NO ANSWER

27 8 1
                                    

Sudah lebih dari dua jam Cherry berkeliling kota tanpa tujuan. Kesenangan hatinya pun belum ia temukan. Niat ingin healing, malah rasa tertekan yang didapatkan.

Sudah dua hari ini, tepatnya setelah perjodohan itu, moodnya terus-terusan memburuk.

Bukan, bukannya membenci kedua orang tuanya. Cherry tidak akan pernah bisa membenci kedua orang yang telah memberikannya kehidupan.

Cherry hanya benci, kenapa dia harus ditakdirkan sebagai putri konglomerat yang hidup seperti seorang tahanan.

Seandainya saja, Tuhan menciptakannya sebagai putri dari orang biasa.

Mungkin hidupnya akan jauh lebih bebas. Bisa memilih siapapun yang dimau untuk ia cintai.

Bukan yang harus dipaksakan mencintai orang lain, bahkan hanya bertemu dalam waktu singkat.

Saat ini Cherry sudah berdiri di depan sebuah nisan, makam milik neneknya. Orang yang teramat dia cintai di dunia ini.

Sosok yang selalu memberinya kasih sayang melebihi kasih sayang dari mamanya.

"Nenek... Apa kabar?" begitulah kata yang keluar dari bibir tipis itu, membuka percakapan meskipun dirinya tahu sang nenek tak akan pernah mendengarkan, apalagi membalas perkataannya.

"Aku merindukan nenek. Sangat merindukanmu. Maaf aku baru sempat berkunjung..." sambungnya.

Cherry memposisikan dirinya lebih rendah, duduk tepat di pinggir makam itu sembari menatap nisan yang bertuliskan nama mendiang nenek.

-Choi Yoora-

Tak lama kemudian, Cherry menangis terisak. Kedua tangannya disandarkan pada nisan. Tanpa berbicara apapun, dirinya yakin nenek mendengar semua keluh kesahnya dari atas sana.

"Hiks..."

Cukup lama Cherry tidak bergerak pada posisinya. Hingga akhirnya getaran ponselnya mengacaukan semuanya.

Ddrrrtttt...

Satu panggilan masuk dari calon suaminya, Asahi. Cherry menghela nafasnya berat. Untuk apa pria Jepang itu menganggunya? Seolah tidak mengizinkan Cherry untuk menikmati waktunya sendirian saja, untuk hari ini.

"Ya? Makan siang berdua?"

"Tapi..."

"Ah baiklah. Aku akan segera kesana."

Cherry memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia rasa sudah cukup berkeluh kesah pada mendiang nenek. Waktunya berpamitan.

"Aku pergi dulu ya nek. Aku akan kembali dan selalu merindukan nenek."

Setelah itu, Cherry kembali ke mobilnya dan bersiap menuju lokasi yang telah dijanjikan Asahi.

***

Senyum Asahi mengembang saat melihat Cherry telah memasuki restaurant dan menuju meja yang telah direservasi.

"Menunggu lama?" tanya Cherry saat dia sudah benar-benar di hadapan pria itu.

"Duduklah. Aku belum lama." jawab pria Jepang itu, "Pesanlah sesuatu." lanjutnya.

"Tidak, terima kasih. Aku sedang diet." tolak Cherry secara halus.

"Untuk apa diet? Tubuhmu sudah sangat ideal dan aku tidak akan membiarkan calon istriku kelaparan karena melewatkan makan siang." katanya panjang lebar.

Cherry memutar bola matanya malas. Lalu teringat olehnya pada perkataan Asahi barusan, membuat pikirannya sedikit terganggu.

"Tunggu. Kau menolaknya kan?" tanya Cherry.

Pria Hamada itu mengernyitkan dahinya. Berusaha mencerna apa yang wanita di depannya ingin sampaikan.

"Menolak apa?"

"Perjodohan ini."

"..."

Hening. Tidak ada jawaban dari pria itu. Ia malah memanggil waitress dan memesan makanan untuk makan siang mereka.

"Maaf, tapi Asahi..."

"Bisa kita bahas ini nanti saja?" potong Asahi.

Wanita itu menghela nafasnya berat dan mengiyakan perkataan pria Jepang di depannya.

Tak lama kemudian, makan siang mereka datang. Asahi langsung menikmatinya tanpa peduli dengan wanita di depannya yang dipenuhi rasa bingung dan kesal.

Cherry hanya mengaduk-aduk makanannya asal. Sampai akhirnya Asahi menyadari hal itu dan menegurnya."Makanlah. Kau akan pulang setelah ini." suruhnya, lalu kembali fokus pada makanannya.

Wanita di depannya itu, calon istrinya, memilih untuk menuruti perkataannya. Walaupun sebenarnya ia sangat kehilangan selera makannya. Pikirannya dipenuhi masalah, lagi.

Setelah menanyakan hal tadi, Asahi hanya bungkam. Paling hanya membahas hal-hal di luar topik. Dan itu sangat menganggu pikirannya.

Tentang apakah Asahi menolak dijodohkan dengannya?

Ataukah pria itu malah ingin menikahinya?

Cherry tidak tahu itu.

Disinilah mereka sekarang, di halaman parkir. Asahi mengantarnya kesana setelah makan siang selesai.

"Terima kasih atas makan siangnya." ucap Cherry kaku, membuat Asahi menunjukkan senyumnya.

"Tidak perlu berterima kasih..."

"Oya, ini untukmu," Asahi menyerahkan kartu berwarna merah maroon pada Cherry.

"Ulang tahun ibuku, dua hari lagi. Kuharap kau bisa datang untuk menyenangkan hatinya." sambungnya.

Cherry mengangguk. Tanpa perlu diberikan undangan seperti ini pun, ia yakin seratus persen, kedua orang tuanya sudah mengetahui acara ini lebih dulu dan akan menyeretnya secara paksa untuk menghadiri pesta calon mertuanya.

"Terima kasih. Aku pulang dulu." kata Cherry mengambil kartu undangan itu dan langsung masuk ke mobilnya.

Asahi menatap kepergiannya hingga mobil tersebut tidak bisa lagi terjangkau oleh pandangan matanya. Setelahnya pria bermarga Hamada itu tersenyum dengan senyuman penuh misteri, sulit untuk diartikan.

-to be continued-

A BEAUTIFUL GOODBYE, ISN'T IT? (Bang Yedam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang