Surendra segera melaporkan kepada atasannya, bahwa ia menemukan seorang anak laki-laki di bawa tumpukan pakaian kotor setelah kejadian malam hari itu.
Terbesit kesakitan di hatinya saat melihat Alir yang masih dalam ketakutan menyergap. Anak itu terus menangis saat membayangkan lagi hal yang terjadi semalam, tentang ibu yang di siksa tepat di hadapan matanya. Tentang semua yang usai meninggalkan dirinya, dan tentang keluarga yang kini telah padam akan kebahagian.
Pikirannya masih membeludak, tak sanggup lagi memikirkan semuanya. Alir kecil masih menelungkup tubuhnya di dalam sebuah ruangan yang telah di siapkan. Ada beberapa polisi dengan tubuh yang sangat besar juga di ruangan itu.
“Lapor pak, saya mendapati anak laki-laki di salah satu rumah korban pembantaian malam tadi.” Surendra dalam sambungan telepon.
Di sebalik telepon itu pun mengucap syukur. Ternyata masih ada yang dapat terselamatkan usai kejadian yang menimpa banyaknya para korban.
“Lalu, bagaimana keadaannya?” tanya Santoso, atasan Surendra.
Surendra menelusuk, lagi, ia menatap Alir di pojokan yang sembari memeluk lututnya dengan kuat. Tubuhnya masih bergetar hebat sedari-tadi.
“Ketakutan pak, sepertinya. Anak ini menangis tiada henti, sambil memanggil ibunya.”
Alir sangat takut, anak itu terus meracau dalam diam. Pandangannya menyorot tajam kedepan tanpa ada titik fokus yang ia tuju.
Santoso menghembuskan nafasnya kasarnya di balik sambungan itu.
“Tenangkan anak itu, beri dia makan. Kasih banyak mainan. Usahakan buat dia tenang untuk saat ini. Segera saya ke lokasi.”Santoso segera mematikan sambungan itu dengan sepihak, bersiap untuk menuju ke lokasi disana.
Sedangkan pria dengan kumis tipis itu mendekatkan lagi jaraknya dengan Alir. Menarik nafasnya gusar, lantas ia kembali memeluk hangat Alir. Sempat Alir memberontak takut, namun Surendra dapat mengatasinya.
Sekali lagi ia memeluk Alir dengan kuat, mengusap bahu anak itu dengan halus. Seraya ia menepuknya beberapa kali.
“Namanya siapa?” tanya Surendra, masih dalam pelukan hangat, niat untuk lebih dengan anak itu.
Namun, Alir tak merespon, ia terdiam tegun. Manik dari mata itu terus saja mengeluarkan air yang tiada habisnya. Sampai dimana perut Alir berbunyi, biasanya jam segini ibu sedang menyuapinya bersama dengan Agam sembari menonton film Kartun kesukaan mereka.
Tapi kini, ibu sudah pergi. Ibu sudah tidak lagi bersamanya, leher ibu sudah di potong oleh para pemberontak malam tadi. Alir sendiri bu, Alir kangen ibu. Alir mau sama ibu aja boleh, ya?
Grhhg..
“Duh, bunyi. Sebentar, bapak belikan makan dulu, yah? Adek jangan kemana-kemana. Diam disini, nanti bapa bawain makan enak.”
Pria berseragam itu beralih, pergi keluar lantas membelikan makanan untuk Alir. Walau saat seperti ini, Alir harus tetap di suguhkan dengan makan. Agar tubuhnya terus stabil, ini adalah cobaan yang cukup sulit untuk anak berumur enam tahun. Terlebih, Alir melihat semua dengan mata kepalanya sendiri. Alir menelungkup.
°°°
Salah satu dari polisi itu, kini menemukan sebuah surat kecil yang terselip di dalam kantung baju.
Setelah itu, ia membaca pesan yang tertuliskan. Paragraf terakhir mengatakan.
“Tolong selamatkan anak saya, ia berada di dalam koper merah, tepatnya di atas lemari.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Anxiety [On going]
Fiksi Remaja-Anxiety [Ketika kecemasan menyergap]- 2 Raga paling menyedihkan, menjadi saksi dari gilanya semesta menghancurkan kehidupan pelangi-ku. Kisah Alir yang menjadi salah dari satu korban jahatnya semesta memberikan sebuah perjalanan singkat di hidupn...