•••
Sudah sekitar 20 menit Alir membenarkan jendela yang sempat pecah akibat Agam kemarin. Melakoni dengan lem selotip berwarna hitam, ia menghiraukan bagaimana bentuk jendela itu kini. Yang terutama ialah tidak ada celah untuk para nyamuk masuk ketika malam mendatang. Sebab bu Ima juga tidak memperdulikan bentuk dan warnanya.
“Bang, makasih ya, udah benerin jendelanya. Maafin Agam, selalu aja bikin Abang susah.” seraya menghembuskan nafasnya kasar. Agam berucap dengan intonasi beratnya.
Seketika Alir menoleh, “Ngga papa Agam. Abang sayang Agam. Apapun itu pasti, Abang akan lakukan untuk Agam.” menarik sedikit penghujung bibirnya, dan membentuk bulan sabit di pelupuk netranya.
“Agam juga sayang sama Abang.”
Lantas ia berbinar, namun ia pergi begitu saja meninggalkan Alir sendiri usai di panggil oleh anak panti untuk bermain petak umpat bersama.Agam berlari cepat, hingga keberadaannya membuat Alir terpejam saat ia tiba-tiba menghilang dari dekatnya.
“Hati-hati. Nanti jatuh,” teriak Abang.
Tak merespon, Agam semakin mempercepat larinya menuju pohon yang menjulang tinggi di depan rumah panti.
Disana sudah ada Tari, Paki, Jalil, dan Eko. Mereka menunggu kehadiran Agam, untuk bermain petak umpat bersama.
“Mau ikutan main ngga?”
Tanya Eko, seusai Agam sampai di bawah pohon itu.Agam mengangguk.
“Yaudah kita gambreng ya.”
“Hompimpa alayhum gambreng!”
Sontak seluruh pandangan tertuju kepada Paki yang menampilkan punggung tangannya. Sedangkan Agam, Tari dan Eko memberikan telapak tangannya yang berwarna putih.
“HAHA, Paki jaga.” seru semuanya. Tanpa penolakan Paki lantas segera menaruh keningnya di pohon dengan tumpuan tangan yang juga menghalangi seluruh pandangannya agar tidak melihat situasi sekitar.
Paki mulai menghitung dari 1, perlahan menuju angka 20.
Agam berlari terbirit menuju tempat ngumpatnya yang biasa ia bersembunyi disana agar Paki tidak menemuinya.
Persis di belakang rumah panti terdapat tong besar yang lusuh. Dan disana lah biasa Agam mengumpat. Tiada siapapun yang berani kesana selain dirinya, sebab melihat lokasi yang sangat menyeramkan dan di penuhi oleh pohon-pohon besar yang membuat anak panti takut untuk berada di daerah belakang rumah itu.
Di lain tempat, Eko dan Tari bersamaan. Mereka mengumpat didekat bang Alir berada, sembari mengganggu kerja Alir untuk membenarkan jendela yang pecah kemarin.
“Bang, kita numpang ngumpet dulu ya. Kalo ada Paki jangan bilang kita ada disini.” bisik Tari di kuping Bang Alir.
Hanya tersenyum simpul, Alir melanjutkan kesibukannya. Walau keberadaan dua anak itu sangat menyusahkan dirinya.
“Nanti, kalo ada Paki. Aku pegangin tangan dia, terus kamu lari ke pohon natepan, oke! Biar dia kalah lagi,” seru Eko seraya berbisik kecil di telinga Tari yang tengah memperhatikan gerak paki di luar.
Tari mengangguk. Lantas ia menurunkan kembali kepalanya sebab Paki telah selesai menghitung.
“Dua puluh!” teriak Paki sangat kuat. Lantas netranya merotasi menyorot rumah panti sekaligus mencari keberadaan Agam, Tari dan Eko.
Sembari berjalan kecil, Paki menelusuk ke segala tempat di sekeliling rumah panti. Masih tak menemukan keberadaan temannya. Ia terus mencari, sampai di mana ia terpikir sejenak untuk mengingat tempat yang biasa mereka semua mengumpat.
“Pasti di dalem rumah nih kalo pada ngga ada di luar.” gumam anak itu, jarinya menunjuk ke depan.
Berlari kecil menuju kedalam rumah.
“Shuuut, diem. Paki lagi lari kesini,” kata Tari.
Eko dan Tari semakin mengumpat, di balik badan Bang Alir. Padahal disana sangat mudah ditemui oleh paki. Namun mereka tetap enggan untuk mengumpat di tempat yang lebih sulit untuk ditemukan.
Saat Paki mulai mendekat, Abang sedikit terbatuk. Guna untuk meledek ketiganya.
“Uhuk.. uhuk..”
