Alasan pertama, karena Biru itu pengertian.
Sebiru itu selalu mengerti apa yang Arsya butuhkan.
Ada satu saat, Arsya merasa begitu lelahnya karena banyak kegiatan dan tugas yang ia kejar. Seakan tidak ada katanya habisnya, sampai Arsya merasa frustrasi sendiri.
Pukul dua malam, Biru menghubunginya. Kebetulan saat itu Arsya memang akan mengabari Biru yang sejak kemarin mungkin sulit mendapat kabar darinya.
"Halo," sapa Arsya lebih dulu. Pemuda sagittarius itu menyandarkan punggungnya di kursi belajar yang sedari beberapa jam lalu ia singgahi.
"Aku lihat kamu masih online, kok belum tidur sih? Udah jam dua loh ini, bukannya kamu besok pagi ada pendalaman materi?" tanya Biru dari seberang sana.
Arsya mencebikkan bibirnya, matanya semakin memerah dan berkaca-kaca. Ketara menahan tangis.
"Masih nugas," jawab Arsya dengan suara bergetar.
Di seberang sana, Biru mengerutkan keningnya, "Bukannya tadi kamu udah nugas ya? Apa belum selesai? Ada yang susah?"
Arsya menggeleng pelan, "Yang tadi itu tugas dari Pak Santoso, sekarang tugasnya Bu Indah."
Yang lebih tua terdengar menghela napasnya berat, "Kamu mau apa?"
Arsya membenarkan posisi duduknya menjadi tegak, "Maksudnya?"
"Aku ke tempat kamu sekarang, kamu mau titip apa? Udah makan belum?"
"Hiks-aku mau Kakak aja. Aku udah makan tadi. Cepet dat-hiks datangnya."
"Sshh, iya sabar ya. Ini aku lagi siap-siap."
Pemuda kelahiran oktober itu menepati perkataannya, ia sampai lima belas menit kemudian.
Arsya itu tinggal sendiri disini, karena kedua orang tuanya menjalankan bisnis di kota lain. Ia pun anak tunggal, bukannya tak mau tinggal bersama sanak saudaranya. Hanya saja, Arsya tidak ingin merepotkan yang lain, dan tak ingin ada hal-hal yang bisa menghilangkan fokusnya. Jadi, orang tuanya membeli sebuah rumah minimalist yang tak jauh dari sekolahnya.
Sebiru selaku kekasih Arsya tentunya merasa harus menjaga manisnya itu. Juga Biru merasa harus siap sedia kapanpun Arsya membutuhkan dirinya, sekalipun Arsya tak pernah meminta itu.
Terlepas dari kedua orang tua Arsya yang memang mempercayakan anak semata wayang mereka kepada dirinya, sebelum keduanya resmi pindah ke kota seberang.
Setelah sampai di rumah Arsya, Sebiru langsung masuk dengan kunci candangannya yang ia pegang. Melangkah cepat menuju kamar si manis, dan mendekapnya begitu erat. Kalimat-kalimat penenang tak luput keluar dari mulut Biru.
Putra Dirgantara itu ikut merasa sesak ketika melihat orang yang ia sayangi harus seperti ini.
Sejujurnya, bukan sekali dua kali Arsya berada di posisi ini. Biru hanya dapat menenangkannya dan memberikan pelukan hangat.
Biru tak henti-hentinya mengusap surai kehitaman milik Nalendra tunggal itu. Membiarkan si manis terus menangis guna melampiaskan emosinya. Sampai akhirnya, Arsya menangis hingga napasnya tersendat.
"Arsya sayang. Hei, ayo tarik napas pelan-pelan, nanti makin sesak loh, Sayang," ujar Biru sembari mengusap punggung sempit si putra desember. Sesekali menghirup aroma manis yang menguar dari surai Arsya.
Perlahan Arsya melepaskan pelukannya, ia menatap Biru lamat-lamat, "Hiks-maaf, a-aku kayak anak kecil gini-hiks. Cengeng."
Sebiru Dirgantara menggelengkan kepalanya, tak terima dengan pernyataan yang dilontarkan sosok dalam pangkuannya.
"Nggak, Sayang. Nangis itu bukan cuma buat anak kecil. Orang dewasa pun butuh nangis ketika dia gak bisa ngeluapin emosinya dengan leluasa," tutur Biru, menjelaskan.
Isakan Arsya kian mereda, diakhiri dengan deru napas yang mulai tenang. Sebiru sedikit menjauhkan tubuh Arsya, ternyata manisnya itu telah tenggelam dalam dunia mimpinya, mungkin karena lelah menangis.
Ketika terbangun, Arsya mendapati waktu telah menunjukkan pukul enam pagi, dan ia berada di pelukan Biru. Jemari Arsya bergerak perlahan, menyingkirkan rambut Biru yang mulai panjang dan menutupi wajah tampan sang kekasih.
Sayangnya, Sebiru terlalu sensitif dalam tidurnya. Yang lebih tua memperlihatkan netranya, ketika merasakan sentuhan halus di wajahnya.
"Kenapa bangun? Tidur lagi aja, aku udah izin ke guru kamu, kalo kamu gak bisa masuk hari ini," gumam Biru, menarik yang muda kembali kedalam pelukannya. Semakin menghapus jarak antara keduanya.
"Aku kebangun. Maaf ya, semalem aku ganggu Kakak. Seharusnya, Kakak bisa tidur di rumah dengan nyaman. Eh, malah harus kesini buat ngurus aku," ujar Arsya, jemarinya bermain-main di dada bidang Biru.
"Kenapa harus minta maaf? Apa salah kalo pacar kamu dateng di saat kamu butuh dia? Lagi pula, aku juga nyaman kok tidur disini. Aku jadi bisa peluk kamu banyak-banyak," ujar Biru. Mendengar itu, Arsya dapat rasakan pipinya memanas.
"A-apaan sih, Kak Biyu. Gak usah ngomong kayak gitu! Malu tau gak?!"
Biru terkekeh, akhirnya ia bisa melihat Arsyanya kembali berwarna, setelah hanya pucat semalaman yang ia tatap. Hanya dengan berusaha mengerti apa yang dirasakan Arsya, Biru bisa kembali melihat warna si manis.
Ah, mengingat hal pertama ini, Arsya yakin rasa sayangnya makin besar. Beribu-ribu kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.
TBC.