Kecelakaan

4.6K 304 9
                                    

Malam itu akhir minggu. Seperti biasa, Prisha bermaksud mengunjungi ibunya di kompleks perumahan yang terkenal sebagai tempat eksklusif hiburan malam plus plus.

Ia turun dari taksi online ke pinggir jalan raya, tepat di depan kompleks perumahan. Sengaja tidak minta antarkan sopir taksi ke dalam karena ingin membelikan camilan buat ibunya di minimarket depan kompleks. 

Sekonyong-konyong, bunyi decitan tajam dari rem yang diinjak mendadak, pekak terdengar membelah udara kosong. Tak sampai satu detik, suara benturan keras menyusul. Membahana.

Prisha baru satu langkah menyeberang tatkala peristiwa tabrakan terjadi di seberang jalan tempatnya berdiri.

Sebuah mobil jeep hitam mengebut di luar jalur, lalu menabrak sebuah mobil metalic mewah. Sopir mobil metalic rupanya berusaha menghindar dengan menginjak rem dan banting setir ke marka jalan. Namun, terlambat. Jeep hitam menyerbu deras dan membentur mobil metalic hingga terlempar dan terbalik.

Usai menabrak, mobil jeep hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Kabur meninggalkan korbannya.

Prisha terpekik kaget dan refleks berlari kencang mendatangi lokasi. Dalam waktu singkat, TKP dipenuhi kerumunan. Beberapa orang bekerja sama mengeluarkan penumpang mobil yang luka-luka.

Prisha memburu ke korban kecelakaan. Seorang pria muda berpakaian kasual yang wajah dan kepalanya berlumuran darah.

“Tolong!” teriak Prisha pada semua orang, sebelum melakukan pemeriksaan.

Dua orang mendekat, ingin membantu.

“Hubungi 119!” seru Prisha.

Salah satu dari dua orang yang coba membantu, gegas menekan nomor 119 di ponselnya.

"Pak, Pak, apa bisa denger suara saya?" Prisha setengah berteriak dekat telinga korban.

Pria muda itu membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi masih mampu menangkap siluet gadis berkerudung. "Siapa ...."

"Alhamdulillah, Bapak masih sadar!"

"Pusing ...." keluh si korban sambil mengangkat tangannya, hendak menyentuh kepala.

Rasa iba, mendorong insting Prisha bergerak menyambut tangan pria itu.

"Zikir, Pak. Tenang, yaa .... Sebentar lagi pertolongan datang."

Pria itu menggenggam lemah jemari Prisha, lalu lunglai seiring kelopak mata yang tertutup.

"Pak, Pak, bangun, Pak!" Prisha berseru cemas, lalu menepuk-nepuk bahu si korban. Namun, pria muda itu bergeming, kehilangan kesadaran.

Begitu mengecek pernapasan dan denyut nadi, Prisha menemukan kondisi kritis. Pernapasan tidak terdeteksi dan denyut nadi tidak teraba.

Rasa kemanusiaan dan kode etik sebagai dokter, mendorong Prisha meneruskan tindakan pertolongan pertama pada korban, dengan teknik RJP atau resusitasi jantung paru. Walaupun baru koas tingkat pertama, sedikit banyak Prisha sudah belajar teknik itu.

Beberapa menit kemudian, sirene ambulans berkelindan dengan sirene mobil polisi, mengaung gaduh, membuat jantung berdegup tegang dan meningkatkan kecemasan.

Namun, Prisha justru lega mendengar suara tersebut. Tim medis dari unit 119 berdatangan mendekat.

Salah satu dokter wanita yang menjadi bagian tim medis, segera membantu Prisha. Ia memeriksa denyut nadi karotis di leher kiri korban.

"Saya udah melakukan RJP, mungkin sekitar sepuluh menit," lapor Prisha, sambil tetap melakukan kompresi dada.

"Bagus, Dek!" puji si dokter, terlihat lega. "Kamu berhasil mempertahankan sirkulasi darah dengan memacu jantungnya. Andai telat sedikit saja, korban bisa tewas seketika! Denyut nadinya sudah teraba, tapi masih lemah," ungkapnya seraya memasang masker oksigen ke wajah korban. Lalu, memompakan oksigen lewat ambubag.

Prisha menghentikan tindakan. Demi meyakinkan diri, ia memeriksa ulang denyut nadi di pergelangan tangan korban. Terasa, tapi cepat dan lemah.

"Ikutlah! Kamu saksi korban!" instruksi kepala unit 119 kepada Prisha, saat melakukan evakuasi korban ke mobil ambulans.

Prisha mematuhinya. Ia ikut duduk di ambulans, mendampingi korban.