Paki menoleh saat mendengar suara Alir yang terdengar sengaja. Saat atensinya mengarah ke Alir, Paki sedikit terdiam sebentar, terlihat ada dua pasang kaki di balik gorden jendela. Alun-alun Paki mendekat kearah keduanya.
“Whaa, KETAUAN!!” seru Paki. Sedangkan Tari dan Eko tetap melaksanakan rencana yang sudah mereka buat sebelumnya.
Eko menahan lengan Paki agar ia tidak dapat berlari menuju pohon, sedangkan Tari dengan sekilat mungkin berlari menuju pohon natepan, agar keduanya tidak kena jaga.
“Ihh, curang. Ah curang!! Bang Alir, tolong Paki bang!!” teriak Paki.
Namun Alir hanya menggidek dan tersenyum simpul melihat tingkah mereka semua.
Dibelakang rumah, Agam hanya sendiri menunggu kedatangan teman-temannya. Saat situasinya sepi, Agam berlari juga menuju pohon untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang Tari lakukan barusan.
“Natep!!”
Mereka tertawa riang saat mendapati Paki yang harus berjaga, sebab ia kalah lagi dalam permainan curang ini. Terlihat disana Paki menautkan alisnya kesal, dengan sorot mata yang tajam. Paki terdiam seribu bahasa melihat semua temannya menertawai dirinya yang tengah dipenuhi oleh amarah.
“Paki jaga lagi, jangan curang.” ledek Tari masih dengan tawaan kecil di akhir kalimatnya.
Paki mendelik mendengar perkataan Tari barusan. Apa? Jangan curang? Padahal mereka yang curang, bukan Paki!!
“Ngga. Udah ah, aku males. Kalian curang!” geram Paki.
Eko yang melihat tingkah Paki kala itu, hanya tertawa jahat. Lucu sekali mengganggu Paki seperti ini, rasanya seru tau!!
“HAHAHA, ayo dong jaga lagi. Masa marah, sih, gitu doang?” timpal Eko.
Sedangkan raut wajah Paki masih terlihat geram akan mereka. Dari dalam rumah, Bang Alir berjalan mendekat menuju keempatnya yang berada di bawah pohon rindang itu.
Alun-alun ia melangkahkan kakinya kesana, Bang Alir merasa mereka sedang tidak baik. Sebab Alir tau, Paki memang anak yang mudah geram, tapi ia juga mudah untuk memaafkan. Tidak salah juga bila Alir dapat melerai mereka agar tidak lagi ada kegaduhan antara anak panti.
Kalian tau bukan, jika Bu Ima sampai mendengar anak panti musuhan, apa yang akan Bu Ima lakukan pada mereka semua? ya. Mereka pasti akan mendapat hukuman yang tak lain ialah sebatan dari rotan tercintanya.
Alir tidak ingin bila hal itu lagi-lagi terjadi pada mereka. Sudah cukup tubuh itu menjadi saksi bisu dari luka yang Bu Ima berikan, sudah pula cukup untuk Alir menahan kesedihan dan kesakitan, akibat hal kecil yang dapat menjadi besar di mata Bu Ima.
“Ada apa, hm??”
Tak ada sahutan dari ke empatnya. Mereka terlihat diam usai Alir berada disana.
“Kenapa? marahan? Jangan dong. Nanti kalo Bu Ima tau kalian lagi marahan gimana, emang kalian mau di pukulin lagi? Hmm,” seru Alir. Namun mereka tetap diam membisu.
“Sekarang baikan, abis itu masuk, mandi. Udah sore,”
Tanpa menunggu lama Paki, Agam, Eko dan Tari langsung berjabat tangan. Walau Paki masih terlihat kesal, raut wajahnya tidak bisa berbohong kala itu.
Sebenarnya sudah biasa mereka berantem kecil seperti ini, dan sudah biasa juga bagi Alir untuk melerai mereka. Karena Alir yang paling tua di panti itu, ia harus dapat menjadi contoh yang baik bagi adeknya semua. Dan Alir juga harus menjadi seorang Ayah untuk mereka, walau umur Alir saat ini masih belum cukup untuk menjadi sosok Ayah bagi mereka semua. Namun, Alir akan terus mencoba menjadi versi yang terbaik untuk mereka.
Abang sayang kalian, maafin Abang balum bisa bahagiain kalian semua. Abang minta maaf..
To be Continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Anxiety [On going]
Teen Fiction-Anxiety [Ketika kecemasan menyergap]- 2 Raga paling menyedihkan, menjadi saksi dari gilanya semesta menghancurkan kehidupan pelangi-ku. Kisah Alir yang menjadi salah dari satu korban jahatnya semesta memberikan sebuah perjalanan singkat di hidupn...