Entry No. X
Katanya, menulis itu bekerja untuk keabadian.
Aku tidak ingat kapan terakhir aku menulis, khususnya jurnal. Yah, lagi pula, aku tidak yakin aku menulis apa lagi selain ini. Aku juga tidak ingat jurnal terakhir yang kutulis itu bertanggal kapan. Hal yang kuingat hanyalah aku tidak bisa menulis dan menuangkan emosiku sejak hari itu.
Hari di saat aku tersadar setelah dicekik oleh Om Ducky, ternyata. Keruntuhan Liberte. Kenyataan pahit. Dan sebuah masa depan baru.
Dipikir lagi, lucu juga kelakuanku saat itu. Aku seperti anak kecil, merajuk, pundung, bahkan marah terhadap J yang seharusnya tidak pantas kumarahi karena dia seperti adikku sendiri. Mungkin Om Ducky memang melihatku seperti itu dari awal kami bertemu. Seperti induk bebek. A dukcling and the Father Duck. Bukan Mother Goose karena dia pria dan juga bukan angsa, dia Bebek.
Aku pulih dengan kepala pening. Saat sadar seperti orang linglung, aku melihat lagi ke segala arah mencari orang yang mengubah hidupku sambil berteriak, "Xi!!! XIII!" Tapi, tidak ada jawaban.
Aku baru dapat melihat jelas ketika air mataku berhenti. Kami telah berpindah tempat. Bukan lagi di Laboratorium Utama di mana The Final Showdown berlangsung. Tumpukan puing-puing itu sudah tidak ada, digantikan oleh api unggun yang hangat. Dikelilingi oleh Om Ducky, J, Suster Tilia, seorang pria besar berotot dengan setelan layaknya ilmuwan—setelahnya kuketahui kalau namanya adalah Silas, dan aku. Kami bisa di mana saja, tetapi sepertinya masih di sekitar Liberte. Aku tidak yakin. Kami mungkin berada di pojokan koloni itu. Terhindar dari orang-orang dan jalan utama.
Aku masih terlalu kalang-kabut, sampai tidak mengindahkan kepedulian Suster Tilia.
Om Ducky yang mungkin gemas dengan tingkahku yang masih menyebut-nyebut nama Xi lantas mendekat. Dia memegang bahuku sambil berkata, "Kau mau tanya Xi di mana, kenapa tidak kau tanyakan saja langsung pada saksi mata?"
Aku melotot, tersadar akan perkataan Om Ducky. Aku langsung menerjang J karena dia yang jadi penyebab Xi sampai datang ke Liberte, padahal sebelumnya sudah aman di Koloni Rogue. Kuguncang-guncang tubuh bocah itu, tetapi dia sendiri tampak sedih dan menyesal. "J! Mana Xi?!" teriakku.
"Maaf Raz .... Seharusnya aku tidak bersikeras untuk pergi ke Libertè, karena itu Xi ...." J menjawab dengan wajah memelas. Matanya juga bengkak seperti orang yang telah lelah menangis. Mungkin memang begitu.
Aku baru berhenti panik ketika Om Silas memberikanku tas Xi dan barang-barangnya. Sebuah bukti jika Xi memang ... sudah tidak ada.
Aku menangis kembali, meraung, mendekap semua kepunyaan Xi. Seperti anak kecil yang telah kehilangan barang tercintanya, aku terus mengeluarkan emosiku sampai terkuras habis.
Om Silas mencoba menenangkanku. Dia memberiku makanan. Sebuah dendeng kadal seperti yang biasa kumakan selama ini. Tanpa sadar perutku berbunyi seperti mengiakan keadaanku yang belum makan apa pun lagi. Kuterima pemberiannya karena aku sendiri sudah lapar.
Aku makan dengan lahap. Sepertinya karena energiku sudah habis sebab kebanyakan menangis. Setelah perutku terisi dan emosiku kembali stabil, barulah aku bisa merasa tenang. Aku baru sadar kalau aku ternyata tipe orang yang lebih gampang emosi kalau sedang lapar.
Suster Tilia kembali memeriksa keadaanku setelah mengobati yang lain. Ia bertanya bagaimana keadaanku sambil membalut tangaku yang terluka karena serpihan material bangunan.
"Kepalaku agak pusing," jawabku. Meskipun sudah beristirahat dan makan untuk mengembalikan tenaga, sensasi itu masih sedikit kurasakan. "Apa yang terjadi sebelumnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith in the Desert (END)
Science FictionMaukah kau bertarung hanya untuk segelas air atau segenggam makanan yang layak dikonsumsi? Di Direland, semua itu sudah biasa. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Tempat di mana mereka yang terbuang dan tersisihkan dari oasis penuh kehidupan. R...