Elektrode EKG langsung dipasang ke dada korban, tersambung ke layar monitor. Terlihat gambaran listrik jantung serapat rumput, yang dalam hitungan detik mendadak membentuk garis lurus.

"RJP!" seru ketua tim 119.

Tim medis gegas melakukan resusitasi. Berlangsung sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Prisha tak lepas mengamati tata laksana gawat darurat, yang sebenarnya juga baru dipelajarinya. Ia paham gentingnya keadaan korban. Harapannya, resusitasi berhasil memicu denyut jantung yang terhenti akibat kecelakaan yang menimpa korban.

Besar sekali bahayanya jika jantung sampai gagal berdenyut . Risikonya adalah kegagalan distribusi darah yang memasok nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya, bakal terjadi malfungsi organ tubuh. Yang paling berbahaya dan emergensi adalah ketika otak sampai kekurangan oksigen lebih dari tiga menit. Sel-sel saraf akan hangus dan gagal fungsi. Jika terlambat ditangani, ada kemungkinan nyawa pasien  tak tertolong, koma berkepanjangan, atau lumpuh.

"Adakah identitas korban?" Salah satu dokter anggota tim medis, bertanya sambil memompakan oksigen melalui ambubag ke masker oksigen korban.

Perawat yang bertugas mengontrol hemodinamik melalui layar monitor, menoleh pada Prisha. Gadis itu menggeleng, tanda tak tahu. Wajah korban sukar dikenali karena berlepotan darah. Agaknya gara-gara terbentur dasbor mobil.

"Cek dompet atau tasnya!" perintah dokter, tak sabar.

Tak ada tas kecil atau apa pun yang melekat di tubuh korban. Prisha berinisiatif merogoh saku celananya. Ia menemukan ponsel dan dompet.

"Hubungi keluarganya!" perintah dokter lagi.

Prisha mengecek isi dompet dan menemukan KTP. Ia terpaku begitu mendeteksi nama korban.

Melihat Prisha lambat merespon, perawat lainnya meraih ponsel korban, lalu menelepon nomor teratas yang terakhir dihubungi korban.

"Assalamualaykum, halo, dengan Bu Karina?" Sambil menelepon, si perawat mengulurkan tangan ke arah Prisha, meminta KTP. "Apakah Anda anggota keluarga saudara Gavin Devandra? Oh, putra Ibu, ya? Saya informasikan, putra Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya, dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit provinsi!"

Usai menelepon, si perawat mengembalikan ponsel dan KTP ke Prisha.

Setibanya di IGD rumah sakit, korban langsung ditangani di zona kritis sesuai prinsip code blue. Prisha melaporkan kondisi pasien kepada dokter spesialis gawat darurat serta dokter spesialis anestesi.

Dokter spesialis gawat darurat memutuskan pasien harus dioperasi cito atau segera, sebab lewat pemindaian CT Scan ditemukan pasien mengalami perdarahan di daerah epidural yang terletak antara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Lapisan duramater sendiri merupakan lapisan terluar dari selaput otak. Kondisi perdarahan di daerah tersebut dinamakan epidural hematoma. 

Perdarahan yang terkumpul itu sangat berbahaya, karena menekan jaringan otak. Akibatnya, otak akan  kekurangan asupan darah. Jika dibiarkan, tekanan yang berlebih pada otak dapat memicu kerusakan otak. Risikonya adalah kematian, koma, atau kelumpuhan.

Prisha duduk di ruang tunggu setelah memberikan kesaksian pada polisi satlantas. Kecelakaan tersebut disinyalir disengaja, tabrak lari. Prisha dan saksi mata kejadian tak sempat memperhatikan nomor plat mobil penabrak, hanya mengenali ciri-cirinya.

Ayah ibu korban datang berderai air mata. Mereka langsung berbicara dengan para dokter serta berterima kasih pada unit 119 yang sigap datang dan memberikan pertolongan.

Kenalan korban mulai berdatangan. Termasuk para dokter, perawat, dan petugas medis lainnya. Ternyata, Gavin Devandra adalah dokter terkenal. Para tamu hanya berkumpul di ruang tamu dan lobi IGD. Cemas dan saling bertangisan. Tak satu pun mencari, siapa orang pertama yang memberikan pertolongan.

Prisha mengerti dirinya diabaikan. Ia tak hendak maju sebagai pahlawan. Gadis itu lantas pergi ke kamar kecil, bermaksud membersihkan kerudung dan gamisnya yang berlumuran darah.

***

Bersambung
Kandangan, HSS, Kalsel 07.05.2022

CERITA INI EKSKLUSIF DI GOOD NOVEL.

Terpaksa Jadi Pengantin Pengganti IbukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang