"Jadi, sekarang kamu lagi skripsi?"
Alesha mengangguk sambil menikmati chicken pop di piringnya. Saat ini Alesha dan Farel sedang berada di salah satu kafe yang masih berada di kawasan bandara. Alesha mengeluh lapar karena dia tidak sempat makan.
"Tapi proposalku belum di-acc. Banyak tinta merahnya. Pusing aku, bolak-balik revisi."
"Aku akan bantu kamu nanti. Tapi...." Farel menggantung kalimatnya. Tatapnya bersinggungan dengan tatap Alesha.
"Tapi apa? Kalau mau bantu jangan kebanyakan syarat dong," protes Alesha. Membuat Farel terkekeh.
"Enggak berat kok." Farel mengaduk minumnya sembari tersenyum simpul. Melihat wajah Alesha yang tertekuk benar-benar membuatnya gemas.
"Emang apa syaratnya? Kalau aneh-aneh aku nggak mau. Mending aku kerjain sendiri skripsinya biarpun harus molor lulusnya."
Farel sontak membulatkan mata. "Enggak, tahun ini kamu harus lulus. Kalau kamu enggak lulus-lulus kapan kita nikah?"
Nikah? Ucapan Farel membuat pipi Alesha sontak bersemu. Dia buru-buru meraih gelas minum dan menyeruput isinya. Jangan sampai Farel tahu pipinya yang merona. Malu-maluin. Baru segitu aja sudah blushing.
Setelahnya Alesha berdeham sejenak, matanya tidak berani menatap Farel. Diarahkan bola matanya ke mana saja asal tidak kepada lelaki di hadapannya.
"Jadi, apa syarat yang kamu mau?" tanya Alesha melirik Farel dengan ujung matanya. Namun, dia buru-buru berpaling saat menemukan Farel tengah menatapnya seraya tersenyum.
Di tengah rasa gugup yang tiba-tiba hinggap, Farel malah meraih tangannya. Nyaris saja jantung Alesha copot.
"Cukup bujuk ayah kamu untuk menerima lamaranku, lalu setelah kamu wisuda sarjana kita menyusul wisuda baju pengantin," sahut Farel dengan suara lembut.
Tak ayal itu membuat sudut bibir Alesha berkedut. Syarat-syarat yang Farel ajukan selalu saja ada kaitannya dengan hubungan mereka berdua. Lelaki itu sama sekali tidak mau rugi. Pasti Alesha kena modus terus.
"Gimana, setuju enggak?" tanya Farel, menyentak pelan tangan Alesha yang dia genggam.
Alesha menyelipkan anak rambutnya yang menjuntai ke balik telinga. "Itu syaratnya lumayan berat loh, Om. Aku aja gagal meyakinkan baba buat lanjut sekolah ke luar negeri, gimana aku bisa bujuk baba soal lamaran itu?"
"Kamu kan sebentar lagi lulus. Babamu juga pernah bilang kamu boleh menikah kalau sudah lulus kuliah."
"Kalau gagal gimana?"
Cepat-cepat Farel menggeleng. "Enggak, aku udah nunggu kamu. Jadi, pastikan itu nggak akan gagal." Farel tidak mau menerima penolakan lagi.
Alesha menggerak-gerakkan bola matanya lucu. "Akan aku usahakan."
"Oke, habiskan makananmu. Lalu kita pulang."
Alesha pikir Farel akan langsung mengantarnya pulang ke rumah, mengingat sudah pukul delapan malam ketika mereka sampai di kawasan Jakarta.
"Masih ada waktu sekitar dua jam. Nggak apa-apa kan kalau kita ke apartemenku dulu?" tanya Farel saat mereka berada di dalam taksi.
"Asal nggak lebih dari pukul sepuluh malam."
Tangan Farel yang terjulur di belakang punggung Alesha mengusap lembut rambut perempuan itu. "Engga apa-apa asal berdua dulu sama kamu."
Paru-paru Alesha seakan mengembang mendengar ucapan manis Farel. Kalau dalam video call mungkin Alesha bisa menutupi rasa gugup atau wajah meronanya, tapi sekarang saat orang yang dia cintai langsung ada di depannya, mana bisa dia menyembunyikan itu. Alesha bisa merasakan desir halus saat Farel kembali mengumbar perhatiannya. Rasanya sama seperti dulu menyenangkan dan bikin deg-degan.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RomanceAlesha mendengar kabar Farel akan pulang ke Indonesia. Sudah tiga tahun lebih keduanya terpaksa berhubungan jarak jauh lantaran Farel harus berada di perusahaan pusat. Alesha yang tengah disibukkan dengan skripsi mendadak dapat angin segar. Setida...