Satu hari berlalu, Alir tengah menatap wajah Agam di samping brankar rumah sakit. Wajah Alir pun terlihat pasi dengan pakaian yang masih belum ia ganti dari hari kejadian.
Anak itu mencoba meraih jemari Agam yang kini tengah berbaring sembari menutup matanya, beristirahat. Sebab dari semalam Agam tak kunjung menghentikan tangisnya seraya memanggil nama ‘Ibu’
Mata sembabnya terlihat jelas di wajah Agam, juga sebaliknya. Alir tidak tahu akan melakukan apa selanjutnya, sebab semua kini telah berpaling darinya. Walau ada beberapa perawat disana, tetap saja, Agam hanya ingin berada didekat sang abang.
Alir selalu menggenggam lekat jemari Agam, juga sesekali anak itu cium. Meyakinkan adeknya agar tetap tenang, walau rasa sakit juga pedih masih menyergap Alir dengan kuat. Ia mencoba untuk tetap teguh.
Walau umurnya masih terbilang kecil, namun Alir menjaga dirinya agar tetap menjadi kuat demi sang adek. Ia harus terlihat sigap di depan Agam yang selalu menangis, selalu memanggil ‘Ibu’ di setiap katanya.
“Ibu..” panggil Agam, lagi-lagi kata itu yang ia ucapkan setiap saat.
Alir menatapnya lekat dengan kesedihan.
“Abang, ibu nana? Num cucu.” kata Agam kecil, merotasi sekelilingnya.
Namun nihil, ibu tidak ada disana, bahkan hanya ada dua perawat yang senantiasa menunggu mereka berdua di dalam ruang rawat itu.
Alir alun-alun memejamkan matanya lekat, menjatuhkan air mata yang lagi-lagi membendung di pelupuk atensinya. Seraya menaruh telapak nya di jemari Agam, mengusapnya halus dan berkata.
“ibu, udah pelgi, dek.” seru Alir kecil, dengan berat hati ia berucap.
Walau Agam masih belum mengerti apa maksud dari kata ‘Pergi’ itu, tetap saja Alir mencoba untuk memberi tahu akan hal menyakitkan ini pada sang Adek.
Berat rasanya untuk melihat kedua anak itu, perawat yang menemani di ruangan itu kini mendekat kearah dimana Agam terbaring di brankar.
“Adek, mau minum susu, iyah?” tanya mba Alia, dengan nada yang sangat lembut, agar Agam tidak takut padanya.
Agam alun-alun mengangguk untuk mengiyakan mba Alia yang kini berada di hadapannya.
“Mba bikin dulu, yah? Tunggu disini sama abang, ngga boleh nangis, oke?” timpalnya.
Agam lagi-lagi hanya mengangguk dengan menatap atensi mba Alia.
Perawat itu kini beranjak dari ruangan, menuju keluar untuk membuatkan susu. Alir menatap punggung mba Alia semakin menjauh usai perawat itu kembali menutup pintu dan menghalangi pandangannya.
“Adek, masih cakit?” tanya Abang, masih menggenggam jemari Agam dengan kuat.
Agam menggeleng, sedari tadi ia menjawab hanya dengan anggukan maupun gelengan dari kepalanya. Mungkin, Agam hanya ingin menjawab dengan kata-kata bila ibu ada disana?
Lagi, Abang hanya meneteskan kembali air matanya. Mengingat kata ‘Ibu’ yang selalu menghantui batinnya, menyergap kasar kepalanya.
Ibu, Alir capek, Alir takut bu. Adek sakit, ibu udah ngga ada. Ayah juga. Terus Alir sama Agam sama siapa nanti?
Dalam satu kedipan, air itu kembali membasahi pipinya. Dan kembali membuka matanya lebar-lebar guna untuk memfokuskan pada wajah sang Adek di hadapannya. Pupil keduanya saling bertatap dalam waktu yang cukup lama.
“Agam..”
Agam hanya menatap lekat manik milik Alir. Entah apa maksud abangnya, Agam hanya terlihat diam seribu kata.
“Adek...?” lagi, suara Alir terdengar semakin bergetar tak karuan.
Semakin ia menatap wajah Agam, semakin sakit rasa di hatinya. Sesak rasanya tuhan. Alir takut..
Tangisan Alir semakin membeludak, ketika Ia menatap lurus iris gelap sang adek, rasanya kembali pedih. Tak lama ia menumpahkan kembali seluruh air matanya sembari menarik tubuh Agam untuk ia dekap daksanya.
