Chapter 04

33 6 0
                                    

🐣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐣

__

Dita turun dari motor Raka yang mengantarnya pulang, mereka mengahabiskan waktu hampir tiga jam di butik Liana untuk fitting baju pengantin. Meskipun tidak setuju tapi Dita tidak bisa mereog, saat ditarik sana-sini oleh Liana karena disana tidak ada Mamanya. Kirana tidak bisa datang karena harus menemani Papanya makan siang bersama rekan bisnis.

"Gue akan berusaha buat ngomong ke Papa sama Mama. Lo juga harus ngelakuin hal yang sama, kita harus kompak pokonya!" ucap Dita begitu turun dari motor Raka.

"Bukannya itu bakalan percuma ya? Kita udah fitting baju loh, ada kemungkinan juga tanggal pernikahannya udah di tentuin." kata Raka mengedik santai.

"Lo_

"Sayang, kok malah pada ngobrol diluar. Ajak Raka masuk dong," suara Kirana terdenger dari arah pintu utama.

"Ishh, dasar cowok nyebelin!" gerutu Dita lalu menghampiri Kirana diikuti Raka dibelakangnya.

"Ma," Raka menyalami tangan Kirana yang tersenyum hangat ke arahnya.

"Masuk dulu yuk, Mama baru aja selesai masak, kalian pasti belum pada makan kan?" ajak Kirana.

"Gak usah Ma, Raka pamit sekarang. Harus jemput Nda di butik." kata cowok itu.

"Hati-hati pulangnya ya."

"Iya, Ma."

Dita masuk kedalam tanpa menunggu Raka pulang lebih dulu, dia harus bicara pada Mamanya. Menanyakan apa maksud dari fitting baju yang Dita lakukan tadi.

"Mau langsung makan apa mandi dulu?" tanya Kirana menghampiri Dita yang duduk diruang tamu.

"Maksudnya apa? Siapa yang bilang mau nikah muda? Dita cuma setuju buat tunangan bukan nikah muda, Ma." kata Dita saat Kirana duduk disampingnya. "Papa sama Mama juga gak bilang bakalan minta Dita nikah sama Raka semalam, kenapa sih kalian sukannya mutusin apa-apa secara mendadak, Mama gak mikirin perasaan Dita ya? Mama gak mau tau perasaan Dita gimana saat tiba-tiba diminta tunangan, terus sekarang malah diminta buat nikah." tanya Dita dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"Sayang_"

"Dita masih mau sekolah, Ma. Dita masih mau bebas main sama temen-temen, Dita mau nikmatin masa muda Dita dulu. Kalo Dita nikah, hidup Dita pasti bakalan penuh dengan kekangan, nanti suami Dita pasti bakalan ngelarang kalo Dita mau pergi, ini gak boleh itu gak boleh. Nanti Dita pasti bakalan kayak burung didalam sangkar, Ma!" tutur Dita terisak.

Kirana melihat ke arah tangga, dimana ada Arya yang kini tengah berdiri disana. "Pa, coba kamu aja yang jelasin." pinta Kirana tidak tega melihat Dita yang mulai menangis dipangkuannya.

"Sayang, Anin." panggil Arya mengusap punggung Dita lembut. "Papa tau ini terlalu mendadak buat kamu, terlalu sulit buat kamu menerima ini semua, Papa ngerti sayang. Tapi Papa gak bisa membatalkan perjodohan ini, karena keputusannya ada ditangan Om Geon."

Dita mengangkat wajahnya, menatap Arya tidak mengerti. Apa maksud dari semua keputusan ada ditangan Om Geon?

"Maksud Papa?"

"Dulu Opa kamu dan Kakeknya Raka itu sahabat yang sudah seperti saudara. Hubungan mereka awet sampai Opa menghembuskan nafas terakhirnya, kamu pernah ketemu dengan Kakek Damar?" Dita mengangguk samar. "Kakek Damar itu Kakeknya Raka, Anin. Dan Opa pernah bilang sama Papa sebelum Opa sakit, bahwa dia pernah membuat janji bersama Kakek Damar untuk menjodohkan cucu-cucu mereka kelak dan sekarang adalah waktunya."

"Papa tidak bisa menolak keinginan Opa untuk yang terakhir kalinya, begitupun Om Geon. Kami hanya melaksanakan apa yang menjadi wasiat terakhir Kakek kalian, meskipun kamu memohon sebanyak apapun Papa tidak bisa mengabulkannya, maaf."

