•••
Hari-hari berlalu, senja menyergap kegundahan dunia, tubuh Alir kini tidak terlalu kurus, namun ia terlihat ringkih setiap kala kecapean. Entah mengapa itu, tubuh itu, sorot mata yang setiap harinya sayu. Dan selalu membuat dirinya takut akan apa yang ia rasakan akhir-akhir ini.
3 tahun sudah berjalan, waktu terasa amat cepat. Kini dirinya menempati kelas 12, di SMA ARJUNA. Masih satu lingkup dengan Rachel yang juga kini menempuh kelas 12 bersama Alir. Sedangkan sang Adik, kini berada di kelas 10.
Tinggal berdua bersama sang Adik di rumah yang di berikan Achmad dengan cuma-cuman memang bukanlah hal yang mudah.
Alir harus menempuh hari-hari dengan terus bekerja kesana kemari demi mendapatkan uang untuk menempuh kehidupan yang sulit ini bersama dengan sang Adik, Agam.
Ayah Achmad selalu memberikan uang jajan, melalui Rachel di sekolah. Namun, seringkali uang itu Alir tolak dengan mentah-mentah. Karena ia tak mau terus-terusan merepotkan keluarga Rachel. Ayah dan bunda memang baik, bahkan hanya sekedar baik saja tidak cukup untuk mendeskripsikan mereka.
Setiap paginya, bunda selalu membawakan bekal untuk mereka bertiga. Setiap di sekolah bertemu dengan Rachel, pasti. Tidak lain, Rachel akan memberikan bekal makanan dan juga uang jajan untuk Alir dan Agam.
Sebenarnya Alir sudah bicara enam mata dengan Ayah dan bunda, agar berhenti untuk memanjakan mereka. Alir tidak sanggup untuk membalas budi terhadap Achmad dan Rahayu. Namun tetap saja, Ayah dan bunda selalu mengirimi mereka segala hal.
Alir tengah sibuk untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Agam sebelum berangkat sekolah.
Memasak telur ceplok dan nasi sisa tadi malam yang di goreng dengan kecap manis ialah makanan yang ia siapkan setiap harinya.
“Agam, mandinya cepat. Takut nanti telat, Abang lagi bikin sarapan dulu.” teriak Alir yang tidak ada sahutan sedikitpun dari sang adik.
Setelah sekian menit menempuh kegiatan di dapur, akhirnya sarapan sudah siap. Dan Agam tengah sibuk dengan seragamnya.
Hari ini upacara. Jadi mereka harus berangkat lebih pagi, takut bila nanti terlambat dan gerbang sekolah itu di tutup oleh mang Juned, penjaga sekolah.
Berjalan mendekat kearah kamar Agam. “Sarapannya udah siap, makan dulu.” titah Alir yang berdiri menjulang di ambang pintu.
Sedangkan yang diajak bicara hanya melirik saja, tanpa ia menjawab sepatah katapun dari sang abang.
“Agam?”
Sekali lagi, pemuda itu hanya terdiam. Seperti mulutnya sudah terjait dan tertutup rapat. Memang seperti ini sifat Agam sekarang, tempramental.
“Gue mau langsung berangkat.”
Akhirnya kalimat mulai terdengar dari mulut Agam, walau sangat ketus.Alir menghembuskan nafasnya kasar. Sudah capek-capek bangun pagi, bikin sarapan untuk Agam. Tapi, respon Agam seperti ini setiap hari.
Saat Agam mulai melangkah dengan tas ransel di pundaknya. Alir langsung mencegahnya, menggenggam tangan Agam teramat kuat.
“Gam.. Abang udah masakin untuk kamu. Abang udah capek-capek tiap hari masak, tapi kamu kok kayak gini sama abang?” celetuk pemuda itu, genggamannya melemah dari tangan Agam.
Dengan cepat, Agam menangkis genggaman yang mulai melemah dari tangannya. “Lo. Gausah, pegang-pegang gue!!” celetuk Agam, intonasinya memuncak.
“Gue ngga pernah minta untuk lo masakin gue. Jadi lo, ngga usah sok sibuk, ngga usah sok perhatian. Asal lo tau yaa, gue jijik bang.” lantas ia melangkahkan kakinya pergi dari rumah itu, tergesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anxiety [On going]
Fiksi Remaja-Anxiety [Ketika kecemasan menyergap]- 2 Raga paling menyedihkan, menjadi saksi dari gilanya semesta menghancurkan kehidupan pelangi-ku. Kisah Alir yang menjadi salah dari satu korban jahatnya semesta memberikan sebuah perjalanan singkat di hidupn...