Saat memeluk Agam, semakin terbayang wajah ibu, warna kulitnya, sorot matanya, pahatan wajahnya, Alir ingat semua. Namun, semua kenangan bersama ibu sudah terkubur dalam-dalam dibalik atensi indah milik keduanya. Masih berusaha untuk menguatkan dirinya agar gambaran wajah ibu segera pergi di dalam pikirannya saat ini. Alir takut, bagaimana nanti ia akan menjelaskan semuanya pada Agam, bagaimana ia bisa merawat Agam, bagaimana ia bisa memberi segala kebutuhan Agam. Bagaimana?
Di satu sisi, Agam hanya diam dalam dekapan abangnya. Sesekali Alir mengusap pundak Agam dengan halus, agar Agam tidak merasa kesepian lagi. Walau sebenarnya ialah yang kesepian saat ini.
“Abang cayang, Agam.” umpat Alir kecil, dalam pelukan itu.
Sedangkan Agam masih terdiam, lantas. Pelukan antara keduanya terpisah saat mba Alia kembali masuk kedalam ruangan itu dengan botol susu di tangannya.
“eh, lagi pelukan ternyata.” kata mba Alia, memberi sedikit kekehan di akhir kalimat.
Berjalan mendekat kearah keduanya, mba Alia kemudian mengusap puncak kepala Alir dengan penuh ketulusan yang menyertai. Tau betul bahwa Alir saat ini masih di fase depresi usai mengalami hal buruk beberapa waktu lalu. Ia berusaha untuk tetap berada disisi Alir dan Agam, guna untuk menyemangati kedua anak laki-laki yang kini masih berduka.
“Adek, ini mba udah buatin susunya.” seru mba Alia sembari mengasih botol itu kepada adek.
Wajah Agam lantas berbinar, sudah beberapa jam terakhir ini ia tidak meminum susu. Padahal biasanya ibu menyusui Agam setiap ia haus.
Melihat Agam langsung menyeruput botol itu, kini mba Alia beralih ke abang. “Bang?”
Abang menatap manik mba Alia, atensi Alir masih memerah usai menangis sedari tadi. Mba Alia pun sebaliknya, menyorot atensi Alir dengan tajam dan batinnya di penuhi rasa duka yang terus saja muncul di penaknya.
“Abang kenapa? Sini, cerita sama mba.”
Alir hanya membungkam, enggan untuk cerita kepada siapa aja. Untuk saat ini, ia masih belum bisa mempercayai satu orang pun. Terhadap mba Alia sekalipun, Alir tetap enggan untuk bercerita.
Rasa takutnya itu membuat ia tidak ingin bersosialisasi, bahkan akhir-akhir ini, ia sama sekali tidak berbicara. Hanya dengan Agam saja ia berani untuk berkata-kata. Walau Agam masih tidak paham dengan situasi yang saat ini mereka alami bersama.
Mba Alia sontak menarik tubuh Alir, mengelus puncak kepalanya seraya memberi kehangatan yang ada.
“Alir. Kalo ada apa-apa cerita, yah, sama mba,”Alir menatap legam atensi mba Alia.
“Ada mba disini sama Alir dan Agam. Jadi, Alir ngga boleh takut lagi. Oke?” kini jemarinya beranjak untuk mengusap air mata yang membasahi pipi Alir.
Alir tetap diam, walau hanya anggukan kecil saja yang anak itu berikan pada wanita dermawan di hadapannya. Mba Alia paham akan hal itu, ia tidak harus di jawab, asalkan Alir tetap tenang, mba Alia sudah senang melihatnya.
“Alirkan abang, jadi. Abang harus kuat, oke? Abang harus bisa jaga adek nanti kalo sudah besar. Jagain Agam, kasih yang terbaik untuk Agam. Supaya, ibu dan ayah bahagia disana, melihat kalian baik-baik saja disini.”
Air mata mba Alia ikut membendung, ia sudah mencoba untuk menahannya agar tidak mengalir dihadapan Alir. Tetap saja, rasanya ikut sakit bila membayangkan. Pun, mba Alia juga tidak tahu bila ia di posisi Alir saat ini, apakah ia akan tetap tegar untuk terus melangkah maju menuju masa depan ataukah, ia akan berhenti di separuh jalan?
Ayah, ibu. Alir capek, alir gakuat.
To Be Continued....
KAMU SEDANG MEMBACA
Anxiety [On going]
Fiksi Remaja-Anxiety [Ketika kecemasan menyergap]- 2 Raga paling menyedihkan, menjadi saksi dari gilanya semesta menghancurkan kehidupan pelangi-ku. Kisah Alir yang menjadi salah dari satu korban jahatnya semesta memberikan sebuah perjalanan singkat di hidupn...