Dita merasakan tubuhnya membeku, nafasnya tertahan untuk beberapa sekon. Jadi dalang dibalik perjodohan ini adalah Opanya?

"Meskipun kamu menikah, kamu akan tetap sekolah. Karena pernikahan ini akan dirahasiakan sampai kalian cukup umur dan satu lagi, Papa yakin Raka bukan laki-laki yang akan membuat istrinya menderita. Jika Raka membuat kamu terluka, Papa pastikan, Papa akan menjadi orang pertama yang menyeretnya keluar dari kehidupan kamu Anin."

***

Devan melangkah cepat menuju kelas dengan sebuah paper bag ditangannya, sudut bibir cowok itu tertarik ke atas menampilkan senyuman tipis. Sambil membayangkan akan se-happy apa kira-kira  Dita saat menerima mochi kesukaannya. Niatnya Devan akan mengantar mochi itu ke rumah Dita, tapi karena rumahnya dengan rumah gadis itu sekarang lumayan jauh membuat cowok itu urung, dan memutuskannya membawa ke sekolah.

"Hai, pagi." sapa Devan melihat Dita yang sudah duduk anteng di kursinya.

"Eh, Van. Pagi!!"

"Nih, sesuai janjinya ya Tuan Putri. Jadi gak usah marah," ucap Devan menyerahkan paper bag yang dibawanya.

"Akhh makasihh!!" Dita dengan semangat mengeluarkan isinya. "Variannya sesuai sama yang biasa gue beli kan?"

"Hm, strawberry sama coklat kan?"

"Ck, betul sekali!" decak Dita bertepuk tangan riang.

"Hari ini pulang di jemput lagi?" tanya Devan ikut mencomot mochi didepannya.

"Kayaknya iya sih, Mama sama Papa minta gue buat lebih rajin lagi belajar. Kita kan udah mau semester akhir, jadi gue dilarang keluyuran selain hari libur." jelas Dita berbohong, gadis itu sudah memikirkan ini dari semalam.

Dita yakin setelah dirinya menikah dengan Raka, Dita akan sulit untuk pulang bersama Devan. Meskipun sesekali bisa, mungkin. Tapi Dita harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan.

"Emang kalo pulang sama gue suka keluyurang gitu?"

"Enggak, tapi gue bakal maksa lo buat bawa gue main sebelum pulang!"

Devan berusaha tersenyum meski dadanya terasa terhimpit oleh sesuatu yang menimbulkan sesak. "Bagus deh, kalo gitu bensin motor gue bakalan aman buat kedepannya."

"Jahat banget sih lo!!"

"Kata Mama kapan main ke rumah?" tanya Devan sambil mengusap ujung bibir Dita yang terkena coklat menggunakan ibu jarinya.

"Kapan ya, menurut lo kapan kira-kira gue main ke rumah lo?"

"Hari minggu nanti gimana?"

"Kayaknya gak bisa deh, Van. Hari minggu nanti gue sama Mama sama Papa mau ke Bandung."

"Ngapain ke Bandung, ada acara?"

"Iya, Tante Tia ngadain acara tasyakuran gitu. Terus minta gue sekeluarga buat dateng, mungkin sekitar dua harian lah kita disana."

"Lama banget, emang acaranya gak beres sehari?"

"Beres sih Van, tapi kata Mama mumpung Papa ada waktu, jadi kita sekalian liburan aja dulu."

Devan mengangguk mengerti, sepertinya selama dua hari nanti Devan akan sedikit merasa kesepian di sekolah. "Jangan lupa buat ngabarin selama disana."

"Lo takut kangen ya sama gue? Hayo ngakuu!!" Dita menoel-noel pipi Devan menggoda cowok itu. "Gue tebak, sebenarnya lo gak bisa jauh-jauh dari gue kan?" Dita tertawa ngakak melihat wajah Devan memerah, apa mungkin sahabatnya itu tengah salting sekarang.

"Makanya cari pacar Van, jadi pas gue gak ada lo gak akan kesepian!" titah gadis itu menepuk bahu Devan. "Gue ke toilet bentar ya," pamitnya beranjak dari duduknya meninggalkan kelas.

Devan terkekeh hambar melihat kepergian Dita. "Gimana gue bisa nyari pacar Dit, kalo cewek yang gue suka selama ini itu cuma elo."

Terikat Janji (Dita&Raka) Dalam masa revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang