Alexitimia

13 0 0
                                    

Aku duduk di samping tempat tidurku. Berulang kali aku melantunkan beberapa nada dari gitar yang tersimpan di atas persilangan kakiku. Sudah hampir 3 jam lebih aku mencoba membuat lirik untuk lagu terbaruku. Meski dengan kondisi hati yang begitu tak karuan, aku hanya mencoba untuk kembali produktif. Namun sialnya, sangat sulit bagiku untuk kembali menentukan diksi dalam laguku. Nampaknya, menilik akan menjadi sahabatku kali ini, berulang kali aku kembali terdiam setelah sebelumnya aku coba untuk melepaskan apa yang sedang kurasakan. Dan sepertinya benar, perasaan akan selalu menang jika berlomba mengambil tempat terbanyak untuk singgah dalam akalku.

Entah apa jalan keluar yang harus kuambil untuk menanggapi apa yang kurasakan hari ini, seiya-Nya aku menemukan sebuah jalan keluar, bayang sosoknya selalu hadir dalam hatiku, dan seolah berkata "Tolong jangan lakukan itu". Haah.., sepertinya aku telah menaruh perasaan yang begitu besar kepadanya. Namun bagaimana lagi, melihat apa yang kini terjadi dengan dirinya, seakan memaksaku membuat sebuah keputusan agar aku tak kembali mengganggunya.

Tak jarang aku membuat status galau hanya untuk mendapatkan perhatian darinya. Namun, hal tersebut pun tidak membuat ia peduli dengan perasaanku. Atau mungkin, Ia tidak tahu kepada siapa status itu ditujukan.

Sudah hampir seminggu aku tidak menjalin komunikasi bersama Aina. Setelah ia membiarkan centang dua biru bersamayam di dalam ponselku. Padahal, akan ada waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan topik yang dibahas kala itu. Namun nampaknya, aku mengerti apa yang ia inginkan, oleh karena itu aku tidak kembali menghubunginya.

Ibu memanggil namaku dari kejauhan, aku pun bergegas menghampirinya setelah menaruh gitar di atas tempat tidurku. terlihat ia sedang menyantap makan siangnya di bagian tengah rumah, dan ia mengajakku untuk makan bersamanya.

Setelah aku mengambil makanan yang tersedia di dalam lemari, aku duduk di samping ibu, lalu menyalakan tv untuk menghiasi suasana makanku.

​"Kamu kuliah tuh gimana, betah ga disana?" Ucap ibuku setelah menelan makanan yang ia kunyah.

​"Betah sih temennya mah, jurusannya mah engga" Ucapku lalu memasukan sesuap nasi ke dalam mulutku.

​"Cobain aja ikut tes lagi ke negri" Ia menatapku.

Aku sedikit setuju dengan apa yang dikatakan oleh ibuku. namun di sisi lain, aku takut jika keputusanku akan mengganggu sisi ekonomi keluargaku. Meski aku mencoba untuk bertahan dengan jurusan yang kupilih, aku selalu merasa bahwa ini bukanlah diriku. Bukankah beberapa hal tidak baik jika harus dipaksakan? Aku tau ini kesalahanku, karena setelah aku dinyatakan tidak lolos saat mengikuti Seleksi Mandiri di Perguruan Tinggi Negri, aku bingung dengan jurusan apa yang harus kupilih, karena semua yang kuminati tidak kutemukan di Perguruan Tinggi Swasta.

Setelah selesai menyantap makan siang, aku kembali bergegas menuju kamarku. Karena kurasa aku harus membicarakan perihal kuliah bersama kakak pertamaku. Aku pun bergegas untuk menuju rumahnya.

Sesampainya, Aku melihat sang kakak sedang asyik bermain dengan anak pertamanya di teras rumah. Keponakanku lantas menyambut kedatanganku sembari menjinjing sebuah mainan di tangan kanannya.

​"Oom, liat aku punya mobil beko" Ucapnya terbata-bata.

​"Ih ini mah punya om" Ucapku sembari jongkok dan mengelus kepalanya.

​"PUNYA AKU!!" Ucapnya teriak.

​"Ehhh Nana ga boleh teriak" Ucap sang kakak sembari beranjak dari kursi kayu miliknya. "Ada apa Wan?" Ia menggaruk bagian belakang kepalanya.

​"Ini a, Awan mau ngomongin kuliah" Ucapku sembari memeluk Habna yang berada di atas persilangan kakiku.

​"Kenapa?" Ucapnya penasaran.

​"Mau pindah"

​"Habna main dulu sama ibu sana" Ucap kakaku lalu memanggil istrinya.

FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang