1. Pulang Ke Indonesia

331 50 33
                                    

Mount Elizabeth Hospital, Singapore.

Farel meletakkan sebuah karangan bunga di dekat seorang wanita cantik yang tengah berbaring dengan mata terpejam, mungkin tidur. Ini sudah kunjungan ketiga sejak Farel tahu kabar wanita berbibir tipis itu kembali dirawat di rumah sakit penanganan kanker. Tidak seperti saat hari pertama di sini, wanita itu sekarang tampak lebih segar wajahnya. Cekungan di sekitar area matanya sedikit memudar.

"Get well soon, strong woman," bisiknya. "Perusahaan sangat membutuhkan tenagamu."

Tepat setelah Farel mengatakan itu, perlahan mata wanita yang terbaring itu terbuka perlahan. Senyum kecilnya terbit saat menemukan Farel berdiri tak jauh dari bed yang dia tiduri.

"Ternyata kamu. Aku kira siapa?" ucap wanita itu. Bibirnya masih sedikit pucat, meski tidak sepucat kemarin-kemarin.

"Memangnya kamu berharap siapa?" tanya Farel menenggelamkan tangan ke balik saku jaket yang dia kenakan.

Wanita itu menggeleng. Dia mengangkat bunga di sampingnya. Bunga kesukaannya. Daffodil kuning. Biasanya Farel akan memberinya bunga itu di saat momen-momen tertentu, tapi tentu saja momen sakit seperti ini tidak pernah dia harapkan.

"Bunganya cantik, terima kasih," ucapnya pelan seraya mengamati kelopak bunga tersebut. "Kamu mau pergi?" tanya wanita itu melihat kepada Farel yang masih betah berdiri di sisi pembaringannya.

Lelaki dengan rambut berbelah tengah itu mengangguk. "Aku akan ke Jakarta. Nggak apa-apa, kan?"

Wanita itu mengangguk. "Alesha ulang tahun?" tanya dia tanpa berpaling dari daffodil kuning di tangannya.

Farel kembali mengangguk. "Dokter memberi izin kamu pulang lusa kalau keadaanmu makin membaik. Nanti Fahmi akan mengurus semuanya."

"Aku minta maaf selalu merepotkan kalian. Aku sama sekali tidak menduga leukemia ini akan datang lagi," ucap wanita itu kembali tersenyum. "Apa aku bisa berumur panjang, Farel?" Matanya berkaca-kaca menatap Farel sahabatnya.

Farel mengeluarkan tangan dari saku jaket, lantas meraih tangan wanita itu. "Kamu wanita kuat dan cerdas. Kamu pernah melewati lebih daripada ini. So, jangan cemas. Kami mendukungmu."

"Jangan menghiburku, Farel. Bahkan aku sudah mengubur keinginan sederhanaku sejak lama."

Mata Farel memicing. "Keinginan sederhana?"

Wanita itu mengangguk dan menatap Farel kembali. "Aku ingin menikah dengan seseorang yang aku cintai di dekat pantai. Tidak perlu meriah. Tapi sakral dan hangat. Tapi ...." Wanita itu menunduk. "Sepertinya akan sulit dengan kondisiku sekarang. Siapa juga yang mau menikah dengan wanita penyakitan sepertiku?"

Farel menghela napas panjang. "Jangan merasa berbeda apa lagi pesimis. Kamu bisa meraih apa pun selagi bisa. Aku yakin kamu nanti akan menikah dalam keadaan sehat."

Wanita itu tersenyum getir. "Semoga." Dia melirik jam dinding kamar. "Pukul berapa pesawatmu berangkat?"

"Satu jam lagi."

"Sebaiknya kamu berangkat sekarang kalau nggak mau ketinggalan. Alesha pasti sudah menunggu." Wanita dengan kulit seputih susu itu mendorong lengan Farel.

"Jangan mengusirku. Alesha belum seberapa menungguku. Dibanding aku yang sudah lama menunggunya sampai-sampai hampir karatan," kelakar Farel garing.

"Kan bentar lagi mau diasah."

"Masih butuh perjuangan buat naklukin ayahnya."

Wanita itu terkekeh. "Yang penuh perjuangan biasanya hasilnya lebih memuaskan. Sudah sana pergi, jangan biarkan dia menunggu."

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang