•••
Burung-burung berkicau, saling menyahut satu sama lain, sehingga bisingnya menjadi sebuah ketenangan bagi sang pendengar. jangkrik yang juga ikut serta dalam kebisingan, semakin menambah kedamaian tersendiri ini.
Melihat jam, kini sudah pukul 08.00 pagi. Agam masih terlelap dalam tidurnya, terlihat sangat nyenyak sekali. Kasur di rumah ini sangat empuk, halus dan bersih. Beda dengan yang di panti, kecil, keras dan sudah lapuk. Wajah Agam seakan berseri tertidur di atas kasur empuk ini, Alir sangat bahagia melihat Agam yang mulai ingin mengukir senyuman di wajahnya setelah pergi dari rumah panti dan meninggalkan teman-teman dekatnya.
Sebenarnya Alir juga sangat sedih meninggalkan semua anak panti, di pikirannya selalu mengarah kesana. Takut terjadi yang tidak di inginkan, karena Alir tahu, bahwa Bu Ima akan semakin menggila bila dirinya pergi. Tidak ada lagi yang membela anak panti, tidak ada lagi sosok yang menjadi jalan tengah disana. Alir pun merasa gisruh, benar-benar merasa sangat bersalah sekali karena telah pergi meninggalkan semuanya.
Saat lamunan itu semakin mangulai, alun-alun Agam membuka atensinya perlahan. Dan menatap iris Abang yang persis berada di sampingnya tengah melamun.
"Bang?" sembari menyenggol tangan Alir dengan sikutnya.
Alir sempat terpejam beberapa detik saat mendapati Agam yang sudah menatap manik matanya. "Huh, Agam? Bikin kaget Abang aja."
Kini ia merubah posisinya, terduduk disamping sang Abang. Juga merotasi sekeliling, masih belum terbiasa dengan kamar yang ia tempat malam tadi. Biasanya di panti banyak sekali nyamuk yang mengganggu tidurnya, dan di panti biasanya sangat panas tidak ada kipas angin untuk menambah kesejukan. Beda dengan disini, pakai AC dan tidak ada nyamuk satupun itu. Agam sangat terlelap sekali tertidur disini.
"Abang ngga papa?"
Alunan mata itu semakin sendu saat mendapati sang Adik bertanya dengan lembut.
Alir menoleh, "Abang ngga papa. Memangnya kenapa? Kok Agam nanya gitu?" seru Alir, atensinya menatap iris coklat milik sang Adik.
"Lagian, Agam liat Abang ngelamun terus. Takutnya Abang lagi sakit, tapi Abang ngga sakit kan? Kalo Abang sakit bilang sama Agam, biar Agam beliin obat untuk Abang." kini seluruh Atensinya menatap balik atensi itu.
"Bang, Agam ngga mau terjadi sesuatu sama Abang. Jangan pergi, Agam takut bang. Cukup Ibu dan Ayah aja yang tinggalin Agam. Abang jangan," perlahan, air mata itu menetes tanpa izin sang pemilik. Semakin terbayang wajah Ibu dan Ayah di pikiran Agam saat ini.
Agam kangen banget sama Ibu, sama Ayah juga. Kapan Agam bisa bertemu mereka lagi bang?
Alun-Alun, jemari ringkih itu beranjak menuju puncak dari rambut legam milik Agam. Sesekali manik matanya mengerjap untuk beberapa detik.
“Abang sehat kok, Agam ngga usah khawatir tentang Abang. Abang masih harus berjuang untuk masa depan Agam, dan pasti. Abang akan selalu ada di samping Agam, sampai nanti titik darah penghabisan Abang.”
Menelungkup tubuh kurus itu, dan memeluknya penuh ketulusan. “Janji?” timpal Agam menyulurkan kelingking mungilnya. “Iya, janji.” sambut Agam, semakin mengeratkan pelukannya. Sampai dimana mereka di kejutkan dengan ketukan pintu yang membuat jantung keduanya sedikit menyiut.
“Alir.. Agam.. sudah bangun nak?”
Suara berat itu terdengar dari balik pintu yang masih tertutup dari dalam.Iya, suara itu milik Achmad. Hari ini adalah pekan, dan pasti Achmad akan menghabiskan waktu luangnya bersama dengan keluarga kecil ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anxiety [On going]
Ficção Adolescente-Anxiety [Ketika kecemasan menyergap]- 2 Raga paling menyedihkan, menjadi saksi dari gilanya semesta menghancurkan kehidupan pelangi-ku. Kisah Alir yang menjadi salah dari satu korban jahatnya semesta memberikan sebuah perjalanan singkat di hidupn...