanya sebagai pengawas.

Gus Ayyas dan Amir berkali-kali bolak-balik dari Pondok ke Hotel demi mengurus keduanya. Terkadang Umi sampai menelfon Lulu' atau Diena hanya sekedar bertanya kabar tentang Gus Ayyas.

[Ayyas ada dihotel tidak? Kalau ada umi mau bicara sama Ayyas. Sudah berkali-kali umi telfon tapi tidak diangkat]

"Nggih mi. Sebentar, Lulu' panggilkan"

Lulu' berjalan ke arah Gus Ayyas yang fokus menatap layar laptopnya. Sampai-sampai tidak sadar jika Lulu' ada dihadapannya.

"Permisi gus, ada telfon dari umi. Handphone njenengan tidak bisa ditelfon kata umi"

Gus Ayyas mendongak sekilas, kemudian melirik handphone yang bertapa dimeja. 8 panggilan tak terjawab.

"Syukron" ucap Gus Ayyas seraya menerima handphone Lulu'.

Baru saja Ayyas mengucap salam, namun sudah dibalas omelan dari umi.

[Kenapa hp-nya?? Disilent iya? Biar umi gak bisa telfon gitu? Udah berapa kali umi nasehatin, handphone gak boleh disilent! Nanti kalo ada pesan penting kamu gak tau yas]

Gus Ayyas hanya bisa menjawab nggih, nggih, dan nggih. Ia hanya bisa pasrah mendengar semua nasehat uminya.

««»»

Jangan lupa tinggalkan jejak😊



Takdir pun Berkata LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang