Entry No. 7
Sungguh, kita berasal dari-Nya, dan akan kembali kepada-Nya.
Aku tidak tahu bagaimana harus menulis ini. Hatiku terlalu sakit untuk mencurahkan semua perasaan yang ada sampai rasanya tidak bisa berkata-kata. Aku tetap melakukan ini walaupun terpaksa, karena kalau tidak, bisa jadi hari ini atau besok adalah hari terakhirku dan aku tidak memiliki catatan terakhir apa pun untuk dibagikan.
Kenapa aku terdengar sangat pesimis? Itu mungkin karena aku mendapati fakta bahwa aku telah kehilangan seorang teman perjalanan dalam sebuah insiden. Edda, gadis yang telah kuanggap seperti adikku sendiri harus tewas dimangsa oleh monster cacing raksasa di depan mataku sendiri. Padahal rasanya seperti baru kemarin aku mengenalnya, tetapi cepat sekali gadis itu direnggut takdir.
Tidak. Aku tidak menyalahkan takdir. Aku tidak pernah menyalahkan apa yang telah digariskan kepada seluruh makhluk. Aku hanya masih sulit menerima kematian orang terdekatku. Mungkin sekadar syok. Sama halnya seperti apa yang terjadi kepada Abi, Ummi, atau Nisya. Mungkin ini hanya bukti kalau aku masih belum bisa menghadapi kematian yang akan terjadi.
Aku hanya berharap, semua yang tewas malam itu mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.
Baiklah, akan kulanjutkan walaupun jurnal ini terasa berat.
Setelah pemakaman selesai—dan itu jauh dari kata layak—aku dan Xi kembali ke mobil. Ia menggenggam tanganku dan menarikku paksa karena pikiranku tengah kosong saat itu. Biasanya aku selalu menolak untuk bersentuhan dengan lawan jenis, tetapi setelah apa yang menimpa kami, aku tidak bisa lagi berpikir jernih. Mana yang salah? Mana yang benar? Saat Xi memelukku pun, aku diam, tak melawan. Yang kurasakan saat itu hanyalah kenyamanan di tengah keterpurukan. Aku berubah. Tentu saja. Semua orang berubah. Apa itu buruk? Dalam kasusku, mungkin. Apa aku bisa kembali lagi seperti dulu? Mungkin, tetapi butuh proses yang panjang disertai seseorang yang memandu kembali.
Andaikan Abi masih ada, aku mungkin sudah dipukulnya karena melanggar. Beliau akan mengomeliku karena sudah berani berpelukan dengan lawan jenis. Abi memang keras dalam mendidik, tetapi hal itu membuatku menjadi pribadi yang disiplin. Sekeras apa pun Abi membentak atau memukul, akan ada Ummi yang membela. Abi bilang itu agar hati dan fisik menjadi kuat, tetapi Ummi juga bilang hati haruslah lembut. Kuat bagai baja, lembut bagai sutra. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Aku tidak tahu. Namun, aku adalah produk nyata mereka.
Aku, Xi dan rombongan melanjutkan perjalanan setelah tengah malam. Di dalam mobil saking lelahnya setelah pertarungan seperti yang sudah-sudah, aku tertidur lelap tanpa sadar. Aku baru bangun lagi ketika matahari telah tinggi. Cahayanya menyinari sela-sela jendela dan ventilasi, membuatku silau. Hal yang buruk. Itu artinya aku kesiangan untuk melakukan hal yang sakral setiap sebelum fajar tiba.
Aku merenung seperti orang bodoh, meratapi kesalahanku dan juga kejadian sebelumnya. Ya, aku masih belum bisa lepas dari sana. Lama. Yang kulakukan hanyalah berkutat dengan pikiran. Setimpalkah apa yang kulakukan ini? Sudah benarkah jalan yang kuambil ini? Benarkah hidupku akan lebih baik bila aku hijrah ke Liberte? Atau malah lebih buruk? Mungkin harusnya aku tidak pernah pergi dari koloni. Haruskah aku kembali atau kabur saja daripada menanggung malu karena telah besar kepala akan mendapat hidup yang lebih layak di tanah yang katanya seperti surga dunia itu?
Aku tidak tahu.
Selagi aku merenung saat itu, Xi menegurku. Ia mengembalikan pisau yang dipinjamnya untuk menunjukkan bagaimana caranya bertarung pada Edda ... yang akhirnya berakhir sia-sia karena hal itu tidak pernah selesai. Edda tidak akan pernah mempelajarinya. Edda tidak akan pernah mempraktikkannya. Edda tidak akan pernah ....
Aku terus melihat pisau itu. Seperti senjata-senjata lainku yang memiliki sejarah, pisau ini juga akan memiliki kenangan tersendiri. Saat benda ini digenggam oleh Xi. Saat benda ini menjadi saksi bisu niat gadis itu untuk mengajarkan seseorang. Saat benda ini kembali padaku, dan mungkin suatu saat digunakan untuk membuat kenangan yang lebih dalam dari ini. Harus kuakui, aku memang sentimental. Dan sifat itu semakin besar sepertinya. Entah itu bagus atau tidak.
![](https://img.wattpad.com/cover/306810367-288-k639634.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith in the Desert (END)
Science FictionMaukah kau bertarung hanya untuk segelas air atau segenggam makanan yang layak dikonsumsi? Di Direland, semua itu sudah biasa. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Tempat di mana mereka yang terbuang dan tersisihkan dari oasis penuh kehidupan. R...