Setelah dua minggu pasca gadis bernama Gracia memperkenalkan dirinya sebagai kekasih sang suami, selama dua minggu itu pula Haechan menyendiri di kamarnya tanpa ada niatan untuk keluar atau sekedar berpapasan dengan sosok Mark.
Lagi pula selama dua minggu itu, Mark tak pernah pulang. Mark benar-benar menghilang tanpa kabar, dan Haechan pun merasa tak peduli akan hal itu. Mau Mark pergi bersama gadis itu, berkencan setiap malam, atau pergi jauh sekalipun perasaan tak peduli benar-benar hinggap di hati dan pikiran Haechan. Pemuda manis itu ingin menyendiri, menutup diri dari orang lain.
Haechan melaksanakan perintah Mark, bahwa ia tak boleh melewati batas dengan bertanya atau bahkan penasaran dengan privasi dan kepribadian sang suami. Rumah besar nan luas itu benar-benar sepi, gelap, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.
Kali ini biarkan Haechan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Haechan tidak menyerah, tak akan pernah menyerah dalam segala hal. Namun, rasa lelahnya saat ini benar-benar menyelimuti seluruh bagian dari dirinya termasuk pula dengan hatinya.
Langkahnya yang gontai membawanya pada sebuah ruangan yang beberapa hari ini tak pernah tersentuh. Haechan mengambil semua alat dan bahan untuk memasak, termasuk bawang dan antek-anteknya. Dalam beberapa hari ini Haechan tak makan tepat waktu, bahkan ia makan hanya satu kali dalam sehari.
"Terkadang, berharap pada suatu hal yang nggak pasti akan sangat menyiksa dan menyakitkan. Namun entah mengapa, justru aku semakin berharap Mas Mark akan mencintaiku dengan tulus. Aku berharap bahwa pernikahan ini terjalin tanpa ada sakit hati pada salah satu di antara keduanya."
Ujaran itu disertai dengan denyutan sesak di dadanya. Walaupun dua minggu sudah berlalu, tapi hati kecilnya masih teramat sakit. Rasa tak peduli itu memang ada. Namun, rasa sakit pada hatinya jauh lebih dominan. Haechan mencintai Mark lebih dari dirinya sendiri.
"Gadis itu memang cantik, aku akui. Dari sifatnya terlihat jika gadis itu memiliki sifat sopan juga baik hati. Cara menghargai orang lain, cara menerima sesuatu juga gadis itu melakukannya dengan baik sekali. Mas Mark pasti bangga punya kekasih yang cantik dan baik kayak gadis itu. Sementara aku?" Haechan terkekeh miris. "Terlalu buruk untuk menjadi pasangan hidup Mas Mark. Sempurna disandingi dengan terlalu buruk, sama sekali nggak ada hasil yang pantas. Hasilnya tetap aja terlalu buruk."
Haechan memotong bawang tanpa memperhatikannya, tak sadar bahwa sebuah pisau tajam sebentar lagi mengenai salah satu jemarinya. "Sshh—"
Buru-buru Haechan membasuh jemarinya yang baru saja terkena pisau tajam. Meringis setelahnya. Terkena pisau saja sudah sesakit ini, bagaimana jika rasa sakit yang diberikan Mark untuknya selama awal pernikahan akan terus berjalan? Tentu saja Haechan akan semakin merasakan sakit, sakit dan sakit.
Drrtt... Drrtt...
Haechan berlari kecil kala mendengar ponselnya berdering. Melihat nama seseorang di sana berhasil membuatnya tersenyum, meskipun hanya sebuah senyuman tipis.
"Ada apa, Bu?"
"Bubu ingin ke rumahmu, Sayang. Bubu ingin ketemu dengan menantu manis Bubu. Boleh, 'kan?"
"Tentu aja boleh, Bu. Haechan nggak mungkin nolak Bubu untuk datang ke sini."
Taeyong tersenyum di seberang sana. "Menantu manis Bubu udah sarapan, 'kan? Pasti sarapannya romantis, karena bisa mandang suami lama-lama. Menurut Haechan, Mark itu ganteng atau kurang ganteng?"
"Mas Mark ganteng, pakai banget, Bu. Terima kasih udah membawa Mas Mark ke dunia ini, Bu, Haechan sangat bersyukur. Mungkin kalau nggak ada Mas Mark, Haechan juga nggak akan ada." Senyuman tipis itu kini menjadi senyuman lebar. "Bubu udah di perjalanan mau ke sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Mark [MarkHyuck]
FanfictionA MarkHyuck Fanfiction ❝Tsundere-tsundere gitu, Mas Mark perhatian banget. Memang awalnya ngeselin banget, tapi lama-kelamaan jadi bulol juga.❞ ON GOING | BOYS LOVE | SHORT STORY | HURT Kisah tentang Mark dan Haechan yang dijodohin oleh orang tua me...